Dzulfikar (End)

6.1K 223 12
                                    

Abbas berlari-lari kecil saat aku turunkan dia dari gendongan. Dzulfikar mengawasinya dengan terus berjalan dibelakangnya. Aku hanya berjalan pelan dibelakang mereka. Senang bisa melihat Abbas sudah tumbuh besar. Semakin mirip dengan Dzulfikar. Matanya teduh sekali saat aku menatapnya.

“Bii... Abiii... itu…” tunjuk Abbas. Fikar langsung berjongkok.
“Mau apa?”
“Itu…” tunjuknya pada balon. Dzulfikar menuntun Abbas menuju balon, dia mengambilkannya satu.
“Umi…” dia langsung berlari menujuku. Aku berjongkok dan dia langsung memelukku.
“Kenapa?” aku menciumi kedua pipi Abbas.
“Balon”
“Lalu?”
“Untuk Umi!” aku mencubit pipinya pelan.
“Terimakasih sayang. Ayo segera masuk paman Rizky sudah menunggu” Dia mengangguk, lalu menggenggam jariku dan berjalan masuk. Fikar berjalan disamping Abbas.

“Abbas, apa kau mau Abi gendong?” Abbas menggeleng.
“Abbas bisa berjalan sendiri” Fikar mengusap peci yang menempel dikepala Abbas.

Suasana sudah agak ramai. Sudah akan dimulai.
“Dimana Rizky?” tanya Fikar.
“Entahlah” Mataku menyapu seluruh ruangan.
“Hei itu dia!”
“Aku kesana ya?” aku mengangguk.
“Abbas, ayok ikut Umi”
“Ingin Abi!”
“Hei, Abi sudah kesana” Dia langsung melepas jariku dan berlari menuju Fikar. Dia langsung menangkap kaki Fikar. Untung saja sudah biasa jadi Fikar langsung menggendong Abbas.
“Fyuuhh, ya sudah aku cari Maula saja”
Aku membuka pintu kamar, ku lihat Maula sedang mematut diri didepan kaca.
“Wah, kau cantik!” dia langsung berbalik.
“Laula, kemarilah. Aku agak gugup. Bagaimana seharusnya. Tenangkan aku tolong, tenangkan!” Dia mengipas-ngipas wajahnya dengan tangannya. Aku tersenyum geli menatap tingkahnya.
“Hei, kau harus tenang. Ayo duduk dulu” Ajakku.
“Aku tak bisa tenang…”
“Kau ini. Aku juga dulu gugup sekali. Apalagi saat itu aku belum mengenal bagaimana Dzulfikar. Dan saat akad nikah di langsungkan aku belum Ujian Nasional.”
“Oh iya?” tanya Maula, aku mengangguk.
“Iya. Tapi tak ada yang tau sampai aku lulus ya kecuali Rizky. Eh, tapi waktu itu karena Mifta sih satu sekolah jadi tau. Pokoknya pernikahan itu indah. Kalian sudah saling mengenal satu sama lain kan? Sudah menjalin hubungan bertahun-tahun pula. Ingat Maula, pernikahan bukan sekedar menyatukan dua orang yang saling mencintai. Tapi saling menerima dan melengkapi kekurangan. Aku yakin sekali Rizky pasti sudah tau banyak tentang pernikahan. Dan aku juga yakin kalau dia pasti akan membimbingmu dengan baik”

“Qobiltu wa nikahaha…” terdengar suara dari ruang tengah.

“Hei, sudah dimulai”
“Haaa aku gugup”
“Maula, tenang ya? Ini mendebarkan karena hanya terjadi sekali seumur hidupmu. Semoga, Aaamiiiin. Baiklah kau ku tinggal ya? Sepertinya tadi baru latihan. Jadi istri yang mematuhi suami. Temukan surgamu pada Rizky, Maula”
Aku mengusap pipinya, dia tersenyum dan mengangguk.
“Baiklah, aku tinggal ya?”
“Iya, terimakasih Laula”
“Sama-sama Maula”

Aku keluar ruangan dan mencari Fikar tapi tak ada. Ku lihat disana ada Rizky, Ayah dan Abah dan sepertinya Abah yang akan mengakadkan mereka.

“Hei!” seseorang menepuk pundakku.
“Fikar kau membuatku kaget”
“Umi, paman Rizky disana”
“Iya sayang”
“Sedang apa?” Abbas membuatku berfikir, harus jawab apa ya?
“Sedang duduk” Jawab Fikar.
“Abbas tidak tanya Abi” Aku menahan tawa.
“Nanti kau akan tau setelah kau besar, sayang…” aku mengusap pipinya.
“Abbas akan sebesar paman?”
“Ya, tentu” Jawabku.
“Dan akan setampan Abi, ya Abbas?” Fikar ikutan bicara.
“He em.” Abbas mengangguk, dan aku mengusap-usap peci Abbas. Dia menggemaskan sekali.

“Abbas turun… kau berat, kasihan Abi”
Abbas lalu meminta turun.
“Abi kesana ya? Abbas disini saja dengan Umi, oke?” Dia mengangguk.
“Cium Abi dulu…” Abbas menurut. Lalu mencium kedua pipi Fikar.
“Anak abi, penu…”
“rut…” Jawab Abbas melanjutkan kalimat Fikar.
“Anak abi pin…”
“Tar…”
“Dan paling tam”
“pan..”  Fikar mengusap kepala Abbas lalu pergi, dan duduk disamping Ayah.

Ah aku bahagia sekali. Rizky akan menikah dengan Maula. Dan aku bahagia dia dapat menemukan kebahagiaan sendiri.

Aku juga bahagia Fikar menikah denganku dulu, dan aku bahagia ada Abbas dalam hidupku. Semuanya seperti lengkap sekali, seperti 4 sehat 5 sempurna. Disetiap luka pasti akan nada obatnya. Dan semua itu akan didapatkan jika mensyukuri apa yang ada. Dan mau tulus menerima takdir yang telah ada. Hidup akan terasa sempurna. Akan terasa manis, bahkan sangat manis.

“Bagaimana perasaanmu?” tanyaku pada Rizky.
“Tidak karuan sekali..”
“Itu yang aku rasakan dulu..” kata Fikar. Rizky tertawa.
“Hei Fikar, setelah ijab qabul kau ngapain?”
“Masuk kamar, sholat dan mendo’akan Laula..”
“Apa aku harus melakukannya?”
“Menurut petuah Abah bagaimana?”
“Ya... Iya sih..”
“Ya sudah lakukanlah..” Aku hanya tersenyum melihat mereka berdua.
“Hei, Abbas keponakanku” Sapa Rizky.
“Paman kata Umi tampan tapi kata Abi, Abi lebih tampan.” Rizky tertawa mendengar ucapan Abbas.
“Tentulah, Abimu memang lebih tampan dari paman..”
“Aku ke kamar dulu ya?” Rizky pamit.
“Abbas ikut”
“Hei, tidak boleh” Aku melarangnya. Iya masa akan ku ijinkan?
“Nanti Abbas akan paman gendong..” Rizky mengusap kepala Abbas dan Abbas hanya diam saja.
“Fikar..” Aku berbisik pada Fikar.
“Apa?”
“Duduk yuk?”
“Kau ini, aku kira apa. Minta duduk saja sampai berbisik-bisik. Ya sudah ayok.. Abbas turun yah, Uminya capek”
“He-em, Abbas mau Abah” Dia menunjuk pada Abah tapi Abah sedang mengobrol dengan seseorang.
“Abah! Abah!” Rengek Abbas. Abah mendengar dan langsung menoleh pada kami. Abah menghentikan pembicaraannya dan berjalan menuju kami.
“Ya Abbas?” Kata Abah pada Abbas.
“Ingin Abah” Abah langsung menggendong Abbas dan kembali lagi ke tempat tadi.
“Sudah biarkan Abbas dengan Abah”
Aku mengangguk, dan duduk disamping Fikar.

“Laula..”
“Ya?”
“Abbas sudah besar..”
“Iya, aku sangat bahagia”
“Bukan itu”
“Heh? Terus apa?”
“Bagaimana kalau Abbas punya adik?”
Dia menatapku dan aku langsung menarik hidungnya.
“Kau ini... Entahlah.”
“Berarti iya”
“Nanti sajalah” Jawabku.
“Sepuluh Laulaaa”
“Separuhnya kau yang mengandung”
“Ya tidak bisa”
“Ya berarti tidak usah”
“Laula..” Rengeknya.
“Sudah jangan dibahas!”
“Iya deh..” Fikar mengalah.

“Hai...” Sapa seseorang, ku lihat Maula dan Rizky bergandengan tangan.
“Aku sudah menyusul kalian” Kata Rizky dengan memamerkan genggaman tangan mereka.
“Tapi kita lebih romantis!” Jawab Fikar tak mau kalah dengan menggenggam dan menatapku. Rizky tertawa.
“Iya percaya. Yang setiap hari seperti pengantin baru rasanya. Eh, mana Abbas?” tanya Rizky.
“Tadi bersama Abah” Jawabku.
“Oh..”
“Maula, selamat ya?” Aku menyalaminya.
“Terimakasih Laula..”
“Cepat menyusul ya?” Kataku.
“Menyusul apa lagi? Ini sudah kan?” Kata Maula yang membuat Rizky cengengesan.
“Apa sih?” Tanya Maula pada Rizky.
“Punya momongan..” Kata Rizky.
“Oohh... Eh apa?! Nanti, masih lama!” Maula menyewot tapi malah terlihat lucu.
Rizky mencubit pipi Maula.
“Iya, sayang nanti. Kita akan punya lebih dari Laula dan Dzulfikar” Kami semua tertawa.

Kebahagiaan bersumber dari apapun, manapun, dan siapapun. Meski dulu harus terluka dan menangis. Saat ini Allah beri kami semua kebahagiaan yang tiada hentinya. Dan kebersamaan yang indah. Dengan takdirnya masing-masing, dan sekanario-Nya yang indah, semua jalan yang dulu terlihat sulit dilalui kini mudah untuk digapai. Apa lagi setelah ini? Terserah bagaimana Allah akan mengujiku. Yang jelas aku punya Dzulfikar yang akan terus mengingatkanku. Dan Abbas sumber tawa dan senyumku. Serta Allah yang akan menguatkanku dengan janjinya. “Sesudah kesulitan akan ada kemudahan”




***




“Terimakasih Rizky pernah hadir sehingga aku tau rasanya melepas, merelakan, dan kehilangan. Dan aku sangat berterimakasih Dzulfikar datang dalam hidupku sehingga aku tau bahwa pernikahan jauh lebih indah dari apapun” (Laula Hassanudin)

“Terimakasih Allah telah menakdirkanku seperti ini. Perjodohan yang aku takuti, membawa bahagia yang luar biasa. Dan cinta pertamaku telah menjadi kekasih halalku yang akan terus bersamaku sampai akhir..” (Sayyid Dzulfikar)

“Terimakasih Dzulfikar membawa pergi Laula dari hidupku. Meski rasa kecewa yang mendalam, dan rasa kehilanganku lama untuk bisa ku redam, tapi aku tau, bahwa aku bisa ikhlas merelakan. Dan aku bisa sabar dalam mengobati lukaku...” (Rizky Al Farisi)

“Terimakasih Laula dan Dzulfikar. Kalian memberi aku kesempatan untuk membongkar cinta diamku. Kini aku dapat menggapai dan menggenggamnya. Terimakasih Allah.. Terimakasih..” (Maula)

“Terimakasih Abi, Umi, Abbas sayang kalian...” (Sayyid Abbas)







🐣Nana Raynaa

Dzulfikar (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang