Kuliah sudah memasuki waktu pertengahan semester tiga. Ujian tesis juga telah menunggu di semester empat. Begitu pula dengan dompetku yang juga sedang menunggu malaikat maut. Begitu berat jika harus melalui satu semester lagi.
Penat sudah menemani selama beberapa bulan. Pedihnya tidak digaji. Rintihan tidak punya uang. Kebingungan akan menghadapi hari esok. Semuanya telah menjadi sarapan pagi, setiap kali aku membuka mata untuk menatap dunia.
Aku mencoba lulus kuliah di semester tiga. Bukan karena aku pandai ataupun memiliki nilai yang tinggi. Tetapi karena aku sudah tidak sanggup untuk membayar uang kuliah di semester empat dan memenuhi semua kebutuhan hidup.
"Apa pun yang terjadi, aku harus lulus di semester tiga!" Tekatku.
Peraturan di kampus, dosen pembimbing dapat dipilih sendiri oleh mahasiswanya. Sehingga beberapa dosen sering berpromosi ria agar mendapatkan banyak mahasiswa bimbingan dan sering memberikan kemudahan kepada mahasiswanya.
Hukum rimba pun berlaku.
Dosen yang mudah memberikan approval tesis maka mahasiswa bimbingannya biasanya akan dibantai pada saat sidang oleh dosen yang susah memberikan approval. Begitu juga sebaliknya. Tidak ada pilihan yang sempurna. Semua pilihan memiliki resikonya masing-masing.
Fakultas memberikan empat pilihan dosen. Dipaparkan dari kelas berat hingga kelas ringan. Pilihan pertama, dosen yang paling perfectionist, tegas dan terperinci. Dia adalah seorang kepala jurusan. Mahasiswanya jarang dibantai di dalam persidangan.
Pilihan kedua, hampir mirip dengan pilihan pertama, tapi lebih detail. Hanya saja pilihan kedua ini, lebih bisa mengarahkan dari pada pilihan pertama yang biasanya hanya memilih mahasiswa yang sudah matang.
Pilihan ketiga, Lebih kooperatif dengan mahasiswa. Approvalnya tidak terlalu banyak permintaan. Tapi dosen ini sulit ditemui. Sedangkan dosen keempat paling fleksibel. Paling mudah menyetujui tesis. Isi tesisnya tidak terlalu banyak permintaan. Tetapi mahasiswanya sering menjadi sasaran empuk pembantaian di sidang.
Bagaimanapun dosen keempat adalah yang paling laris. Dalam peraturan fakultas, setiap dosen pembimbing dibatasi jumlahnya dalam menerima mahasiswa bimbingan. Sehingga banyak mahasiswa yang saling berebut agar dapat dibimbingan oleh dosen keempat.
Begitupun dengan teman sekelasku yang bernama Bagus.
"Kamu bareng sama aku saja. Kita bimbingan dengan Pak Hari." Ajaknya. Pak Hari adalah nama dosen keempat yang paling difavoritkan. "Sudahlah! Jangan ngambil dosen yang nyusahin. Nanti kamu sendiri yang susah."
"Siapa saja yang mau mengambil bimbingan dengan Pak Hari?" Tanyaku.
"Banyak." Timpanya bersemangat. "Ada Jayanti, Abdul. Pokoknya banyak dah!!"
"Makanya buruan daftar. Takutnya kuotanya sudah penuh. Jadi kamu tidak bisa mengambil bimbingan dengan Pak Hari. Penyesalan selalu datang belakangan, Ndra."
"Pada ngomongin dosen pembimbing ya?" Sahut Bu Dela yang datang dari belakang. Dia menemui kami yang sedang duduk-duduk di ruang kelas pada jum'at sore.
Bu Della adalah karyawan yang bekerja di kampus. Dia mendapatkan beasiswa dari kampus untuk melanjutkan S2. Dan kebetulan menjadi teman sekelas kami. Pembahasan yang seru ini menjadi menarik perhatian Bu Della untuk ngeriung bareng.
"Jadi rencananya kalian mau ngambil bimbingan dengan siapa?" Dia bertanya balik.
"Rencananya besok pagi. Saya mau bimbingan dengan Pak Hari." Balas Bagus.
Sebelum Bagus meneruskan perkataannya, Bu Della langsung memotongnya. "Iya tuh. Cepetan kalau mau dengan Pak Hari." Jelasnya memberi bocoran karena Bu Della memiliki semua informasi tentang kampus. "Kuotanya sudah hampir penuh. Nanti kehabisan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kado Buat Emak Dari Tuhan
General FictionInspired by True Story Kawindra dan Pak Pur yang sedang bekerja di perusahaan yang hampir bangkrut. Mereka sudah bekerja tanpa dibayar berbulan-bulan. Dan Tommy harus di PHK di saat akan menikah. Mungkin mertua dapat memaklumi dan keluarga dapat mem...