Bab 24 - Pak Tua Dari Banten

67 6 0
                                    

Pagi ini aku bangun kesiangan, gara-gara nonton pertandingan bola terlalu larut malam. Padahal aku sudah memasang jam weker. Tetapi bunyinya tidak mampu mengeluarkanku dari pintu alam bawah sadar.

Sehingga terpaksa aku harus menggunakan jasa ojek untuk menuju ke stasiun. Bukannya berjalan ngebut tapi si ojek berjalan santai. Di pertengahan jalan, ada mobil angkot yang berjalan sekedarnya di depannya. Si ojek bukannya melewatinya, malah berjalan dengan damai di belakangnya.

Aku berusaha menyindirnya beberapa kali dengan melihat jam tangan agar dia dapat berjalan lebih cepat. Tetapi si tukang ojek malah mengira jam tanganku mati. Dia malah menyarankan agar aku membeli baterai yang qualitasnya lebih terjamin.

KUSUT DAH, NIH TUKANG OJEK!

Di depan pintu masuk stasiun Sudimara, ada seorang pengemis tua yang menghadang jalan. Mukanya terlihat lusuh. Dia memasang tampang memelas, memohon dan menampakan keseriusannya.

Serius meminta uang.

Aku memperhatikannya dengan seksama. Sepertinya pengemis baru. Bukan pengemis langganan yang biasa mangkal di depan stasiun. "Apakah dia penghuni baru atau hanya pengemis dadakan?" Pikirku.

Dia tidak mengenakan pakaian pengemis pada umumnya. Dia mengenakan baju hitam, kaos berkerah dengan celana hitam. Dan ikat kepala berwarna merah. Seperti baju yang biasa digunakan orang Banten pedalaman. Parasnya terlihat tua bersahabat.

Dia hanya meminta uang, tanpa mengucapkan sepatah kata.

Dengan melihat semua barang yang dibawanya, aku memprediksikan dia sedang kehabisan ongkos pulang.

Banyak orang yang hanya melaluinya. Begitu juga denganku.

Setelah meninggalkannya, aku terbayang apabila dia benar-benar tidak punya uang untuk kembali pulang ke rumah. Apakah ada orang yang akan perduli dengannya?

Akhirnya aku kembali keluar untuk memberinya uang dari sisa kembalian sewaktu membeli karcis tadi. Aku hanya memberikan uang dan langsung meninggalkannya.

Terdengar ucapan pengemis tadi, "semoga Tuhan membalas dengan yang lebih baik."

"Aamiin ya rabbal'alamin." Balasku berbisik dalam hati.

Aku melihat sepintas, si pengemis langsung pergi meninggalkan stasiun. Dia sudah tidak melanjutkan meminta-minta lagi.

Aku bertanya-tanya dalam hati, "Ada apa dengan pengemis itu?"

***

Di kantor tidak seramai dulu. Banyak karyawan yang sudah resign karena sudah tidak tahan dengan kondisi kantor yang tanpa kepastian. Hanya tertinggal beberapa penghuni terakhir yang masih berharap kantor akan kembali seperti dahulu.

Waktu makan siang telah tiba.

Hari ini mama ada acara tour ke bogor bersama dengan ibu-ibu arisan. Dia harus berangkat pagi hari. Sehingga dia tidak sempat membuatkan bekal nasi putih seperti biasanya.

Sehingga aku ikut Wandi, Firda, Mbak Elis dan Febrianti makan bersama diluar. Kita merencanakan akan makan soto lamongan. Satu-satunya makanan yang harganya masih terjangkau di kantong untuk orang yang belum gajian beberapa bulan.

Perutku sudah melilit kelaparan.

Gara-gara datang kesiangan menyebabkan aku tidak sempat makan pagi.

Kami duduk berhadapan di warung soto lamongan di pinggir jalan. Bersama dengan terik dan panasnya matahari di siang hari. Terasa gerah juga dilengkapi oleh asap kendaraan.

Kami memesan menu soto lamongan campur dengan nasi bersama teh tawar hangat. Rasanya yang enak dan murah menjadikan makan siang ini sebagai hiburan pelepas penat.

Kado Buat Emak Dari TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang