Mama Velicia

3.2K 204 4
                                    

26.Mama Velicia

........




Lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah, yang artinya semua kendaraan harus berhenti. Pun salah satu taksi yang ikut berhenti di antara padatnya kendaraan pagi hari ini.

Di dalam taksi itu, seseorang sedang duduk termenung dengan sorot mata sendu. Menghela napasnya sebentar, serta memejamkan mata perlahan, dan untuk kesekian, air mata itu kembali lolos dari pelupuk mata sang gadis. Diusapnya kasar air mata itu, dia tidak akan membiarkan dirinya terlarut dalam kesedihan ini, tidak akan menunjukan pada siapapun bahwa dirinya sedang rapuh, dan tidak akan membiarkan mereka tertawa hanya karena merasa dirinya benar-benar lemah.

Diliriknya buket bunga berukuran sedang yang ada di pangkuannya, senyum simpul tercetak jelas di wajah yang sedikit pucat itu. Bunga yang dari tadi malam sudah ia siapkan.

"Mau kemana Neng?" Suara Sopir taksi membuat Naray terkesiap.

"Ke pemakaman umum Cempaka, Pak." Naray memberi tahu tujuannya. Sudah ia rencanakan dari semalam untuk membolos sekolah saja dan berkunjung ke makam Mamanya. Sebenarnya ingin sekali Naray ke Mamanya malam itu juga, menumpahkan segala sesuatu yang telah menimpanya kepada sang Mama, tapi Naray terlalu takut untuk pergi ke pemakaman di malam hari, seorang diri pula.

Setelah menempuh perjalanan beberapa menit, taksi itu berhenti tepat di depan pemakaman Cempaka. Setelah bertransaksi, Naray segera turun dan taksi pun meninggalkan Naray yang masih bergeming di tempatnya.

Langkah demi langkah membawa Naray ke sebuah pekuburan dengan nisan bertuliskan 'Velicia Sundari Binti Heris Sundari'. Lagi, gadis itu menatap nisan Mamanya dengan wajah sendu. Dengan perlahan Naray berjongkok, tangannya terulur mengusap nisan itu.

"Assalamualaikum Mama. Long time no see, Mam. Sudah tiga tahun ya Mama meninggal. I really miss you, Mam. For my everysecond in my life. Maafin Ai yang baru sempat jengukin Mama ya?" Naray tertunduk dalam do'anya.

"Mama apa kabar disana? Semoga Allah selalu menjaga Mama ya. Ai cuma bisa bantu mendo'akan Mama."

"Maafin Ai juga karena bolos sekolah. Mama jangan marah, karena dengan bolos sekolah Ai bisa ketemu sama Mama pagi ini. Tapi, kalo buat milih denger suara Mama yang lagi marah-marah atau gak denger suara Mama sama sekali kaya gini, jelas Ai pilih dimarah-marahin Mama lah." Gadis itu terus berceloteh tanpa henti, tidak peduli bahwa celotehannya hanya akan berlalu bersama angin pagi itu.

"Maafin Ai juga. Karna Ai gak bareng Papa pas mau jenguk Mama. Papa sibuk Ma, Papa sibuk sama keluarga Papa yang baru, sibuk mencintai Merisca dan sibuk peduliin Claudia." Naray terdiam sejenak, kerongkongannya mulai terasa tercekat. Dan melanjutkan dengan suara bergetar.

"Sejak kejadian itu Ma, kejadian tiga tahun lalu waktu Mama ninggalin kita. Papa bener-bener udah gak mau bicara lagi sama Ai Ma. Ai tau sikap Papa yang kaya gitu karna Papa begitu sangat mencintai Mama, tapi demi apapun Ma, bukan Ai yang bunuh Mama." Suara bergetar itu sudah berganti dengan isakan-isakan kecil. Naray kembali melanjutkan setelah sebelumnya mengusap air matanya.

"Mama Merisca yang bunuh Mama, Ai lihat Ma, Ai lihat waktu Mama Merisca nyuntikin sesuatu ke leher Mama pas Mama lagi tidur, Mama Merisca lihat Ai yang pas itu lagi shock, dan setelah itu, Ai diseret.... diseret keluar Ma, dan gelap, Ai gak tau setelah itu Ai kenapa."

"Dan setelah....setelah Mama meninggal...Ai...Ai...." Tangisnya pecah, sungguh dirinya tidak bisa melanjutkan cerita itu. Ketika ingatannya berjalan mundur dan memutar kejadian kelam itu, di mana dirinya benar-benar sakit, sakit atas kepergian Mama tercintanya, sakit atas penyiksaan seseorang yang hampir tiga bulan berjalan.

Naray terus terisak, sampai suara gelayar petir membuat dirinya mendongak ke atas langit. Langit sudah menggelap, yang artinya hujan akan turun dan secara tidak langsung alam sudah menyuruhnya pergi dari sana.

Naray memejamkan mata, mengangkat kedua tangan di atas dada dan berdoa untuk ketenangan sang Mama di sana. "Ma, selama sisa hidup Mama, I just wanna say thank you. Ai begitu sangat mencintai Mama. Ai pergi dulu ya, jangan sungkan mampir ke mimpi Ai. Assalamualaikum Ma." Gadis itu menaruh buket bunga dengan perlahan di sisi nisan Mamanya. Mengelus nisan itu, menciumnya lembut, dan melangkah pergi dengan ketidakrelaannya meninggalkan Mamanya.

📖📖📖

Seperti biasa, suasana surga sekolah tidaklah sepi jika jam sudah menunjukan waktu istirahat, karna para penghuni sekolah juga tidak akan sungkan-sungkan untuk pergi ke surganya sekolah alias kantin itu untuk mengganjal perut atau hanya untuk sekedar nongkrong.

Keempat cogan itu sudah sedari tadi duduk di meja tengah kantin. Sebenarnya Haris tidak mau menempati meja di tengah-tengah seperti ini, tapi Leo dan Milo ngotot untuk duduk di meja tengah saja. Alasannya mudah ditebak jika yang meminta itu adalah Leo dan Milo, yaitu tebar pesona pada adik kelas. Alhasil Haris yang sangat malas berdebat dengan dua homo ini mengalah.

"Hai Nisa, makin cantik aja." Celetuk Leo ketika melihat gadis bernama Nisa itu berjalan melewatinya, yang dibalas lirikan malas oleh Nisa.

"Jangan jutek nanti gue suka loh.." Katanya lagi dengan sedikit berteriak.

"Vel, ngelamun aja lo. Kesambet ntar." Milo menyenggol lengan Novel yang hanya mengaduk-aduk jus alpukatnya tanpa selera. Novel memang melamun, tetapi pikirannya tidak kosong sama sekali. Malah berbagai hal ada dan sedang berputar di dalam pikirannya.

Novel menengok 30 derajat ke arah kanan, menapat lurus keempat gadis yang sedang sibuk makan. Hanya ada Amanda, Nisa, Atin, dan Naomi di sana. Hal itu membuat Novel berdecak sebal.

"Kenapa Lo? Gelisah amat dari tadi kaya nungguin emak-emak lahiran." Celetuk Milo.

Dalam diamnya, Haris melirik Novel, mengamati sudut mata Novel, dan mengikuti arah pandang Novel, seketika Haris tau, bahwa Novel sedang mencari seseorang di antara keempat gadis itu.

"Cari Naray Lo?" Tanya Haris santai.

"Kagak. Jangan sok tau lo!" Balas Novel ketus.

Gue penasaran aja kemana tuh anak. - Novel mendesah lelah kala mulutnya tidak sesuai dengan hatinya.

"Hah? Lo cari Naray?" Leo bertanya antusias.

"Ekhem apa jangan-jangan?" Milo sengaja menggantungkan perkataannya dan melirik penuh selidik pada Novel.

Novel melotot "Jangan-jangan apa?"

"Lo cari Naray, berarti Lo?" Lagi, Milo menggantungkan perkataannya.

"Gue gak khawatir ya sama tuh babu!" Delik Novel kesal.

"Gotcha! Gue gak bilang Lo khawatir tuh. Lo sendiri yang bilang." Kata Milo dengan kekehan, yang dilanjut tawa dari Leo dan Haris. Novel hanya bisa mengumpat tertahan dan berdecak sebal.

Poor Novel.

📖📖📖
J

angan lupa vote dan komen sebanyak-banyaknya. Oke???


NOVEL (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang