Keping 21

762 74 23
                                    

"Eh itu..." Kamu tergagu, terkaget alang-kepalang. Aku juga tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi. Ibuku tetiba datang saat kamu mengatakan sesuatu yang tidak diinginkan tuk didengar. Bagaimana ini?

Ibuku menatap ke arahku, seolah meminta penjelasan karena tak kunjung mendapat jawab darimu. Baiklah, aku berusaha tenang. Menarik napas, membuangnya, berusaha tuk rileks. Lalu sudut-sudut bibirku terangkat, menatap dengan penuh keyakinan kepadaku.

"Itu panggilan kesayangan, Bu."

"Maksudnya? Kok diantara cowok ada kayak gitu?" Ibuku menyelidik. Aku mengatur diriku agar terlihat biasa saja.

"Ya memang ada Bu..."

"Terus yang akting-akting itu apaan tadi?"

"Nah itu dia Bu, kita emang lagi belajar akting gitu. Ada tugas bikin drama di pelajaran Bahasa Indonesia di kelas. Al meranin dulu peran temanku, jadi pacar se-alam akhirat barusan. Hehe." Fai nyengir, sabotase buat jelasin. Aku bernapas lega.

"Sini Bu, Al ambilin dulu belanjaan ibu. Pasti berat. Al buatin ibu teh manis dulu ya..." Aku mengalihkan perhatian ibu, segera membawa tas belanjaan yang ibu bawa di kedua tangannya. Ibu tersenyum melihatku penuh perhatian.

"Ibu jangan khawatir. Itu tadi emang kita lagi latihan drama. Kita udah deket dari SMP juga, Bu. Jadi Fai sinting aja tadi, nyuruh aku meranin itu dulu biar dia menghayati nantinya. Becandaan dia emang suka aneh-aneh sih."

Ibuku tersenyum, terlihat sangat lega sekali.

"Kamu tuh Faisal ada-ada aja deh. Bikin ibu kaget aja. Dikirain ibu kalian pacaran."

"Ah si ibu mah. Masa saya pacaran dengan anak ibu yang laki. Kalau sama Tania mungkin bisa?" Tanya Fai mengalihkan pembicaraan.

"Hush. Jangan!" Mengetahui ibu sudah berbicara normal, aku beralih ke dapur. Membiarkan mereka berbincang. "Tania masih kecil, masih SMP, ga boleh pacar-pacaran dulu."

"Hehe. Iya Bu. Saya becanda aja kok. Saya juga sudah punya pacar."

Deg. Kenyataan itu kembali menghantam. Aku baru teringat, bahwa Fai memang sudah memiliki kekasih. Lantas aku apa? Aku bukan sesiapa, aku tidak punya status apapun selain mungkin jadi orang pertama yang 'tidur' dengannya. Realitas seperti ini membuat pikiranku me-reset ulang skema hubungan yang kujalani dengan seorang Faisal Arrova Difa Sarotama.

Sembari menuangkan gula lalu mengaduk-ngaduk teh di depanku, pikiranku berkelana. Aku harus mengontrol diriku. Aku harus menahan diri.  Simpulku akhirnya.

Selesai, aku membawa segelas teh manis hangat itu ke ruang tamu, menyerahkannya ke ibuku. Telingaku seolah tuli atas setiap pembicaraan mereka lagi. Aku seperti tak menjejak bumi. Aku duduk di samping kamu, ibu di depanku. Tetapi aku tak mengikuti pembicaraan apapun. Aku sedang berpikir.

"Hey. Kamu kenapa diam aja?" Saat kamu menegur, kesadaranku terhentak.

"Eh, engga. Al lagi kepikiran sesuatu aja. Sok aja ibu sama Fai ngobrol dulu. Aku mau ke kamar ya..." Aku pamit, meninggalkan mereka berdua untuk saat ini rasanya lebih tepat untuk dilakukan.

Duh, kenapa aku kayak orang patah hati ya.

Aku meraih handphone-ku dan membuka aplikasi wattpad. Akhir-akhir ini aku juga ketagihan baca Pesantren Gay Stories karya Newann. Kalau aku bosan baca buku pergi karya Bang Tere, pasti aku bukanya wattpad.

Jalan ceritanya mengalir, enak dibaca dan bikin pengen baca terus. Tapi, kadang aku berhenti baca, terus beralih ke buku Bang Tere itu. Itu semua karena aku orangnya moody-an banget sih.

But, untuk situasi sekarang, lebih baik aku habiskan waktu membaca kisah Nasrul. Uh, Arif kok sweet banget ya. Tapi, tapi... Fai juga ga kalah ah. Namun, teringat dia yang terikat dengan orang lain membuatku sakit. Fai ga ditakdirin untukku. Kalau Arif sepertinya memang ditakdirkan untuk Nasrul. Kenapa hidup kejam banget sih?

Aku terus larut dalam bacaan. Ih asli dah, ini cerita bikin baper njir...

Sampe tiba di mozaik 10, kudengar pintu kamarku diketuk. Aku menghentikan bacaanku, menutup aplikasi wattpad.

"Ya, masuk aja. Ga dikunci." Sudah kutebak, kamu yang akan masuk kamarku.

"Kenapa Fai? Udah ngobrolnya?" Aku berusaha terlihat biasa saja. Tetapi dengan melihat wajahnya kembali, rasa sakit itu justru seolah berkembang mekar, bertunas tepat di dadaku. Kok sakit ya, menerima kenyataan bahwa dia tak pernah bisa kumiliki? Kenyataan bahwa sebenarnya dia sudah memiliki kekasih?

"Iya, udah. Kamu tadi kenapa?"

Aku menatapnya lamat-lamat. Mengusahakan tetap bersikap biasa. "Engga apa-apa. Cuma kepikiran sesuatu."

"Apa? Bilang aja, Al. Aku siap dengerin kok. Kita kan udah bukan siapa-siapa lagi ini. Kita makin deket sekarang!" Aku mendengar kata makin deket dari bibirmu, dan aku jelas paham apa maksudnya.

"Sebaiknya kita ga usah lanjutin hubungan ini kemana-mana, Fai. Aku sakit."

"Hah? Kenapa? Sakit apa?"

"Iya, Fai. Kita hentikan aja sampe di sini. Kita ga usah bawa hubungan ini ke tahap manapun. Kita biasa aja, kayak temen biasa sejak dulu."

"Kok gitu? Aku kan serius..."

"Tidak, Fai. Kamu tidak pernah serius. Kamu punya kekasih, aku baru saja teringat kembali tentang itu. Tidak seharusnya kamu di sini, bersamaku. Tidak sepantasnya kamu menghabiskan malam minggu tadi malam bersamaku. Pulanglah! Ajak kekasihmu pergi."

"Tapi..."

Aku menatapnya dengan mata jerih. Mataku sepertinya memerah. Aku tak kuat untuk menahan air mataku agar tidak jatuh. Satu tetes sepertinya keluar.

"Fai, kok aku ngerasa hatiku sakit ya? Kenapa rasanya semenyesakkan ini Fai? Kenapa? Karena aku memang tidak pernah ditakdirkan terikat denganmu?"

Aku berhenti. Menatapmu sekali lagi. Berusaha meminta penjelasan masuk akal, apapun itu.

"Kenapa kita bisa patah hati sih Fai? Dan kenapa rasanya sesakit ini?"

Lil Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang