Gue masih tetap bergeming selama beberapa saat sebelum gue menyadari bahwa ini bukan mimpi apalagi khayalan. Ini kenyataan.
"Oh Tuhan! A-apa yang kalian lakukan berdua?" jerit Alena penuh keterkejutan.
"Ci.. Cici ngapain? I-ini a-aku bisa jelasin!" Dion kembali bicara.
"Sudah cukup! Kamu ...!" tangan Alena menunjuk tepat di depan hidung gue.
"..silakan keluar dari apartemen saya dan kamu...!" giliran Dion yang ditunjuk. Alena menampar keras adik lelaki satu-satunya tersebut."Kak... Kak Lena, a-aku bisa jelasin semua. I-ini bukan salah Dion!" gue membuka suara.
"Sudah cepat kamu pakai baju dan pergi! Saya gak mau dengar penjelasan kalian, saya jijik melihat kalian berdua!" Alena berteriak tanpa memandang gue.
Gue kembali ingin membuka mulut tapi sepertinya kondisi Alena sedang tidak dalam keadaan bersahabat. Gue segera berpakaian dan pergi dengan terburu-buru.
Lorong apartemen Dion terasa sangat panjang, gue ingin cepat-cepat keluar dari tempat ini dan pergi menyendiri. Gue memeriksa seluruh kondisi tubuh gue, masih tersisa beberapa bekas keringat dan sperma yang menempel serta rambut gue awut-awutan, terlihat jelas sekali bagaimana dahsyatnya pergumulan gue dan Dion barusan.
Sampai di lobi gue minta satpam untuk mencarikan taksi karena gue tadi kesini diantar pakai mobil Dion.
Di dalam taksi pikiran gue kalut. Rambut gue yang acak-acakan makin terlihat berantakan. Tenaga gue terkuras habis setelah kejadian tadi akibatnya gue sekarang lemas gak bertenaga dengan perut kosong dan mata merah.
"Kayaknya lagi ada masalah ya?" tanya sopir taksi memecah keheningan.
Gue memicingkan mata untuk memandang sopir taksi ini. Bapak-bapak, gue taksir usia baru akhir 30-an.
"Iya nih, Pak, lagi banyak masalah!" jawab gue sedikit ketus karena menganggap sopir taksi ini pengen tau banget urusan gue.
"Kalo boleh tau masalahnya apa ya? Kali aja saya bisa bantu!" ujarnya lagi.
Bantu apa, mau tau aja sih urusan orang! ucap gue dalam hati.
"Gak ada, udah deh Bapak diem aja, anterin saya ke tempat tujuan saya!" jawab gue tambah ketus.
"Kok Mas ngotot sih, saya kan tanya baik-baik?!" nada suaranya mulai meninggi.
"Bapak jangan ikut campur, saya cuma mau dianterin ke tempat tujuan saya!" nada suara gue ikut meninggi.
"Terus kamu maunya apa? Ngajakin saya ribut? Ditanya baik-baik kok malah marah-marah!" nada suaranya makin meninggi.
Aduh, ini orang bikin gue tambah mumet aja, kepala gue tambah pusing, perut gue makin keroncongan.
"Udah deh stop di sini aja, saya turun di sini!" gue membuka pintu dan melemparkan selembar uang seratus ribuan.
Gue berjalan gontai di trotoar jalanan yang lumayan sepi ini. Kepala gue tambah pusing dan terasa panas. Perut gue keroncongan lapar minta diisi, tenaga gue sudah hampir habis dan mata gue mulai berkunang-kunang hingga gue gak tau apa yang terjadi selanjutnya karena semuanya jadi gelap.
⚫⚫
Gue terbangun di atas kasur empuk yang hangat dan nyaman di sebuah ruangan kamar yang gue gak kenal.
Ini di mana sih, kamar gue sama Felix gak kayak gini, begitu juga kamar Dion?
Gue masih belum menyadari namun gue akan mengetahuinya sesaat lagi. Gak lama kemudian pintu kamar itu terbuka dan ada sesosok pria tegap dengan wajah oriental namun berkulit tanning eksotis datang menghampiri. Gue langsung bertindak preventif dengan menghindar karena trauma gue dengan orang asing.
![](https://img.wattpad.com/cover/153232720-288-k88014.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Step-Brother
General Fiction✔Another reuplaod gay themed story ✔Original writer : babyfacehunks ✔Don't like don't read ✔Be a smart reader, please!