Posisiku sekarang adalah melontarkan tatapan terhadapmu, jerih. Aku sudah tak habis pikir bahwa pradugaku tentangmu makin mendekati absah. Aku merasa sangat lelah dan menyesalkan atas sikapmu yang tetiba berubah seperti ini. Aku seperti merindukanmu yang dulu.
Akhirnya kamu melepaskan pegangan di lenganku dan menatapku sedu. Kamu meminta maaf atas perbuatan yang kamu lakukan.
"Al..."
"Kita akhiri semua kekonyolan ini, Fai. Kamu harus kembali waras."
"Jika mencintaimu harus menghilangkan warasku, kenapa tidak?"
"Aku menghargainya, Fai. Sangat menghargainya. Kamu tentu sudah paham betul bahwa aku juga pernah mencintaimu sebegininya."
"Lantas kenapa kamu jadi mempersulit seperti ini?"
"Aku ga mempersulit. Hanya saja, jika kita melanjutkan hubungan dengan cara yang seperti ini, kita akan berakhir dengan saling merusak diri masing-masing."
"Jadi kamu mau aku gimana, Al? Menjauhimu?"
"Jika itu harus dilakukan, lakukanlah..."
Kamu menatapku dan memilih memegang kedua bahuku. "Kamu tahu, Al. Akan sangat menyakitkan bagiku sekarang jika terlepas darimu. Akan sangat melukai diriku sekarang jika kita terpisahkan. Kamu mau aku sakit-sakitan?"
"Duduk Fai." Membicarakan sesuatu yang emosional sambil berdiri, hanya akan membuatnya bertambah parah. Kamu mengikuti arahanku dan duduk di sisiku. Kita berdua menatap ke arah pohon besar.
"Al, aku mohon..."
"Fai, listen me. Mau?"
"Iya, baiklah." Kamu mengangguk.
"Begini, Fai. Aku mencintaimu, pernah. Dan aku tidak main-main soal itu. Aku sangat-sangat mencintaimu hingga aku tak pernah tahu, bagaimana hidupku jika tanpa kamu."
Kamu mendengar, takzim. Aku senang kamu tidak memotong, aku meneruskan.
"Dan sepertinya, harus ada jarak terlebih dahulu di antara kita. Kita ga pernah bisa maksain hubungan kita ini akan beralih ke tahap selanjutnya." Aku diam sebentar, lalu melanjutkan. "Aku ingin kamu percaya bahwa aku pernah mencintaimu dan sampai sekarang, aku mungkin masih mencintaimu, tapi aku harus membenarkan diriku terlebih dahulu."
"Membenarkan diri seperti apa maksudnya?"
"Untuk bahagia, meski ga ada kamu."
"Kok begitu, itu kan bukan cinta?"
"Pernah dengar, mencintai sejati itu adalah berani melepaskan?"
"Aku tidak percaya dengan omong kosong seperti itu, Al."
"Tetapi aku percaya, Fai. Seperti aku mempercayai nadiku yang berdenyut detik ini."
"Aku tidak percaya, sangat! Aku lebih memilih untuk menghabiskan lebih banyak waktuku bersamamu, selama aku mencintaimu. Untuk menebus waktu-waktu dulu yang tidak pernah aku habiskan bersamamu."
"Tapi, Fai, aku mohon. Kembalilah waras dan jalani hidupmu seperti biasa! Aku mohon..."
"Kalau kamu tidak mau, kita akhiri saja semuanya sampai di sini."
"Baiklah!" Karena kurasa memang tidak ada pilihan lain.
"Al, semudah itu? Beneran?"
Aku memilih diam.
"Al, aku tanya sekali lagi, from my deepest heart." Kamu menghela napas, seperti mengumpulkan kekuatan. "Would you like to be my boyfriend?"
"Sejak aku melihat kak Fai kelimpungan di kantin, aku ngerasa, ada yang ga beres. Aku dari tadi ngikutin kak Fai, berusaha nyari tahu. Dari tadi aku merhatiin di sana, dan kak Fai sempat bersikap kasar sama kak Al. Sekarang, kak Fai nyatain cinta ke kakak aku. Yang bener aja! Kakak kan udah punya pacar kak. Kenapa nyatain cinta ke kakak aku? Mau menyakiti?"
Tania sudah berdiri di belakangku dan melontarkan semuanya.
Aku kini benar-benar ketahuan oleh adikku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil Love [END]
Historia CortaCerita ini didesain ringkas. Di dalamnya, saya meracik pengetahuan umum ke dalam cerita. Jadi, jika kamu mencari cerita sek-esek ga bermutu, cerita ini diusahakan dijauhkan dari hal itu --meski saya kadang menyelipkannya. Di sini, saya berusaha mema...