Bab 5 - Penawaran Harga

17 1 0
                                    

Hari berlalu tanpa terasa sudah menjadi hitungan minggu.

Sejak pertemuan proyek pembuatan aplikasi trading forex bersama para investor, aku sudah tidak mendengar kabarnya lagi. Awalnya proyek ini menjadi berita angin segar di GITEK. Tetapi akhirnya tenggelam bersama waktu.

Mas Dirga memanggilku dan Arwin ke dalam ruangannya.

Aku dan Arwin clingak-clinguk di dalam ruangan yang AC-nya tidak dingin bersama kabut asap rokok yang merobek pernapasan secara perlahan. Membuatku terbatuk-batuk beberapa kali. Dan memaksaku menutup hidung menggunakan sapu tangan.

Mas Dirga membuka jendela ruangannya, "banyak asap ya?" Tanyanya.

"Aku ada tugas untuk kalian." Tambahnya.

"Tolong berikan penawaran harga proyek yang baru kepada Pak Bentot." Seru Mas Dirga sambil memasukan lembaran kertas ke dalam amplop besar.

Muka Arwin terlihat pucat pasi. Tangannya merinding dan kakinya bergetar menghentak-hentakan bumi. Tatapannya kosong. Dia terlihat sedang tidak fokus.

"Kenapa Win?" Tanya Mas Dirga heran.

"Tidak apa-apa, mas." Jawabnya polos.

"Kenapa?" Mas Dirga bingung. "Tugasmu hanya menemani Kawindra saja kok."

"Yah sudah. Jalan dah." Seru Mas Dirga lagi sambil memberikan dokumennya.

"Naik apa ya, mas?" Tanyaku sebagai kode.

"Naik ojek juga boleh. Biar lebih cepat sampai." Balasnya bersemangat.

"Apakah ada budget kantor untuk transportasinya, mas?"

Mas Dirga menghelakan napas panjang. Dia sudah tahu, apa yang aku maksud. Dia mengeluarkan dompetnya, sambil berkata, "Haduhhh. Aku juga lagi pailit nih."

Arwin duduk tidak tenang. Bergeser ke kanan. Bergeser ke kiri. Kemudian mengesek-gesekkannya ke alas kursi. Mas Dirga yang memperhatikan gelagatnya dari tadi merasa risih. Tak lama kemudian menjadi jijik.

"Ada apa sih, Win?" Protes Mas Dirga.

"Ngono, mas." Jawabnya tersipu malu.

"Weis, ngono opo?"

"Itu, mas."

"OPO!!!"

"Wasir, mas."

***

Aku dan Arwin naik ojek dari pangkalan yang tidak jauh dari kantor.

"Are you okay?" Tanyaku sok ke Inggrisan.

Arwin hanya tersenyum garing. Aku berpikir wasirnya sudah parah.

Supir ojek memilih mencari jalan tikus untuk mengindari kemacetan. Jalan-jalan di pedalaman ibu kota Jakarta. Jalan-jalan yang tidak bersahabat bagi wasirnya Arwin. Beberapa kali ditemui jalanan yang telah rusak.

Di sana banyak pemukiman sempit yang hanya dapat dilalui oleh kendaraan beroda 2. Kumuh dengan kebersihan yang tidak terjaga. Jauh dari campur tangan pemerintah setempat. Banyak warga yang duduk santai di warung-warung terdekat. Mereka sedang mengobrol ceria. Melupakan sesaat pedihnya dunia.

Mukanya Arwin terlihat sangat sengsara. Terlihat pucat membahana.

Ojek yang kunaiki berjalan dengan santai. Sedangkan ojeknya Arwin berjalan mengebut. Beberapa kali ojekku tertinggal. Dan mereka harus menunggunya.

Di pertengahan jalan, ada beberapa polisi tidur yang berdiri berdampingan. Ojek tidak dapat langsung berhenti seketika dalam kecepatan tinggi. Terpaksa polisi tidur yang berdiri kokoh, dihajar oleh motor yang membuatnya terpelanting beberapa jengkal dari cor-coran jalan. Dan rodanya menghantam keras ke jalan.

Kado Buat Emak Dari TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang