Bab 21 - Karung Beras

71 5 0
                                    

Minggu pagi yang cerah sudah menunjukkan waktu pukul 8.50 WIB. Aku sudah siap menunggu Tommy di depan pagar rumah dengan mengenakan celana jeans dan kaos berkerah.

Sewaktu aku masih beristighfar sambil menunggu azan subuh. Aku menerung tentang masalah yang menimpa Tommy. "Apakah benar solatnya yang berantakan yang membuatnya terkena musibah? Jika Tommy memperbaikinya, apakah masalahnya akan selesai?"

Seribu tanya pada benakku terhenti ketika Tommy mengirimkan BBM yang berbunyi:

"Suatu saat kebenaran akan terungkap. Mungkin sudah saatnya aku harus memberitahukan keadaan yang sebenarnya pada orang tua Pipit. Dan apapun resikonya."

"Aku akan menerima semuanya dengan lapang dada."

"Ndra, nanti temenin ke rumah Pipit yak."

"Jam 9, TENG!! Aku akan tiba di rumah kamu. Tolong jangan telat!!!"

Setelah itu, aku balas BBM-nya, "Ada apa, Tom?"

Tidak dibalas oleh Tommy.

Kemudian aku mencoba mengirim BBM sebanyak 4 kali. Dan tidak ada satupun yang dibalasnya. Aku sudah mencoba miscall sebanyak 7 kali.

Dan tidak 1 kali pun, dia menelpon balik.

Sampai BBM terakhirku, "Tom, nanti jadikan jam 9?"

Baru dibalasnya, "Yoi."

***

Pukul 9.10 WIB, Tommy telah tiba di rumahku dengan menggunakan motor vespa antiknya membawa kardus besar yang diletakkanya di jok belakang. Dia mengenakan baju yang cukup formil, celana bahan dan baju lengan panjang berwarna putih polos.

Dia memarkirkan motor vespanya di dalam halaman depan rumah. Walaupun aku belum memberikan izin apapun. Tanpa tedeng aling-aling, dia nyelonong masuk.

Aku penasaran dengan kerdus besar yang dibawanya.

"Buat siapa?" Tanyaku sambil mengintip isinya dengan mengangkat ujung kardus.

"Buat dikau. Tapi belum beri nama."

"Apaan?"

"Undangan kawinan."

"Kebanyakan. Lagian buat apa undangan satu kerdus?" Protesku.

"Kamu ambil satu undangan saja." Jawabnya sambil mendirikan standard vespanya. "Sisanya mau diantar ke rumah calon mertua."

Tommy langsung menghabiskan ½ botol dari teh kemasan yang kuberikan. Dia sangat kehausan. Cahaya mentari pagi, cukup membuat kerongkongannya kering. Dia mengelap bibirnya yang berlinangan air teh karena dia meminumnya secara membabi buta.

"Aku mau nganterin undangan ke rumah Pipit." Pintanya. "Temenin ya."

"Naik Vespa?"

Tommy mengangguk sambil melanjutkan meminumnya kembali.

Aku hanya mengaruk kepala melihat jok belakang telah penuh diduduki oleh kardus besar. Dan Tommy langsung mengerti raut mukaku.

"Nanti kamu pangku kerdusnya ya"

"EH BUSYEST DEH!!"

"Selain nganterin undangan, apa ada hal yang lain?" Tanyaku penasaran.

"Aku mau bertemu dengan orang tuanya. Aku mau katakan yang sejujurnya mengenai kondisiku yang sekarang. Tidak mungkin aku menyembunyikannya. Sehingga jika ada kemungkinan terburuk. Undangan masih belum disebar."

"Apa kamu yakin?"

"Sebenarnya Pipit juga tidak setuju dengan ideku. Tapi kita tidak bisa selalu menyembunyikan masalah. Suatu saat pasti akan terbongkar."

Mungkin mertua dapat memaklumi dan keluarga dapat memahami tetapi mulut tetangga belum tentu dapat ditoleransi.

"Intinya aku sudah ikhlas dan siap. Jika orang tuanya tidak setuju dan membatalkan pernikahanku."

Aku mencoba meyakinkannya sekali lagi, "apa kamu yakin?".

Dia hanya menggangguk.

***

Vespa tua Tommy bersuara melengking sekeras tarikan onta dengan kecepatan secepat kura-kura. Baru seperempat perjalanan, kupingku sudah setengah tuli. Kakiku pun sudah kesemutan, gara-gara menahan beban kardus yang dipangku.

Tommy mengarahkan vespanya berjalan melaju pada jalan yang tidak biasa dilaluinya.

"Kenapa kita lewat sini, Tom?" Tanyaku penasaran. "Ini bukan arah ke rumah Pipit."

"Kita mau pergi ke panti dulu, Ndra."

"Ngapain?"

"Aku mau ngasih 2 karung beras."

"APEE??" Seruku terkejut dalam kebingungan.

Aku membayangkan harus memangku 1 kardus besar ditambah tumpukan 2 karung beras. Mana kuat!

"EH, BIJI ONTA!" Ketusku.

"Mau diletakan dimana 2 karung berasnya?" Tanyaku lagi.

"WOII. BAKUL NANGKA!!" Balasnya.

"Siapa yang suruh kamu membawa 2 karung beras? Kita hanya kasih uangnya saja ke pengurus panti."

"Bukankah kamu sedang tidak punya uang?"

"Aku hanya sedang tidak bekerja, bukan berarti tidak punya uang. Orang tuaku masih memberikan segalanya dengan cukup. Tabunganku masih cukup, dan aku masih punya beberapa pekerjaan sampingan walau penghasilannya tidak tetap."

"Orang-orang yang tinggal di panti mendapatkan cobaan yang jauh lebih susah dibandingkan dengan kita. Sebagian masih anak-anak yang seharusnya mereka mendapatkan kasih sayang dan dicukupkan semua kebutuhannya oleh orang tua mereka."

"Tetapi mereka terbebani oleh kebutuhan hidup. Yang seharusnya masa kanak-kanak hanya diisi dengan belajar dan bermain."

"Saat kita sedang susah seperti ini, orang tua kita masih mencukupi semua kebutuhan kita, sedangkan mereka tidak ada yang membantu."

"Justru dengan cobaan seperti ini, kita jadi belajar mengerti kesulitan orang lain. Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk membantu anak-anak panti. Tetapi kita bisa memaksa diri sendiri untuk membantu mereka."

"Coba bayangkan, seandainya posisi kamu yang menjadi anak penghuni panti?"

Aku dan Tommy tiba di panti. Bentuknya hanya seperti rumah biasa yang tidak terlalu luas tetapi di rawat dengan rapih dan bersih. Di halamannya terdapat plank besar yang tertulis nama panti bersama dengan izin pendirian panti.

Tommy meletakan helmnya di spion vespa. Dia memarkirkannya di dekat pintu masuk. Sedangkan aku masih berusaha berdiri dengan sempurna. Aliran darah tidak berjalan dengan rata menyebabkan seluruh kaki kesemutan karena menahan beban yang berat dipangkuan.

"Kamu masih ingat tentang filosofi pohon kenetu?" Tambahnya. "Jika kita sering memberi, mungkin rezeki kita bisa seperti pohon kenetu yang terus berbuah."

"Kita lihat nanti ya, Tom." Balasku seadanya karena kakiku masih kesemutan.

Tommy masuk kedalam panti memberikan uang untuk membeli 2 karung beras. Sedangkan aku hanya menunggu di depan halaman panti.

Beberapa anak panti berseliweran keluar ruangan. Aku melihat tawa dan senda gurau dari anak-anak panti yang sedang bermain. Mereka hidup tanpa orang tua yang menjaganya. Hanya uluran tangan dari donatur yang menghidupinya. Bahkan terkadang, itupun tidak dapat mencukupinya.

Anak-anak itu tersenyum kepadaku.

Kemudian mereka melanjutkan permainannya lagi.

Tommy yang daritadi memperhatikanku, keluar dari panti sambil tersenyum sipu.

"Kenapa? Mau beli beras juga?" Tanyanya sambil menyalakan mesin Vespa.

"Insya Allah." Jawabku tersenyum lebar.

Tommy langsung terbahak, seraya mengucapkan, "Alhamdulillah."

Kado Buat Emak Dari TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang