Tujuh belas

3.3K 210 0
                                    

Mifta berlari memasuki kamar lalu membanting pintu.

Hatinya sudah hancur berkali-kali. Namun, salah siapa?

Dan harus menyalahkan siapa?

Cinta tidak pernah memaksanya untuk bertahan dan tidak pernah memintanya untuk terus mempertahankannya.

Lalu mengapa harus kecewa dan merasa dikecewakan?

Pada siapa Mifta harus meminta pertanggungjawaban atas kehancuran hatinya? Tidak ada!

Karena semua adalah kesalahannya.

“Tok.. tok..” sebuah ketukan pintu membuat Mifta menyeka air matanya.

“Jannah, bukalah pintunya, Abah bilang ia ingin berbicara denganmu”.

“Aku tak mau!” bentaknya pada kakak perempuannya.

“Ayolah, kau jangan manja!” Mifta diam. Suara itu berbeda dengan suara pertama. Lebih tegas dan keras.

“Apa kau tidak rindu padaku?” tanyanya. Mifta agak keheranan, memang dia siapa? Biasanya yang mengetuk pintunya adalah Kak Hanifah , kakak keduanya.

Dengan gontai ia buka pintu kamar, dan dia terkejut.

“Kak Zahwa?! kapan pulang dari Kairo?!” Mifta langsung memeluknya.

“Abah bilang kau sedang dalam masalah, jadi aku pulang sebentar. Minggu depan aku harus kembali...”.

“Ah, kakak! Tidak ada yang mendengarkan ceritaku jika kau tak ada. Kak Hanifah sibuk dengan pesantren Abah..”.

“Lagipula, kau ada masalah apa? Sampai Abah menelponku untuk datang?" tanya Zahwa dengan raut wajah khasnya yang judes.

"Oh ya, ayo masuk kamar dan kunci pintunya. Aku akan mendengarkanmu sampai kau bosan bercerita..”

Mereka berdua duduk dikasur.

“Kenapa? Abah bilang kau ingin menikah ya?” ledek Zahwa dan Mifta hanya tersenyum malu.

“Coba ceritakan, pada siapa kau jatuh cinta?”

“Pada anak bungsu Kyai Abdullah..” jawab Mifta malu-malu.

“Sebentar, sepertinya aku mengenalnya. Yang diambil dari nama pedang Sahabat Ali---" Zahwa memejamkan matanya untuk mengingatnya.

"Dzulfikar!" celetuknya.

"Iya kan?” Mifta mengangguk.

“Aku juga mengenalnya.” Zahwa menghela nafas.

“Jannah, kau memang mengenalnya tapi dia tidak mengenal siapapun kecuali keluarga dan saudara-saudara keluarganya.” jelas Zahwa.

Dzulfikar memang tidak akan memandang siapapun kecuali yang seharusnya dia pandang.

Dia tidak mengenal siapapun kecuali yang Abahnya kenalkan.

“Kak Zahwaaa! Kau tau Dzulfikar sekarang sangat tampan dan dia itu istimewa sekali." Zahwa memangku dagunya untuk mendengarkan cerita adiknya.

"Pertama kali aku melihatnya di sekolahku, dia tiba-tiba pindah dan aku pura-pura tidak mengenalnya karena Abah bilang tak ada yang boleh tau aku anak Abah, jadi ku tutupi semua tentang Dzulfikar."

"Tapi tak tau kenapa Dzulfikar jatuh cinta pada sahabatku dan aku sangat kecewa.” jelas Mifta dengan sedih.

“Oh yaa?” tanya Zahwa.

“Iya, dan aku tak mau lagi bersahabat dengannya, lagipula dia sudah punya pacar, tapi pacarnya ia tinggalkan dan menikah dengan Dzulfikar..”

“Sebentar! Sepertinya ini sangat rumit!"
Kata Zahwa sambil memegangi kepalanya.

Dzulfikar (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang