Aku menatapmu, merasakan getaran itu berhembus pelan menelisik menyusuri lekuk tubuhku. Kamu serupa magis, menerbitkan gejolak rasa yang selama ini kukekang. Aku sejujurnya mencintai kamu, tapi menahannya. Tak pernah kuungkap barang sepercik. Kutakut, rasa itu akan menjadi percik api lalu membesar menimbulkan kebakaran. Kebakaran di antara hubungan kita.
Sekali lagi kamu tersenyum. Sebuah senyum yang tak pernah berani kumiliki dalam hidupku. Kamu terlalu 'mewah' untuk kujadikan seorang yang juga mencintaiku. Kupikir, semuanya hanyalah bual dan khayal. Tapi wujudnu kini nyata, berkata bahwa kamu menyayangiku. Itu semua seharusnya hanya menjadi damba, bukan? Bukan nyata seperti ini?
Aku jadi teringat sesuatu yang kubaca dalam tulisannya Crowdstroia,
"Perasaanku padamu tidaklah nyata, tetapi ada."
"Apa katamu?"
"Eh engga, lupakan." Kamu menghabiskan suapan terakhir satemu dengan lahap.
"Apa tadi kamu bilang?" Katamu setelah selesai menghabiskan seluruh nasi dan satemu. Punyaku sudah habis lebih awal, karena memang sateku memakai lontong. Porsinya lebih sedikit juga.
"Sudahlah, lupakan saja!"
"Aku mendengar perasaanku sepertinya berbalas tadi?"
"Hah? Iyakah?"
"Iya ih! Perasaanku sepertinya berbalas tadi."
"Engga ah! Kamu cuma ngayal aja. Aku ga ngomong tentang perasaan kok tadi."
"Lha, jadi tentang apa kalau gitu? Cerita dong!"
"Engga ah! Udah lupain aja. Yuk, kita mau kemana sekarang?" Aku bergegas berdiri, menyudahi pembicaraan. Kurasa, untuk mengungkapkannya sekarang bukan waktu yang tepat. Aku harus mengulur waktu terlebih dahulu. Tidak semuanya harus 'berlangsung' dalam sekejap.
"Oh iya, bang. Berapa jadinya satenya?" Aku beralih ke si abang tukang sate. Menanyakan harganya.
"Yang ayam 16rb, yang kambing 18rb, jadi totalnya 34rb."
"Oh iya in..."
"Ini bang!" Kamu langsung mengeluarkan uangmu.
"Oke." Abang sate merogoh uang di laci roda, kemudian mengembalikan uang sejumlah 16rb kepadamu.
"Terima kasih, Bang." Kamu berterima kasih dan langsung mengajakku pergi. Menaikki motormu kembali.
"Ih, ini bayar dulu. Aku mau bayar sendiri." Rewelku saat kamu memberikan helmetmu kepadaku.
Kamu tetiba mendekat ke telingaku, lalu tanganmu meraih tali helm dan menggabungkannya, seraya berkata, "Sudah kewajibanku untuk mulai menafkahimu."
Aku mematung.
Jantungku berdetak makin kencang.Oh Tuhan ...
Apa katamu tadi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil Love [END]
Short StoryCerita ini didesain ringkas. Di dalamnya, saya meracik pengetahuan umum ke dalam cerita. Jadi, jika kamu mencari cerita sek-esek ga bermutu, cerita ini diusahakan dijauhkan dari hal itu --meski saya kadang menyelipkannya. Di sini, saya berusaha mema...