Happy reading!
***
Hari demi hari terus berganti. Dan tak terasa sekarang semua pelajar di Indonesia sedang menikmati libur semester. Termasuk Diandra dan Alex.
Jika biasanya siswa akan merasa senang karena tidak perlu berangkat sekolah, Alex justru sebaliknya. Itu berarti ia tidak bisa main futsal gratis lagi. Dan yang terpenting, ia tidak bisa bertemu Diandra. Memang, Diandra masih tinggal di apartemen yang sama. Tapi sudah tiga hari ini Diandra tidak ada di Jakarta, melainkan ikut Pak Delon ke Medan untuk urusan bisnis. Karena jarak itu lah, Alex hanya bisa menghabiskan malam minggunya lewat telepon dengan Diandra.
"Kuping gue udah panas, Ndro," keluh Diandra di seberang sana.
"Gue masih kangen, Di. Lo nggak kangen apa?" Alex semakin mengeratkan pelukannya pada guling, beranggapan bahwa itu adalah tubuh Diandra.
Diandra sudah mengeluh begitu dari sepuluh menit yang lalu. Mereka baru berbincang lewat telepon selama dua puluh menit, tapi Diandra sudah mulai mengeluh. Sedangkan Alex masih enggan menyudahi sesi pelepasan rindunya.
"Kangen-kangenan sih boleh, tapi nggak usah rusak telinga juga, bege!" ketus Diandra.
Alex hanya berdecak saat Diandra lagi-lagi tidak menjawab pertanyaannya. Entahlah, mengapa sulit sekali mendapat jawaban dari Diandra. Padahal dia hanya perlu bilang; 'iya, gue juga kangen sama lo'.
"Makanya, kalo kuping lo nggak mau rusak, lo pulang! Betah amat di kota orang," Alex berguling menghadap kanan.
"Ih, lo budek ya?!" Diandra mulai kesal. "Tiga hari lagi gue pulang! Masih aja ngerengek kayak anak kecil!"
"Kelamaan kali, Di. Kalo gue mati gara-gara kangen sama lo gimana?"
"Ngalay mulu kerjaan lo!" Diandra semakin jengkel. "Lagian, kalo lo mati, bagus dong! Dari 265 juta jiwa penduduk di Indonesia, berkurang satu."
Tawa Alex meledak saat itu. Saking pintarnya Diandra, dia sampai tahu berapa jumlah penduduk Indonesia. Alex saja malas jika harus menghitung satu persatu kepala yang ada di Indonesia.
"Yaudah, gue tutup nih. Lo tidur ya, jangan lupa mimpiin gue."
"Males!"
"Jangan lupa gue sayang sama lo, Di. Bye..."
"..."
Tut.
Akhirnya Alex mengakhiri panggilan itu. Dia masih setia senyum-senyum sendiri sembari melihat layar ponselnya. Lebih tepatnya foto Diandra yang memperhatikan ribuan lampion dengan background tugu Monas. Dia mengambil foto itu diam-diam, jadi wajar jika Diandra tidak menghadap kamera.
Sementara di Medan, Diandra terus berguling-guling di atas kasurnya. Lampu kamarnya sudah dimatikan sebelum Alex meneleponnya tadi, tapi ia masih enggan untuk tidur. Kalimat terakhir Alex entah mengapa membuatnya gelisah.
Bukan karena Diandra tak tahu lagi mengenai perasaannya untuk Alex, tapi karena dia sedang dilanda kebingungan harus mengucapkannya atau tidak. Haruskah dia memberi tahu Alex bahwa perasaannya kini terbalaskan?
"Nggak usah, nanti tuh bocah malah ngetawain gue lagi!" ucap Diandra pada dirinya sendiri.
Diandra segera menarik selimutnya hingga kepala. Dia terus merapalkan do'a supaya malam ini tidak perlu memimpikan Alex seperti malam-malam sebelumnya. Bukannya meredakan rindu, memimpikan pria itu justru menambah kerinduannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rude Beautiful Girl [Sudah Terbit]
Roman pour AdolescentsDiandra Putri, wanita dingin dengan pahatan sempurna di wajahnya. Dia tidak akan segan untuk melayangkan tinjuan pada siapa saja yang mengganggu ketenangannya. Banyak yang menyatakan cinta pada Diandra, tapi selalu berujung dengan penolakan disertai...