Bab 23 - Tromol Jum'at

70 5 0
                                    

Mataku masih belum dapat melihat dengan sempurna. Padangan berbayang. Kesadaran enggan mendekat. Sehingga setengah hidupku masih ditemani oleh mimpi.

Desis pemikiran sepintas mampir disebagian perasaan. Langsung menancap tajam dari kesadaran. Dia melukai dengan tajam perasaanku. Sebuah pertanyaan dan luka lama yang belum hilang dari hidupku.

Tommy, Pak Novri dan teman-teman lainnya, satu persatu telah keluar dari lubang hitam. Hanya tinggal aku yang tertinggal.

Apa yang salah denganku? Apa yang harus aku lakukan? Segalanya begitu sulit, hingga mata hatiku tidak dapat melihatnya. Setengah hati masih bersemangat untuk berpacu keluar dari lubang ini. Dan sisanya sudah lelah, ingin menyerah dari keadaan. Tapi tidak bisa karena dipaksa harus berjalan.

Mataku tertuju pada pohon kinetu yang berdiri dengan gagah di depan jendela kamar. Pohon yang memiliki daun yang rindang tetapi hingga kini tidak berbuah lagi.

Apakah dia merasa buahnya sudah tidak dibutuhkan lagi sehingga dia enggan berbuah.

Waktu sudah menunjukan pukul 11.10 WIB, aku bersiap- siap untuk solat jum'at.

Hari ini aku izin tidak masuk kantor karena sakit. Pikiranku butuh istirahat dari kelelahan yang sangat panjang. Badan sudah tidak dapat dikompromikan. Menahan beban pikiran. Rasanya aku sudah muak untuk terus berjalan.

Di dalam masjid, aku duduk di barisan terdepan. Khatib sedang memberikan ceramah jum'at. Tetapi pikiranku melayang-layang dihadapan dinding masjid.

"Ceklak. Ceklak." Suara tromol jum'at mendekatiku.

Aku membuka dompet yang isinya cukup sepi. Hanya berpenduduk 1 ATM, KTP, SIM, 1 lembar uang 50 ribu dan 1 lembar uang 20 ribu rupiah.

Pikiranku berbicara, "tidak ada uang untuk tromol karena 50 ribu akan dibelikan bensin dan 20 ribu untuk membeli makan malam. Kalau terlambat makan, nanti maag bisa kambuh."

Hati kecilku menepisnya, "masukkan uang yang 20 ribu saja. Kalau lapar, kamu bisa makan di rumah. Lagipula kamu hampir tidak pernah bersedekah."

Pikiranku juga tidak mau kalah, "nanti kalau sudah gajian, baru bersedekah lagi. Lagipula sekarang kamu sedang tidak punya uang. Jadi tidak masalah jika belum bersedekah."

Hati kecilku membalasnya lagi, "sekali-sekali, bro! Hanya 20 ribu. Sudah lama kamu tidak pernah bersedekah. Lagipula nanti malam mama punya makan malam yang enak."

"Ceklak." Tromol berhenti tepat di depan biji mata.

Pertikaian sengit pun terjadi antara pikiran dan hati nurani. Mereka menunggu keputusan yang akan kuambil.

Aku menutup kedua telinga agar tidak mendengar pertengkarannya. Memejamkan mata dan menarik napas pajang untuk berfokus pada keputusanku sendiri.

Aku ambil uang 20 ribu dari dompet, kemudian aku masukkan ke dalam kotak tromol.

"Masalah selesai!!" Pikirku dalam hati.

Aku menggeser kembali kotak tromol jum'at ke sebelah.

Bapak yang duduk disampingku, mulutnya menganga lebar. Gara-gara melihat kelakuan anehku. Dengan kumis japlangnya yang miring sebelah, dia menghapus ilernya.

Sembari berpikir, "anak alay, lagi lebayyy!!"

Sesampainya di kampus, aku langsung menuju ke ruang kelas yang terletak di lantai 5. Ruang kelas nampak sudah ramai. Teman-teman sedang asyik mengobrol sehingga ruangan kelas seperti terasa di pasar.

"Ndra, dosennya tidak datang." Seru Alex yang berada disamping tempat dudukku.

"Oh, gitu." Jawabku sambil meletakan tas diatas meja.

"Dosen pelajaran ke 2 tidak dapat dimajukan?" Tanyaku lagi.

"Enggak bisa, Ndra." Timpa Alex. "Waktunya tanggung."

Aku melihat jam tangan yang menunjukan waktu sudah hampir pukul 5 sore.

"Ndra, ke kantin yuk." Ajak Alex.

"Ngapain Lex?"

"Makanlah. Masa narik becak."

"Nanti aku menyusul." Balasku dan Alex pun meninggalkanku duluan.

Hal yang paling menyebalkan adalah nongkrong bareng saat sedang tidak punya uang. Aku akan menjadi kambing congek yang kelaparan.

Penghuni kelas satu persatu pindah ke kantin. Perlahan tapi pasti. Ruang kelas menjadi kosong. Hanya tinggal aku sendiri di dalamnya.

Aku memilih menepi ke perpustakaan daripada kesambet jin iprit di kelas yang kosong. Aku mengisi waktu menunggu magrib dengan bermain game dotta offline.

Retno dan Echa datang menghampiriku sambil asyik mengobrol sendiri. Aku duduk di meja bundar yang besar. Membuat Retno dan Echa ikut nimbrung bersama.

Melihat aku yang asyik sendiri. Menarik perhatian Echa untuk mengintipnya.

"Main game, sendirian aja." Serunya sambil memukul bahuku dengan bringas.

Gara-gara tersenggol, pemainku terkena jurus dari musuh dan mati seketika.

"Ah, resek loh." Ketusku dengan sebal.

"Eh, kamu laper tidak?" Serunya. "Mau makan?"

Perasaan bete hadir kembali di hatiku. Aku sudah berusaha pindah ke perpustakaan menghindari ajakan makan. Di sini pun, aku masih menemuinya. Sebenarnya perutku sudah merasakan lapar. Tetapi aku tidak punya uang.

"Enggak, Cha." Balasku cuek sambil menunggu jagoanku hidup kembali.

"Tadi aku membeli makanan buat pacarku." Echa menunjukan 1 paket KFC dengan segelas pepsi dingin. "Ternyata dia tidak jadi datang untuk menjemputku."

"Mungkin aku akan memberikannya kepada satpam kampus."

Aku melihat paket KFC dengan 2 ayam yang besar-besar.

Naga di perutku langsung berteriak-teriak secara gragas, "AMBILLLL!!!!!!"

"Cha,.."

"Apa?"

"Boleh deh, buat ane saja." Bisikku pelan.

"Ye,.. TUDUNG SAJI!!" Ketusnya. "Tadi kamu bilang tidak lapar."

"Perutku yang berubah pikiran, setelah melihat 2 ayam yang gede-gede."

"Dasar!" Serunya sambil menyerahkan kotak KFC-nya.

Akhirnya aku tidak jadi kelaparan selama jam pelajaran di kampus. Paket KFC-nya mampu menghilangkan rasa lapar sampai dengan esok hari. Aku tidak pernah menyangka akan mendapatkan makan enak.

Di dalam box KFC, ada kwitansi pembayaran makanan. Tertulis dengan jumlah sekitar 50 ribu rupiah. Jumlahnya 2 kali lipat dari uang jatah makan yang aku masukan ke dalam tromol jum'at tadi.

Apakah ini kebetulan atau tidak? Tapi menurutku, tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini. Karena semuanya sudah diatur oleh yang Maha Kuasa.

Aku hanya dapat mengucap, "Alhamdulillah".

Kado Buat Emak Dari TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang