Enam belas

3.4K 209 0
                                    

Ku langkahkan kakiku dengan santai menuju kelas.

Hari terakhir, semoga aku dapat menjalaninya dengan konsentrasi tidak terganggu pikiran apapun meskipun sebenarnya aku sangat terganggu dengan bayang-bayang Mifta yang terus berputar dikepalaku.

Aku harap Abah akan menolak baik-baik Mifta, aku sangat berharap begitu.

“Laula…” aku menoleh, lalu tersenyum.

“Kau berani sekali.” kataku padanya.

“Aku tidak bisa menahannya.”

“Menahan apa?” dahiku mengerut.

“Rinduku padamu.”

“Kau berlebihan.” tapi aku jadi senang karena kata-katanya barusan.

“Percayalah.” Aku hanya tersenyum mendengarnya.

“Ayo ke kelas bersama.” Ajaknya.

“Eh?” karena status pernikahan kami masih rahasia. Jadi, apa tidak apa berjalan bersama seperti ini?

“Tak apa. Hari terakhir ujian, setelah ini tak ada kaitan apapun dengan sekolah.” katanya.

“Tapi…” aku agak ragu.

“Kau tak mau?” aku menggeleng.

“Tidak, bukan begitu. Ya, baiklah…”

Aku berjalan beriringan dengannya. Dan kau tau. Semua mata memandang ke arah kami.

“Kau lihat?” bisik Dzulfikar.

“Mereka terpesona.” Aku hanya nyengir.

“Mereka terperangah karena kecantikanmu…”

Aku hanya nyengir saja. Mereka memandang dengan penuh curiga dan tanda tanya.

Tiba-tiba Dzulfikar menggenggam jemariku. Aku terkejut.

“Agar kau tak hilang diambil orang…”

Dia menyeretku, jantungku lagi-lagi tak bisa berdetak normal karena sentuhannya.

Ah, Dzulfikar andai waktu dapat berhenti, akan terus ku genggam kau tanpa pernah aku lepaskan.

Aku agak gugup, meski ia sudah sering menggenggam tanganku.

Rasanya setiap kali aku bangun dari tidurku, aku merasa baru pertama kali bertemu dengannya.

Dan aku merasa seperti pertama jatuh cinta padanya. Dzulfikar, selalu punya sihir yang buatku terpaku dan terpukau.

Semua yang ada pada dirinya, aku menyukainya.

“Kau, semangat yaa!” menyemangatiku dengan mengangkat satu tangan dan mengepalkannya.

“Kau juga.” balasku.

Dia mendekat padaku, lalu berbisik.

“Aku mencintaimu, istriku…” ah, wajahku panas seketika.

Semangat ku bertambah!


***


“Bagaimana?” tanyanya setelah aku keluar dari kelas.

Dia sengaja menungguiku didepan kelas.

“Ya, hari terakhir yang menyulitkan.” keluhku.

“Setelah ini, kita menikah.” setengah berbisik agar topik pembicaraan kami tidak mencolok.

“Kita kan sudah menikah?” balasku sambil berbisik lagi.

“Secara negara.” Jelasnya.

“Oooo…”

Dzulfikar (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang