Di hari senin pagi, Tommy menjemputku untuk pergi ke kantor bersama menggunakan vespa tahun kemerdekaannya. Kebetulan dia sedang ada interview panggilan kerja yang alamatnya searah dengan kantorku.
Ataukah Tommy hanya ingin membalas budi karena ngeprint gratis?
Mukanya tampak cerah semeringah. Dalam seminggu ini, dia sudah mendapatkan 8 panggilan interview. Sepertinya dia sudah melihat pintu jalan keluar yang kian terbuka untuknya. Permasalahannya selesai satu persatu.
Kini dia hanya tinggal menunggu mendapatkan perkerjaan baru.
Kakiku kembali kesemutan menahan berat kardus yang berisi undangan pernikahan. Aku terpaksa memangkunya karena tidak ada box penyimpanan barang di vespanya. Setelah pulang interview, Tommy berencana akan mengirimkannya menggunakan jasa expedisi dengan paket kilat express. Yang semua biayanya ditanggung oleh calon mertuanya.
Dia tersenyum dengan segar saat wajahnya menghantam angin pagi. Sedangkan aku merintih dan meringis pada beban yang belum menghilang. Beban kehidupan yang membuatku frustasi dan beban kerdus yang membuat kakiku mati rasa.
Rasa pedih itu semakin menghimpit, saat melihat setiap orang disekitarku sudah selesai dengan masalahnya. Sedangkan aku harus merasakan tabungan yang terus tergerus oleh kebutuhan hidup tanpa ada pemasukan sedikitpun.
Kami hampir sampai di kantorku. Vespa mulai melaju dengan melambat.
Aku terkejut melihat 2 sosok orang berbadan besar yang sedang menunggu di pintu masuk kantor. Mukanya tidak asing buatku. Mereka sedang asyik ngobrol sambil memperhatikan setiap orang yang berlalu-lalang melewatinya.
"Tom, balik." Pintaku dengan keras dan spontan. "Puter balik, Tom."
"Apeee???" Tommy menjadi terkejut.
"Puter balik, Tom." Jelasku. "Sekarang!!!!"
Tommy langsung berbalik arah. Dia melawan beberapa kendaraan.
"KAU GILA YA!!" Omelnya.
"Tom, pergi cepetan." Seruku tidak perduli.
Tommy langsung menarik gas menjauhi kantorku.
"Kenapa sih?" Tommy mencak-mencak. "Udah mau mati?"
Kedua orang itu adalah satpam yang bekerja di kantor lamaku. Sekarang mereka bertugas menjadi debt collector untuk mencariku.
"Sorry Tom." Jawabku sudah sedikit lega. "Tadi di depan pintu kantor ada debt collector."
"Apa? Debt collector?" Tommy kebingungan. "Sejak kapan kamu berhutang?"
***
Vespa tua berjalan menyusuri gank-gank kecil di sepanjang perumahan di pinggiran Mampang. Akhirnya terhenti di depan musolah kecil yang sedang dibersihkan oleh marbot. Kami duduk di tangga kecil yang berada di depannya.
Aku menghempaskan kerdus besar di samping tempat dudukku sambil memijat kaki masih gemetaran. Tommy duduk di samping. Dia belum memulai dengan sebuah kata. Pandangannya hanya tertuju pada langit cerah yang menguning.
Tommy hanya butuh waktu yang tepat untuk memulainya.
"Sejak kapan kamu berhutang?" Tommy mengulangi pertanyaannya lagi. "Hutang itu resikonya besar. Jadi jika tidak benar-benar memerlukan, lebih baik jangan berhutang."
Aku mengelengkan kepala, "bukan berhutang uang. Tapi laptop."
Tommy merenyitkan dahinya, "Kamu membeli laptop baru?"
Aku menghelakan napas panjang untuk memulai bercerita.
"Waktu bekerja di kantor yang sebelumnya, mereka masih belum membayar gajiku selama 2 bulan. Sebelum aku resign aku tidak mau mengembalikan laptop kantor sampai mereka melunasinya. Laptop itu kuanggap sebagai bayaran gajiku yang tidak mereka bayarkan."
"Mereka memaksa agar aku mau mengembalikan laptop itu. Tetapi aku bersikeras untuk barter. Jika aku kembalikan laptopnya, maka aku tidak akan punya bargaining power untuk memaksa mereka membayarkan gajiku."
"Ndra, itu barang haram. Kamu mengambil sesuatu yang bukan milikmu. Biarkan saja mereka mengambil hakmu. Nanti mereka sendiri yang akan terkena balasannya. Tapi jangan karena perlakuan mereka, kamu menjadi ikutan zolim." Tommy menasehati.
"Gajiku selama 2 bulan bisa membeli 3 laptop ini." Aku menunjukan laptopnya dari dalam tas. Laptop itu dipakai sehari-hari di GITEK karena GITEK tidak mampu menyediakan laptop untukku.
"Anggap saja impas karena mereka jauh lebih untung dengan tidak membayarkan gajiku."
Aku menunjukan sebuah SMS yang dikirimkan dari Pak Ardi yang menjadi owner kantor sebelumnya yang berisikan, "serahkan laptopnya."
Aku juga menunjukan pada Tommy mengenai balasan SMS yang telah kukirimkan berkali-kali pada si owner bahwa aku akan mengembalikannya jika gajiku selama 2 bulan dibayarkannya. Tetapi Pak Ardi tetap tidak perduli. Dia hanya perduli pada haknya.
"Jika gaji selama 2 bulan itu milikmu dengan cara apapun pasti akan kembali. Tetapi jika itu bukan rezekimu, seperti apapun dikejar. Itu tidak akan pernah menjadi milikmu." Tommy menjelaskan. "Rezeki itu Allah yang atur. Serahkan dan ikhlaskan semua pada Nya."
"Apakah kamu bisa tenang mengambil sesuatu yang bukan milikmu?" Tanyanya lagi.
"Dikejar-kejar oleh debt collector. Lalu diterror oleh mantan bos."
"Cetung,.. Cetung,.." Bunyi BBM memecahkan keteganganku dengan Tommy.
"Kamu pasti kabur dari kantor, gara-gara dikejar-kejar debt collector ya?" Isi BBM dari Mbak Elis. "Mereka sudah pergi tuh. Tadi Febrianty yang bilang ke mereka, bahwa kamu sedang tidak masuk karena sakit. Jadi sekarang kamu sudah bisa balik ke kantor."
Akhirnya aku kembali ke kantor diantarkan oleh Tommy lagi dengan vespanya.
Pesan terakhir Tommy sebelum meninggalkanku di halaman kantorku.
"Setiap orang bertanggung jawab atas dosanya sendiri. Jangan sampai kamu membalas perlakuan orang lain, yang justru menyebabkan kamu yang malah mendapatkan dosa dan hukuman yang sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kado Buat Emak Dari Tuhan
General FictionInspired by True Story Kawindra dan Pak Pur yang sedang bekerja di perusahaan yang hampir bangkrut. Mereka sudah bekerja tanpa dibayar berbulan-bulan. Dan Tommy harus di PHK di saat akan menikah. Mungkin mertua dapat memaklumi dan keluarga dapat mem...