Delapan belas

3.3K 209 0
                                    

Aku mematut diri didepan kaca. Gaun warna putih menjulai indah dilantai.

Hari ini adalah peresmian pernikahanku dengan Dzulfikar.

Aku bahagia sekali.

Acaranya tidak terlalu mewah. Dirayakan dipesantren dengan dihadiri oleh seluruh santri Abah dan keluargaku. Serta kenalan-kenalan Abah.

"Kau cantik.. " Dzulfikar berdiri dibelakangku dan menatap lewat kaca.

"Karena aku adalah istrimu.. " Dia tersenyum. Dan aku senang bila dia tersenyum.

"Jangan ada yang memisahkan kau dan aku. Kecuali itu takdir.. " Dia menatapku dan menggenggam kedua tanganku.

"Aku tidak tau bagaimana hidupku tanpa senyumanmu, Laula. Ya walapun nantinya kau atau aku akan pergi dari dunia ini.. " Dia menatapku lembut sekali.

"Aku benar-benar tak mau kehilanganmu.." Aku menyentuh pipinya.

"Aku disini, takkan pergi.." senyumnya mengembang. Aku membenarkan pecinya, lalu dia memelukku.

"Ehem.. " Kami berdua menoleh ke arah pintu.

Ya Allah ada Ayah. Hehe jadi malu. Hehehe.

"Pengantin ditunggu.. " Aku bersiap-siap.

"Laula, mau bergandengan dengan Ayah?" Aku mengangguk.

"Dzulfi, kau jangan cemburu. Ayah pinjam dulu Laula.. " Dzulfikar nyengir.

"Baiklah Ayah.. " katanya

Resepsi pernikahan berjalan dengan lancar. Para santrinya juga memberikan sumbangan berupa sholawat.

Ku lihat Rizky juga hadir disana. Ayah bilang, Rizky seperti anaknya. Aku tidak apa-apa, selama Ayah bahagia pasti aku pun bahagia.

Lagi pula Rizky laki-laki yang baik dan lagi dia adalah yatim piatu. Ya, semoga saja Ayah jadi punya teman.

Aku akan sering berkunjung ke rumah. Karena kata Abah aku harus menetap dulu selama setahun dipesantren agar aku belajar dulu. Dan aku menurut saja.

"Lihat.. " Aku mengikuti arah yang ditunjuk Fikar. Dan aku melihat Rizky sedang duduk bersama Abah.

"Kenapa?" tanyaku.

"Abah menyukai Rizky.."

"Bagaimana kau bisa tau?" Dia tersenyum.

"Aku tau, karena Abah tak mudah akrab dengan orang asing."

"Apa yang sedang mereka bicarakan?" tanyaku.

"Kau tidak boleh tau!"

"Mengapa?!" protes ku.

"Untuk apa kau tau?" Aku berfikir, iya juga sih. Untuk apa yah? Tidak penting juga.

"Laula.."

"Apa.."

"Kapan acaranya selesai?" dia bertanya sekaligus dengan nada keluhan.

"Aku tak tau. Mungkin nanti sore."

"Lama sekali.. "

"Hem.. " sepertinya Dzulfikar bosan, aku juga sih.

"Bagaimana kalau kita pergi saja?" ajak nya.

"Kemana?"

"Beristirahat dikamar. Aku lelah.. "

"Aku pun lelah, Fikar. Menjadi pengantin itu sungguh melelahkan." keluhku.

Dzulfikar menggenggam tanganku erat sekali.

"Kau sudah berani?!" aku terkejut karena Fikar menunjukannya dimuka umum.

"Untuk apa tak berani? Kau istriku, sudah 100% halal aku sentuh.. "

"Iyaa.. Iya.. "

"Jadi.. Kapan aku bisa menciummu?" Aku refleks memundurkan wajah.

"Kau.. Kenapa selalu berfikiran seperti itu?!"

"Seperti itu bagaimana?" tanyanya polos.

"Tidak.. Aku gemas padamu."

"Kalau begitu peluk aku." tawarnya.

Aku hampir tertawa tapi ku tahan.

"Nanti saja. Aku akan memelukmu sampai Fajar menyingsing."

"Benarkah?" tanyanya memastikan.

"Iyaa... " seraya ku cubit pelan pipinya.

"DUAAARRRR!!!"

Tiba-tiba ada ledakan didekat meja makanan.

Semua orang langsung lari berhamburan.

Aku memegang erat Dzulfikar. Aku tak melihat Ayah dan Abah, dimanakah mereka?

"Fikar,  ini apa?!" Aku memeluknya.

Aku takut. Aku panik!

"Aku tak tau tapi sebaiknya kau lari."

"Kemana?!"

Semua orang sudah berhamburan ke arah manapun.

"Ke ruang bawah." Aku tidak tau itu dimana, dan aku tidak ingin Dzulfikar tidak bersamaku.

"Harus denganmu! Aku tak mau sendiri. Dan aku tak mau kau terluka."

Tiba-tiba seseorang yang berbaju hitam dan menutup seluruh wajahnya dengan topeng mengacungkan pistol ke arah kami.

"Ayo lari.. " Aku dan Dzulfikar berlari.

Tembakan orang itu meleset tak mengenai kami.

Ya, Allah ada apa?!

Kenapa tiba-tiba ada bom di pernikahan kami?

Dan siapa orang tadi yang tega sekali ingin membunuh kami?

"Fikar, tunggu.." Aku meminta untuk berhenti sekejap.

Berlari dengan gaun, membuatku agak kerepotan meski aku sudah membuang jauh sepatu hakku.

"Laula, ku mohon berlarilah sedikit lagi. Aku tak mau kau sampai terluka.. "

"Darrr!!!" Dzulfikar mengerang.

"Kau kenapa?!" tanyaku panik.

Tembakan orang asing itu menyerempet mengenai lengan Dzulfikar.

"Ayo lari!!!" ajaknya lagi.

Aku dan Dzulfikar berlari menuju ruang paling pojok dan masuk ke dalam.

Lalu Dzulfikar membuka kode dan masuk ruang bawah tanah.

Aku dan Dzulfikar terduduk dilantai.

Lengan Dzulfikar berdarah, aku menangis melihatnya.

"Jangan menangis, kemarilah.. " Aku mendekat kepadanya dan dia memelukku.

Kenapa harus ada seperti ini dihari pernikahan kita, Fikar?

"Laula,  jangan menangis. Aku rela terluka untuk melindungimu, istriku." Tapi aku masih tetap menangis.

"Kau sudah ku peluk jadi jangan menangis. Kau akan berada dipelukku tak hanya sampai pagi tapi selamanya.."

Sedihku, karena aku melihatmu terluka didepan mataku. Dan itu kau lakukan untuk melindungi aku.





🐣Nana Raynaa

Dzulfikar (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang