Satu

11.4K 392 14
                                    

Dingin melambai padaku, memaksaku tuk sejenak membuka jendela agar ia dapat masuk membalut memelukku. Namun aku hanya diam menatapnya, menatap rintik yang membasahi halaman rumahku.

Sesekali rintiknya menyirati jendela karena dorongan angin. Aku memeluk diriku sendiri, sepertinya dingin diluar dapat ku rasakan. Aku tak beranjak dari menatap hujan. Semakin lama aku semakin tenggelam dalam kesunyian dan ketenangan.

Menyenangkan sekali bila aku dapat bermain dengan hujan.

Tapi bagiku agak menyakitkan karena ia berjatuhan dari tempat yang tidak rendah. Betapa tegar dan kuatnya hujan selalu mau bangkit setelah ia jatuh berkali-kali.

Aku ingin terus menatap hujan, namun kedua mataku sudah mengajakku untuk terlelap. Besok ada MOS di sekolahku. Ya, Masa Orientasi Siswa.

Yang menurutku itu bukan hal penting. Karena terkadang terdapat kekerasan dan penindasan yang dilakukan panitia atau bahkan guru kepada murid baru.

Dan kadang pula persyaratan yang mereka ajukan membuat repot. Tapi aku pun tidak bisa menghapuskan kegiatan itu disekolah. Karena aku hanya seorang anggota OSIS.

"Huuammm.. Ngantuk"

Malam yang dingin membuatku memeluk bantal dan menenggelamkan diri pada selimut tebal.


***


"Laula!" Aku menoleh.

"Kau bagian kelas D!" Aku menghembuskan nafas berat.
"Kenapa D?" tanyaku sembari memasang wajah sedikit kesal.
"Tidak tau!" Aku merutuk dalam hati, Miftakhul Jannah berlalu dari hadapanku.

Biasanya kelas D itu anak-anak nya susah diatur.

"Oke, Laula. Kamu harus tenang, jangan marah, jangan kesel. Terima Laula, terima.. "

Aku menghembuskan napas berulang kali lalu melangkah untuk mencari partnerku. Kira-kira siapa ya?

Di lorong kelas aku berpapasan dengan Rizky, tanpa komando senyumku langsung mengembang begitu saja.

Kenapa ya? Karena emm ya gitu deh.

"Hei!" Dia menyapaku.  Aku hanya tersenyum.
"Kelas mana?" tanyanya.
"D. Kau?" Dia hanya tersenyum lalu membalikan tubuhnya dan berjalan lebih dulu.Aku menyetarakan diri dengannya.

"Laula. Ada rencana apa saja?" tanyanya. Aku mengangkat kedua bahuku lalu menurunkannya lagi secara singkat. Tanda tak tau.

"Tidak tau!" jawabku enteng.
"Kau selalu begitu kalau denganku."

Aku hanya nyengir lebar dan mencubit lengannya. Dan dia balas mengusap kerudungku tapi tidak pelan.

"Ih! Kau sengaja merusak kerudungku!" protesku yang hanya mengundang senyum lebarnya.

Sekolahku bukan sekolah Internasional tapi cukup bagus. Semua siswa memakai rok panjang dan lengan panjang. Termasuk siswa laki-laki juga diwajibkan berlengan panjang meski mereka tidak memakai rok dan kerudung. Hehehe.

Sesampainya dikelas, mereka sedang gaduh. Dan aku memperhatikan mereka satu persatu. Sibuk mengoceh dan mengobrol.

Tapi ada satu yang membuat mataku berhenti menyapu ruangan. Seorang laki-laki berpeci dan sudah memakai seragam SMA. Menunduk dengan khusyu, dia membuatku penasaran.

"Hei kau!" teriakku. Kegaduhan langsung berganti menjadi hening yang tak bergeming. Semua mata menatap ke arahku.

Tapi, seseorang yang ku tuju tetap menunduk seperti tak menghiraukan orang disekitarnya. Aku mendekatinya.

"Kau, sedang apa?" Lama tak ada jawaban, aku menatap Rizky yang ada didepan. Dia mempersilahkan aku untuk bertanya lagi. Belum aku bertanya, dia mengangkat sebuah mushaf kecil dengan tangan kanannya.

Jaman sekarang ada yah cowok ke mana-mana bawa mushaf? Hem...

"Siapa namamu?"
"Fikar.. " jawabnya singkat.
"Fikar ya? Emm Fikar.. " kataku sambil berfikir.
"Sayyid Dzulfikar." Aku diam agak lama. Nama yang bagus dan tinggi.
"Oke! Fikar simpan mushafmu. Kita mulai perkenalan dihari pertama MOS ini."

Aku kembali ke depan bersama Rizky.

Tidak seperti yang aku bayangkan, kelas yang aku pikir akan membuatku pusing malah ramah-ramah, jadi aku hari ini bebas dari marah-marah.

"Laula!"
"Ya?"
"Tadi dia... Tampan!" Ku rasa Iky sedang mengujiku.
"Lalu?" dengan nada terkesan tidak perduli.
"Aku takut kau berpaling." kata- katanya barusan membuatku tertawa. Aku mencubit lengannya.

"Aw.. Sakit!" keluhnya.

"Lebay!"

"Tapi lebih sakit kalau kau pergi, Laula" Aku tersenyum.

"Hem aku takkan pergi." Tentu saja. Jawaban itu yang membuat Iky membalas senyumku.

Aku berjalan melewati lorong kelas bersamanya. Berjalan menuju 2 tahun hubunganku dengan Rizky Al-Farisi.

Semuanya baik-baik saja, tidak pernah ada pertengkaran. Karena kita tak pernah saling mengekang jadi tak ada rasa cemburu yang menyebabkan hati menjadi sakit. Diapun baik, menjagaku, selalu perduli terhadapku, tak pernah bertindak kasar dan dia adalah penyemangatku.

"Kau pulang dengan siapa?" tanya Rizky.
"Dijemput. Seperti biasa.. "
"Hem.. Kapan aku bisa mengantarmu?" katanya.
"Nanti kalau kita sudah menikah. Kau boleh mengajakku kemanapun kau mau."
"Semoga." katanya.
"Aamiin." ucapku.
"Emm, aku duluan ya Rizky? Eh, Iky (dibaca; ayki) Daaahh! " Aku melambai padanya.

Di parkiran aku melihat Dzulfikar yang sepertinya dia juga dijemput orangtuanya. Tapi penampilannya berbeda dan tidak pada umumnya.

Seorang laki-laki yang sudah hampir sepuh. Memakai pakaian putih seperti gamis atau jubah dengan membawa tongkat ditangannya. Dan juga kepalanya dibalut kain putih. Entahlah agak asing orang seperti itu di pandangan mataku.

Tapi, bentar deh kayaknya aku agak paham sama cara berpakaiannya. Mirip sama tokoh-tokoh islami yang kadang ku lihat di televisi. Tapi iya bukansih?

"Non.. "
"Hehh? " ku lihat supirku sudah berdiri disampingku.
"Mau pulang?" tanyanya.

Duh! Sampai lupa mau pulang.

Sebelum aku masuk ke dalam mobil. Aku melihat pemandangan yang tidak biasa yang tidak pernah dilakukan seorang remaja laki-laki. Dzulfikar mencium tangan orang itu dua kali, bolak-balik. Punggung dan telapak tangannya.

Dan seseorang itu mengusap kepala Dzulfikar yang tertutup peci. Penuh kelembutan dan kasih sayang. Cukup membuatku tergugah, karena kadang aku lupa tak menyalami Ayah.

Ish! Dzulfikar mengangguku hari ini. Jangan perduli, Laula!






Nana Raynaa🐣

Dzulfikar (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang