Gue kembali menjalani hari-hari seperti biasa. Waktu makin mendekat menuju kuliah tahun ketiga gue dimulai.
Sekarang gue memasuki semester lima. Semester dengan suasana baru tanpa sahabat sejak gue masuk kuliah dulu. Semester di mana gue harus belajar menghargai arti sebuah persahabatan dan cinta.
Semester pertama gue harus berpisah sama sahabat terbaik yang diciptakan Tuhan buat gue. Semester pertama gue tanpa Dion, tanpa orang yang selalu jadi teman kelompok gue di semua mata kuliah sejak semester satu, teman yang setia bangunin gue lewat SMS atau telepon kalo gue ada kuliah pagi. Teman yang selalu mengisi hari-hari gue dua tahun belakangan ini. Teman yang selalu ada saat suka, duka, senang, sedih, sehat maupun sakit.
Gue beranjak menuju ke Bandara Soekarno Hatta, tempat gue harus melepas salah satu sosok spesial dalam hidup gue.
Sepanjang jalan gue gak hentinya merengut, mau marah, kesal, sedih semua jadi satu. Mata gue memerah tanda kurang tidur. Gue gak bisa tidur semalaman karena membayangkan kehilangan sosok orang yang sudah mengisi hati gue.
Sampai di sana ternyata Dion masih menunggu pesawat untuk take off 45 menit lagi, gue langsung memarkirkan mobil dan bergerak menuju tempat Dion menunggu.
Di sana hanya ada Alena dan Dion. Gue merasa sepertinya Dion gak mau melihat wajah gue, gue juga gak bisa bayangin bagaimana perasaan Dion sekarang. Harus berpisah dengan cara seperti ini. Gue kembali menatap wajah Dion yang kini langsung menubruk badan dan memeluk gue dalam-dalam.
"Co, gue gak bisa sembunyiin perasaan gue. Gue belum siap Co, kehilangan semuanya. Gue belum siap kehilangan lo dari hidup gue," ujar Dion sambil sesekali meneteskan airmata.
"Gue juga, bro. Gue masih belum bisa terima semua ini," jawab gue.
"Lo harus janji ya Co, sama gue. Jangan pernah sekalipun lupain gue. Lo harus selalu inget sama gue ya, Co!" pintanya.
Gue mengangguk. Kita kembali berpelukan erat dan gue berharap waktu bisa berjalan lambat sehingga gue bisa merasakan pelukan ini lebih lama, pelukan terakhir yang mungkin diberikan Dion ke gue.
Bibir tipis Dion yang merah itu sedikit basah oleh airmata, bibir yang sama yang selalu gue kecup selama ini. Gue sangat ingin bisa mengecup kembali bibir itu, tapi sepertinya memang sudah tidak ada harapan lagi buat gue.
Sikap gue mungkin terkesan berlebihan, karena jarak antara Bandung-Surabaya sebenarnya tidak terlalu jauh. Tapi di bawah pengawasan ketat Eyang dan keluarga besarnya, bisa dipastikan gue gak akan pernah bisa ketemu Dion lagi.
⚫⚫
Dion POV
Gue dengan cemas menunggu kedatangan Marco. Dia sudah berjanji sama gue untuk datang melepas kepergian gue.
"Ci, untuk hari ini aku mohon Cici jangan larang aku untuk ketemuan sama Marco, karena dia udah bersedia ke Jakarta hanya untuk nemuin aku!" pinta gue ke Alena.
"Iya, Cici kasih kesempatan kamu buat ketemu dia. Itung-itung sebagai ucapan perpisahan kamu sama dia," ujar Alena.
Gue jadi mengingat momen-momen kebersamaan gue dan Marco selama ini. Momen yang pasti gak akan pernah gue lupain dan gue pun berharap sebaliknya, Marco juga gak akan pernah melupakan momen kebersamaan kita selama dua tahun belakangan ini.
Gue jadi senyum-senyum sendiri mengingat kegokilan kita berdua dalam berbagai aktivitas yang kita lalui bersama dan itu bikin gue makin gak sabar untuk menemuinya.
Gue sesekali melirik ke arah jalan, melihat satu demi satu mobil yang datang, berharap itu mobil Marco sehingga gue bisa cepet ketemuan sama dia.
Gak lama yang gue tunggu tiba. Marco keliatan kacau, gue sama sekali gak kuat melihat dia, gue belum siap melihat wajah sendunya itu. Marco terlihat sedih dan ekspresi itu tampak jelas tergambar di wajah gantengnya. Gue gak sabar dan langsung memeluk sahabat terbaik gue itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Step-Brother
Ficción General✔Another reuplaod gay themed story ✔Original writer : babyfacehunks ✔Don't like don't read ✔Be a smart reader, please!