Duapuluh dua

3.4K 195 0
                                    

“Laula, berlarilah…” teriaknya.
“Tak mau!” aku balas teriak.
“Kenapa?”
“Aku lelah.”
“Belum berlari sudah lelah?” tanyanya dibarengi suara gemerisik ombak pantai dan langit yang mulai menguning.

Matahari sudah diatas kepala laut, pancaran sinarnya membuat air laut terlihat indah dan memesona.

“Mau ku gendong?” tawarnya.
“Memangnya kau kuat?”
“Aku kuat karena aku Dzulfikar.” Laganya sambil menunjukan otot-ototnya.

“Baiklah.” Aku naik ke punggungnya.
“Laula.”
“Iya?”
“Kau tidak makan berapa hari?”
“Memangnya kenapa?” tanyaku.
“Kau ringan sekali.”
“Ish!” Ku pukul punggungnya pelan.

“Baiklah, mau berlari atau berjalan?” tanyanya.
“Berjalan yang pelan agar aku dapat mendekapmu lebih lama.” kataku sembari senyum.
“Hem. Sekarang kau yang suka memelukku.”
“Tidak.”
“Ayolah mengaku.”
“Hem. Ayo berjalan sampai senja menghilang.” aku mengalihkan pembicaraan.
“Baiklah.” Dia mulai berjalan pelan, dan aku rebahan dipunggungnya menatap matahari yang oranye.

Senja di pantai berkali lipat indahnya sekarang. Ini adalah hadiah dari Ayah setelah peresmian pernikahanku dengan Dzulfikar minggu lalu. Bulan madu di suasana yang dekat dengan pantai. Kata Ayah biar romantis. Tapi Dzulfikar bilang romantis itu bisa dimana saja. Namun saat aku tanya romantis itu apa dia jawab tak tau. Hufffff suamiku bukan anak gaul.

“Fikar, apa kau lelah?”
“Entahlah.”
“Turunkan aku.”
“Tak mau!”
“Turunkan aku, agar aku dapat berjalan disampingmu.” Dia berhenti lalu menurunkan aku. Dia berbalik.
“Keringatmu?” aku mengusapnya dan dia menahan tanganku.
“Ini adalah keringat pembuktian.”
“Pembuktian apa?”
“Bahwa meskipun aku lelah, aku tak akan berhenti sebelum kau memintaku untuk berhenti.” katanya so' romantis.
“Hem.”
“Sudahlah. Ayo kesana.” Ajaknya.
“Senja indah ya, Sayang?” kataku.
“Tentu, tapi tidak deng.”
“Kau plinplan.”
“Ada yang lebih indah dari menatap senja dipantai dengan gemersik ombak.”
“Apa?” tanyaku yang membuatnya menghentikan langkahnya lalu menatapku.
“Apa?” dia bertanya kembali.
“Menatapmu Laula. Kau adalah senja yang tak akan pernah tenggelam.”
“Ahh so sweet.”
“Ini bukan gula.”
“Tapi kau romantis.” kataku.
“Biasa saja.”
“Mana bunganya?” tanyaku.
“Untuk apa?”
“Biar tambah romantis.”
“Aku tak mau memberi bunga yang bisa layu untuk menyenangkan hatimu. Cukup aku yang selalu menjadi bahagia untukmu, Laula.”
“Ish, kau ini menggemaskan!” aku mencubitnya. Dan dia balas mencubit pipiku. Dia langsung berlari menjauh.

“FIkar, kau curang!” teriakku. Lalu aku berlari mengejarnya.

Aku dan dia main kejar-kejaran di sorenya senja dipantai yang gemersik ombaknya menyenangkan dan suasana sepi yang menenangkan. Aku berhasil menangkapnya dan saat aku berlari kakiku tersandung dan terjatuh ke pasir.

“Laula, kau tak apa?”
“Sakit.” keluhku.
“Kau ini teledor.”
“Aku tak tau.”
“Sini ku gendong?”

Kakiku terkilir meski tidak parah tapi Dzulfikar sangat khawatir sekali. Dia menggendongku sampai hotel, lalu menuntunku ke kamar.

“Laula, aku bukan dokter yang bisa menyembuhkan rasa sakit. Tapi aku suamimu yang akan membuatmu terus tersenyum untuk menghilangkan rasa sakit…”


🐣Nana Raynaa

Dzulfikar (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang