2. Benteng Diri

40K 2K 18
                                    

Semenjak Reno mengutarakan alasan ia mengejar Diandra dari depan gerbang, Diandra semakin mempercepat langkahnya menuju kelas. Beberapa pasang mata yang melihat kejadian itu dibuat heran. Tapi Diandra lebih memilih untuk bersikap cuek dan terus melangkah tak mempedulikan celotehan Reno.

Sudah tak terhitung, Reno, ataupun anggota OSIS lainnya, membujuk Diandra. Bahkan bukan membujuk, mereka cenderung memohon pada wanita itu. Tapi selalu sama, Diandra bersikap acuh dan menulikan telinganya. Tak jarang anggota OSIS yang tingkatnya ada di bawah Diandra mendapat perkataan tajam dari lidah Diandra.

"Kalo bukan lo siapa lagi? Pak Agam udah nunjuk lo, udah minta lo buat ke ruang guru, tapi lo gak pernah dateng. Demi sekolah, gue mohon, Diandra," sekali lagi Reno memohon pada wanita itu.

Namun Diandra tetaplah Diandra. Sikap tidak sopan sudah menjadi ciri khas wanita itu. Dia malah mendengarkan musik melalui earphone dengan volume yang besar. Bahkan Reno bisa mendengarnya.
Langkah Reno terhenti. Ia memejamkan matanya dan mengambil nafas dalam-dalam. Ia berusaha meredakan kekesalannya yang sudah siap meledak. Ia bukanlah pria tempramental ataupun bossy karena memiliki jabatan di sekolah. Tapi siapapun pasti akan selalu angkat tangan jika harus menghadapi Diandra. Kecuali satu orang.

"Kalo aja lo masuk sekolah, Yan," gumam Reno sambil meneruskan langkahnya yang sempat tertunda. Ia setengah berlari untuk menyamakan langkah dengan wanita jahat itu.

Dengan berani, Reno menarik paksa earphone di telinga kiri Diandra. Desisan tajam keluar dari mulut Diandra yang begitu menyeramkan terdengar. Diandra menatap Reno dengan tajam.

"Gue mohon, Diandra. Gue udah bilang 'mohon', apa itu nggak cukup?!"

Wajah Diandra berubah datar. Kini lidahnya mengusap bibir bawahnya. Diandra sudah berkacak pinggang tanpa sedikitpun mengalihkan matanya dari Reno.

"Gue bilang sama lo, berulang kali gue bilang sama lo, gue gak mau. Apa itu nggak cukup?"

Diandra menarik paksa earphone yang masih di tangan Reno. Baru saja ia akan melangkah, Reno sudah mencekal pergelangan tangannya.

Karena keberanian Reno itu, beberapa siswa yang tadinya sedang melangkah di belakang mereka mendadak berhenti. Menantikan hal seru yang bisa dipastikan akan terjadi selanjutnya. Seharusnya Reno tahu perlakuan Diandra yang mana yang bisa membuat anak buah perempuannya menangis karena berurusan dengan wanita ini.

Secepat kilat, tangan kanan Diandra balik mencekal tangan Reno. Diputar tangan itu sampai genggaman Reno dari tangan Diandra terlepas hanya dalam hitungan satu detik. Kaki kiri Diandra menendang betis Reno dengan keras sampai lutut pria itu membentur lantai. Sedangkan tangan Diandra yang baru bebas, menekan tengkuk Reno sehingga pria itu kini menunduk. Bahkan dagunya bersentuhan dengan dada.

"Dra!" pekik Reno dengan keras.

Diandra justru menghembuskan nafasnya dengan keras. Ia tidak peduli dengan pandangan orang-orang yang berdiri di belakangnya. Mereka tampak terkejut bahkan beberapa dari mereka telah berhamburan mencari jalan memutar hanya untuk menghindari amukan wanita itu.

"Perlu gue anter lo ke rumah sakit buat nyembuhin telinga lo yang bermasalah?" tangan Diandra bergerak mencapai rambut Reno. Geraman Reno terdengar, ia sedang berusaha menahan sakit di akar rambutnya yang dicengkram oleh Diandra.

"Gue cuma minta lo buat ikut olimpiade fisika, Dra. Apa yang sa-"

"Oh jelas salah, Ren! Gue udah sangat sering bilang sama lo, sama yang lainnya juga, kalo gue nggak mau. Dan gue rasa Pak Agam juga udah tahu jawaban gue. Lo udah maksa kehendak lo sama gue. Kejahatan pemaksaan kehendak. Eksploitasi!" Sebelah kaki Diandra menginjak betis Reno untuk menahan berontakan dan pria itu.

Rude Beautiful Girl [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang