Ombrophobia

3.5K 199 6
                                    

20.Omprophobia

.......




Naray berjalan di koridor dengan lesu, perasaan cemas sudah merabak di dalam hatinya sedari tadi. Memandang langit, gelap. Langit sedang mengumpulkan bebannya yang sebentar lagi akan ia tumpahkan. Masalahnya, Naray masih di sekolah dan harus ke rumah Novel. Naray tidak mau terjebak dalam hujan nantinya.

Di tengah-tengah koridor, Naray melihat Novel bersama teman-temannya sedang berjalan menuju parkiran. Naray segera berlari dan mengejar Novel.

"Vel, gue ikut lo ya," Kata Naray to the point.

Novel mengangkat sebelah alisnya, "Gak boleh!"

"Mau hujan Novel, tuh liat mendung!"
Naray masih berusaha menyejajarkan langkahnya dengan langkah Novel yang panjang itu.

"Sekali engga, ya engga. Lo naik ojek!" Mereka sudah sampai di parkiran. Ketika Novel ingin masuk, Naray tentu saja menahannya.

"Plis kali ini gue ikut lo ya," Naray memohon dengan raut wajah yang sudah terlihat memelas.

"Gak bisa Naray, lo naik ojek dan langsung ke rumah gue. Oke? gue harus jemput pacar gue. Dan ini gak bakalan hujan sebelum lo sampai. Makanya buru sana lo berangkat. Ini lo pake jaket gue. Mendung, dingin, lo harus pake!"

Blamm

Pintu mobil tertutup, "Novel, ini bakalan hujan sebentar lagi, NOVEL!!!"

Mobil melesat dengan kencang, menyisakan Naray yang sudah dilanda kecemasan luar biasa.
"Gue harus buru-buru berangkat." Katanya dengan nada sedikit bergetar dan tangan yang terus-terusan meremas jaket Novel.


📖📖📖

Suara berisik yang ditimbulkan oleh bertabraknya air hujan dengan benda-benda yang ada di bumi membuat gadis yang sedang duduk sendiri di kursi halte itu gemetar, tidak hanya gemetar, gadis itu sudah sesenggukan sedari tadi.

Angin kencang yang berhembus dan menabrak bebas dirinya membuat gadis itu meringkuk kedinginan, jaket yang ia pakai tidak sedikitpun mengurangi hawa dingin yang menusuk kulit putihnya.

Gemuruh hujan itu mengingatkan dirinya pada masa kelam tiga tahun lalu, angin kencang itu mengingatkan dirinya pada saat di mana ia sangat tidak berdaya, dan kilatan petir itu bagai cambuk yang menghantam sekujur tubuhnya hingga ia tumbang.

Kepalanya pening, suara di sekitarnya sudah tidak bisa ia dengar dengan jelas, perpaduan suara alam sangat memekakan telinganya, dadanya sangat sesak, seakan oksigen sudah direnggut pergi bersama angin kencang itu.

Sudah satu jam lebih ia duduk di sana, sejak tukang ojek menurunkannya di halte karena rintik hujan sudah turun ketika baru 15 menit Naray berangkat. Dan sudah satu jam lebih Naray berusaha bertahan melawan alam yang sedang berperang dengannya.

Naray memukul dadanya, kali ini dadanya benar-benar sesak, dia sungguh tidak bisa bernapas.

"Too...tolong!" Lirihnya, tapi percuma. Tidak ada satu orang pun di sekitarnya.

Naray meremas jaket pemberian Novel, "To....long, sii..siapa...pun. Tooloong!" Naray melihat di depan jalan sana ada mobil yang berhenti, segera Naray melambaikan tangannya, berusaha agar memancing perhatian pada pemilik mobil itu.

Teyapi pandangannya mulai kabur, kepalanya juga sakit luar biasa, "Akkkhhh." Rintihnya kesakitan.

Pandangannya semakin kabur, Naray  tidak bisa melihat siapa yang sedang berlari ke arahnya . Pandangannya mulai menguning, dan detik berikutnya, gelap. Dengan kesadarannya yang mulai menghilang.

NOVEL (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang