Sembilan belas

3.3K 208 0
                                    

Aku membalut lukanya dengan menyobek gaun pengantinku.

Aku masih shock dengan kejadian tadi.

Dan aku gelisah karena Ayah dan Abah tak ada. Fikar terus menatapku,

“Kenapa?” dia menggeleng.

“Fikar, aku khawatir pada Ayah dan Abah. Mereka kemana?”

“Aku pun tak tau. Kita berdo’a saja semoga mereka selamat. Dan tidak terluka.”

“Mereka siapa, Fikar?”

“Mereka?”

“Penjahat itu! Mereka kejam sekali. Bagaimana bisa mereka melakukan hal seperti ini?"

"Mereka pikir pesantren ini apa? Seenaknya meledakkan bom di acara pernikahan kita.”

“Sudah…”

“Aku kesal! Aku takut Ayah terluka! Aku benci mereka!” Aku mulai menangis.

“Laula, musibah ini adalah ujian. Kau harus sabar yah. Minta pertolongan pada Allah…” Dia menyeka air mataku.

“Tapi aku tetap kesal! Mereka tak punya hati."

"Bagaimana bisa mereka merasa tak bersalah membunuh jiwa yang tak berdosa seperti para santri?" Dzulfikar mengusap kepalaku.

"Maksudku, apa para santri mempunyai salah pada mereka? Teroris gila!!!”

“Hei.. hei.. tenangkan hatimu dulu Laula. Kemari, mendekat ..” aku mendekat.

Dan duduk berhadapan dengannya. Dia mendekatkan wajahnya padaku.

“Laula, manusia itu lebih dari satu jadi kau harus mau belajar memakluminya.” Lalu dia menggenggam kedua tanganku.

“Mereka mungkin orang suruhan pemerintah yang mendesak Abah untuk menjual tanah pesantren ini." pemerintah? Menjual tanah?

"Beberapa kali mereka datang, Abah menolaknya mentah-mentah. Karena niat mereka ingin meratakan bangunan pesantren dan diganti dengan pusat perbelanjaan" Astaghfirullah!

"Kau tau kan betapa Abah sangat mencintai pesantren ini? Dan Abah sangat menyayangi santri-santrinya…”

Aku menatapnya lekat-lekat. Ku temukan ketenangan setiap melihat matanya yang terang.

Dan setiap ia mecoba menenangkanku dengan tutur katanya yang membuat hatiku nyaman.

Dzulfikar, kau peredam segala emosiku.

“Laula?!”

“Heh?!”

“Kau melamun?”

“Tidak.”

“Sudah masuk waktu dhuhur. Sholat yuk?” ajaknya.

“Eh? Dimana?” tanyaku keheranan.

“Ada mushola jika kau ikuti jalan ini sampai ujung. Kita kesana dan beristirahat disana. Disini gelap dan kotor.”

Aku berjalan dengan tangan yang terus digandeng oleh dia. Aku terus menatapnya tanpa henti.

Apa pernikahan kita harus mendapat ujian terus menerus tanpa henti?

Sesuatu yang tak terduga dalam hidupku, ada setelah aku mengenal Dzulfikar. Dia membawa sejuta cinta pada hidupku meski awalnya ku kira dia tak baik.

Dan dia mengenalkanku pada kehidupan dunia yang sungguh tak punya rasa kasihan.

Selesai sholat dhuhur dia memberikanku sarung dan jasnya yang di pakainya.

“Untuk apa?” tanyaku.

“Untuk kau pakai.” jelasnya.

“Bagaimana cara memakainya?”

“Mau ku ajari?” tawarnya.

“Bagaimana mengajarinya?”

“Lepaskan gaunmu.”

“Heh?!” Aku kaget, walaupun Dzulfikar suamiku tapi aku dan dia belum apa-apa.

Hanya sebatas dia memeluk dan mencium kening serta pipiku kalau waktu itu tak sengaja itupun hanya sekali.

“Memangnya kau tidak pakai apa-apa?” tanyanya yang semakin membuatku malu.

“Ya. Pakai sih tapi aku malu.”

“Jangan malu, biar ku pakaikan agar kau tak susah berjalan dengan gaunmu. Aku tak mau melihatmu kesusahan.” Aku tersenyum senang. Ah Dzulfikar kau sangat manis.

Aku memakai kaos pendek sih, dan celana panjang tapi tidak ketat. Dia membuka kerudungku.

“Aku lebih suka kerudungmu yang sederhana dibanding harus mengikuti trend.”

Dia memasangkan sarungnya dan aku menahan tawa saat dia menyentuh perutku.

“Hei geli!” teriakku dan dia hanya tersenyum.

“Aku lebih suka kau memakai gamis atau rok yang besar dibanding kau harus memakai celana meskipun itu tidak ketat.” Aku memang tak pakai celana. Karena Ayah melarangnya.

Dan terakhir dia memakaikan Jas ke tubuhku.

“Dan aku lebih suka jika kau…” dia menghentikan ucapannya.

“Jika aku?”

“Jika kau mau aku peluk sekarang.” Aku meninju pelan bahunya lalu mendekap erat tubuhnya.

Baru saja kemarin aku dan dia terlepas dari gangguan Mifta, sekarang ada ujian lagi.

Kapan aku dan dia bisa bersama tanpa ada yang mengganggu?

Baru menikah tapi ujiannya sudah seperti ini. Bagaimana selanjutnya.

Dzulfikar membelai rambutku lalu melepas ikatannya.

“Mengapa kau lepas?” tanyaku dengan melepas peluknya.

“Aku ingin melihat rambutmu terurai.” Aku tersenyum dan kembali mendekapnya.

“Aku ingin kau yang selalu jadi peredam bagi segala rasaku… Suamiku…”

“Dan aku juga ingin kau selalu tersenyum bahagia dihadapanku.”

“Fikar…”

“Ya?”

“Kapan kita keluar dari sini?”

“Nanti, emm besok saja. Sekarang kita istirahat…” aku melepas peluknya dan tiduran dikarpet.

Ada ruangan disebelah mushola. Fikar bilang ruangan ini biasa dipakai Abah saat beliau ingin menyendiri.

Membaca Al-Quran sehari semalam. Bertujuan untuk menjaga hafalannya. Dan mendekatkan diri kepada sang khalik.

Aku mengagumi Abah dan keluarganya.

Karena Al-Quran adalah sesuatu yang wajib mereka hafalkan dan aku bahagia karena suamiku juga menghafalnya.

“Laula… tidurlah, pejamkan matamu. Dan berdoalah agar esok Allah berikan jalan untuk kita.” Dia membelai rambutku. Aku memeluknya.

“Aku ingin memelukmu sampai fajar menyingsing dan sampai aku besok terbangun. Eh sama ya?! Ya, terserah pokoknya aku hanya ingin kamu. Dzulfikar…"








🐣Nana Raynaa

Dzulfikar (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang