Duapuluh tiga

3.3K 184 0
                                    

Pagi selalu menyenangkan saat aku terbangun ku lihat Fikar masih ada disampingku. Dia tetap tampan walaupun sedang tidur. Aku bangunkan tidak ya? Tak usah deh, karena setelah aku bangun pasti dia langsung mencariku.

“Laula.”
“Hem.”
“Kau mau kemana?”
“Ke kamar mandi.”
“ini jam berapa?”
“Baru jam 2.” Aku masuk ke kamar mandi. Dan agak lama, sampai menghabiskan waktu hampir setengah jam.

“Kau berwudlu?”
“Ya.”
“Baiklah. Sholat denganku.”

Aku keluar dari kamar mandi dan dia sudah berdiri didepan pintu.

“Apa kau mandi?” tanyanya.
“Tidak.”
“Bagaimana bisa kau lama sekali? Dan rambutmu basah, Laula…” dia meledekku.
“Kalau aku tak punya wudlu, ku cubit kau!”
“Cubit saja.” Ledeknya.

Dan aku harus segera menyingkir dari Fikar sebelum dia membatalkan wudluku. Sebelum masuk kamar mandi dia berpesan.

“Kau baca Quran dulu. Nanti setelah sholat aku akan mengecek hafalanmu.”

Aku hanya mengangguk. Aku hanya disuruh menghafal juzamma dan beberapa surat yang dia sarankan. Katanya aku tak perlu seperti dia, karena menghafal bukanlah hal yang mudah  apalagi bagiku. Tapi Dzulfikar selalu mengecek hafalanku. Terkadang dadakan tanpa dia beritahu. Agar aku tak bergantung mengaji karena hanya akan dicek hafalannya.

“Fikar.”
“Ya?”
“Ini.” Aku memberikan pecinya.
Dia tersenyum.
“Terimakasih, istriku.”

Setelah sholat dia mengecek hafalanku. Dan ya begitu deh rasanya kepalaku pusing hehehehe.

“Sayang?”
“Ya.”
“Bagaimana bisa kau menjaga hafalanmu yang 30 juz itu?” tanyaku penasaran.
“Ya begitu.”
“Aku tak pernah melihatmu mengaji.” Dia menarik hidungku.
“Tak perlu.” katanya.

“Hem. Kau itu terlalu jenius.” pujiku.
“Biasa saja.”
“Aku mau tanya.”
“Apa?” dia menatapku dengan serius.
“Berapa tahun kau menghafal?” tanyaku. Dzulfikar lama diam, mengalihkan pandangan lalu kembali menatapku.

“Setahun.” jawabnya.

“Setahun?!” aku terkejut. Tak percaya kalau suamiku benar-benar seseorang yang jenius!
“FIkar, kau benar-benar jenius!”
“Laula, kau yang berlebihan!” dia mengacak-acak rambutku yang masih basah.

“Kau ini…” aku balik mengacak-acak rambutnya. Dan dia menahan tanganku.
“Tak bisa apa-apa lagi kan?”
“Fikar, lepaskan tanganku!”
“Tak mau sebelum kau mau ku peluk sampai pagi.”
“Hei! Kau sudah sering melakukannya.” kataku.
“Tidak.”
“Kau ini. . . . . lepaskan tidak?”
“Tidak mau.” dia masih bersikukuh.
“Fikar, ayolah aku ingin buang air.”
“Aku tak peduli.”
“Bagaimana kalau aku ngompol?” dia tertawa lalu melepaskan tanganku dan aku langsung berlari ke kamar mandi.

Saat aku keluar, Fikar tak ada dan lampu sudah dimatikan. Kemana dia? Apa ini mati lampu?

“Fikar…?” aku memanggilnya.

“Kau dimana?”

“Fikar, jangan membuatku takut.” Ada yang membuka pintu, dan aku agak deg-degan, takut kalau itu rampok gimana?

“Selamat ulang tahun, sayang…” Fikar bercahaya, karena lilin yang ada diatas kue. Dia berjalan menujuku.

Aku sempat terkejut. Dan langsung tersenyum. Dia ternyata ingat. Aku kira lupa. Padahal tidak usah sampai seperti ini juga tidak apa-apa.

“Laula, aku tidak tau bagaimana cara berulangtahun, tapi aku membuat ini untukmu meski mungkin rasanya agak aneh dan ini baru pertama kalinya aku membuat kue. Dan sebenarnya aku tidak terlalu suka berulangtahun hanya saja ini mengingatkanmu.” Aku terharu, suamiku romantis sekali sampai susah-susah membuatkan kue.

“Fikar, kau romantis sekali. Terimakasih kau selalu membuatku tersenyum.” kataku sambil ku pegang lengannya.
“Ini jangan ditiup, dikipas-kipas aja.” dia mengingatkanku.
“Iya-iya.”

“Dan ini untukmu.” Dia memberikanku bunga mawar. Meskipun gelap tapi aku tau itu bunga mawar.

Dalam posisi masih pagi dan aku dengan Dzulfikar masih memakai baju tidur yang couple. Itu adalah hadiah dari Dzulfikar saat pulang dari bulan madu.

Aku pun tidak habis pikir, suamiku itu alay atau romantis yah? Ah, apapun itu aku tetep suka. Aku menerima bunganya.

“Dzulfikar, kau manis sekali.” Dia hanya tersenyum.

Dia meletakan kuenya diatas meja. Dan menyalakan lampu, dia bersimpuh dihadapanku.

“Aku tau kau tak butuh ini. Tapi ini untukmu, untuk mengikatmu. Dan agar seluruh dunia tau bahwa kau memilikiku.”

Dia berdiri lalu memakaikan cincin bermata satu di jari manisku. Aku melihatnya, ada nama Dzulfikar disana.

“Dan ini?” dia menunjukkan cincin lagi padaku.
“Biar aku simpan. Ada namamu.”

Aku memeluknya erat sekali.

Setiap hari rasanya aku seperti berulangtahun. Karena tak hanya pagi ini dia bersikap romantis padaku. Dia seperti tak pernah kehabisan ide untuk membuat bahagia.

“Dzulfikar, terimakasih. Terimakasih kau telah hadir dalam hidupku. Menjadi suami yang selalu mengingatkanku dan membimbingku. Aku mencintaimu.”

“Aku yang harusnya berterimakasih padamu, Laula.”

“Hem.”
“Kau akan menjadikanku seorang ayah.”
“Heh?” aku melepas peluknya. Dan kaget dengan perkataannya barusan.
“Apa maksudmu?” dia nyengir.
“Aku tau…”
“Tau apa?” tanyaku curiga.
“Kau sudah telat 2 bulan.” katanya sambil mengacungkan dua jarinya.
“Hei!” aku mencubit lengannya, lalu meninju bahunya pelan.
“Kau ini… ihhh menyebalkan!” dia menarikku dalam peluknya.

“Tak apa. Tapi kau mencintaiku. Jadilah ibu yang baik bagi mereka, ya?”

Aku mengangguk. Masih pagi tapi aku sudah ingin menangis karena terharu.





🐣Nana Raynaa

Dzulfikar (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang