5. Darah yang Berdesir

27.4K 1.3K 14
                                    

Happy reading!

***

Diandra menatap Alex tajam yang kini sedang terbaring di blankar, mengipas-ngipas matanya yang sangat merah. Di samping Diandra, berdiri tubuh jangkung Andrian yang justru menatap Diandra. Ada sesuatu yang berbeda dari Diandra saat menatap pria pengirim bunga itu. Insten dan begitu menohok.

"Bukannya lo harus ke tempat latihan?" celetuk Diandra tanpa memalingkan pandangannya.

"Nunggu lo masuk kelas," jawab Andrian datar.

Dia tidak akan mau meninggalkan Diandra bersama pria pembuat onar itu dalam satu ruangan. Meskipun dua orang dokter saat ini sedang bercengkrama di ruangan yang sama, tapi hal itu tidak bisa menjamin keadaan akan tetap aman. Baik Diandra ataupun Alex, pasti akan melakukan hal gila.

"Gue cuma mau interogasi cowok ini."

"Yaudah, lakuin sekarang."

Karena merasa dibicarakan, Alex melirik ke tempat Diandra dan Andrian berdiri. Matanya benar-benar panas, sampai rasanya ingin meleleh karena kuah bakso pedas yang menerpa wajahnya. Meskipun begitu, Diandra tetap bertanggung jawab dengan mengantar pria itu ke UKS. Bahkan wanita itu sempat menawarkan pengobatan lebih lanjut di rumah sakit.

"Apaan?! Lo masih mau nyelakain gue?!" sungut Alex sambil terus mengipas matanya dengan tangannya yang besar.

"Kenapa lo selalu ganggu gue?" nada bicara Diandra begitu rendah dan dingin.

Mata Alex kini beralih ke langit-langit. Mana mungkin dia menjawab pertanyaan itu dengan : 'karena gue tertarik sama lo!'. Dimana harga dirinya jika wanita itu tahu mengenai bagaimana terusiknya hati Alex jika dia tidak memperhatikan Diandra? Tangannya berhenti mengipas. Alex memejamkan matanya dan menarik nafas dalam-dalam.

"Gue nggak mau terlibat sama Pak Sony buat ke depannya. Lo cari mainan lain aja. Gue nggak tertarik main sama lo," Diandra pergi setelah mengucapkan hal itu.

Dan sekarang, giliran Andrian yang mengutarakan banyak pertanyaan pada Si Biang Kerok ini. Tas hitam yang menempel di punggungnya ia letakkan di kursi plastik dekat blankar, lalu ia duduk. Melipat kedua tangannya di dada yang lebar.

"Lo suka sama Diandra?" Meskipun hatinya mencelos saat mengatakan hal itu, tapi Andrian harus tetap mengucapkannya.

Namun, Alex masih tidak menjawab. Dia masih memejamkan matanya yang kini sudah berair membasahi pelipis. Matanya sangat terbakar karena biji cabe.

"Gue rasa lo emang suka," Andrian terkekeh karena ucapannya sendiri.

Andrian pun sama. Dia menyukai Diandra saat umur mereka menginjak usia 10 tahun. Menyukai Diandra saat wanita itu membuat patah hidung seorang bocah berseragam putih biru yang membully tubuh Andrian yang masih cebol. Dan siapa yang menduga, perasaan bocah 10 tahun itu sudah bertahan selama 8 tahun di relung hatinya. Dan selama 8 tahun itulah, perasaan itu hanya menjadi sebuah rahasia.

"Mari kita bersaing secara sehat buat dapetin Diandra."

☀☀☀

Diandra sudah ada di tempat latihan karatenya. Dan di sinilah ia mendapatkan ilmu untuk memelintir tangan Reno beberapa minggu yang lalu. Di sinilah ia mendapatkan kepahaman tentang pengendalian tubuh untuk melawan kakak kelas yang selalu mengusik kedamaiannya saat melihat siswa lemah ditindas. Sabuk hitam bertengker di pinggangnya yang ramping.

Selepas latihan basket di tempat khusus, Andrian segera bergegas ke tempat les Diandra yang tidak jauh dari tempatnya. Saat ini, dia sedang memperhatikan Diandra yang tengah berjalan ke arahnya dengan nafas yang terengah-engah.
Rambut hitam bergelombang diikat kuncir kuda memperlihatkan leher jenjangnya. Anak-anak rambut yang lebih keriting dari rambut lainnya mengelilingi dahi Diandra yang berkeringat.

Rude Beautiful Girl [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang