14.Sesak
.......
Sunyi. Suara hembusan angin malam yang cukup kencang pun sampai terdengar di telinga seorang cowok yang sedang duduk termenung di balkon. Suara jangkrik yang bersautan turut menemati seorang cowok yang setia memangku gitarnya dan sesekali memetik dengan nada semaunya.
Langit tidak lagi menampakan semburat jingga di perbatasan sang surya tenggelam itu, digantikan dengan taburan bintang yang terlihat kecil dari tempat Novel melihatnya, tetapi Novel enggan beranjak dari kursi yang sudah sejak tadi ia singgahi. Novel memandang kosong ke depan juga pikirannya yang berkelana kemana-mana.
Lalu ingatannya jatuh pada lukisan besar di rumah Claudia. Pria paruh baya yang sama persis dengan potret foto keluarga kecil Claudia. Wanita cantik yang senantiasa hadir di sana, dan gadis kecil pemilik senyum manis itu.
Novel mendesah, dahinya sudah berkerut, tiga lipatan jelas tercetak di sana, menyandarkan punggung pada sandaran kursi, mencoba menjernihkan pikirannya.
"Apa bener, Papanya Claudia punya dua istri sama dua anak?" Novel bergumam sendiri, mencoba menebak.
"Wah keren dong, kalo om Surya punya istri dua, gue mau sepuluh."
"Ck, kok jadi ngawur." Novel menggeleng dan menjambak rambutnya sendiri.
"Dan, gue kok ngerasa gak asing sama anak kecil itu ya?" Novel meletakan gitar di sampingnya, menopang dagu dengan kedua tangannya.
Berpikir sejenak, tetapi Novel tak kunjung menemukan titik terang. Ia bangkit, beranjak masuk kamar, lalu langkahnya berjalan menuju meja belajar, lalu duduk di kursi depan meja belajar.
Namun, matanya tak sengaja menemukan secarik foto yang agak usang termakan waktu, bertengger apik di atas buku-bukunya. Tangan kanan Novel bergerak untuk menjuput foto itu, memandanginya, seperti terdapat magnet pada foto itu, masing-masing ujung bibirnya tertarik keatas membuat senyuman kecil di wajah datarnya.
Lucu. Sekali lagi, Novel membatin tanpa sadar.
📖📖📖
Dentingan sendok terdengar nyaring di ruangan 4x4 itu. Suara didominasi oleh Merisca dan Claudia saja, sesekali Surya menimpali. Dan gadis cantik bersenyum manis sama sekali tidak membuka suara. Fokusnya hanya pada makanan di hadapannya.
"Mah, gimana? sweet seventeen ku jadi dirayain kan?" Suara manja Claudia terdengar.
"Tanya Papa tuh!" Jawab Merisca sambil kepalanya menengadah pada suaminya, Surya.
"Terserah kamu maunya gimana Clau, Papa bakal nurut kok." Naray menangkap seulas senyum di bibir Surya, ada sedikit kesenangan di relung hatinya. Setidaknya, Naray masih bisa melihat senyum superheronya, walau bukan untuknya.
"Yey, jadi beneran dirayain ya Pah, Mah?" Tanya Claudia lagi sambil melirik kedua orang tuanya.
"Iya sayang. Kamu maunya di mana? di rumah aja? atau nyewa gedung?" Tanya Surya.
"Uumm, nanti Clau pikirin lagi deh Pah. Makasih ya Pah." Kata Claudia manja, lagi.
Begitulah suasananya, mereka berempat, tetapi ada satu orang yang tidak pernah dilihat oleh mereka, bagaikan kasat mata. Naray berusaha menelan kenyataan yang super pahit itu. Tidak pernah ditatap, tidak pernah disapa, tidak pernah mendapat kehangatan di antara mereka.
Naray tidak butuh Merisca dan Claudia sebenarnya. Dia hanya butuh sosok Ayah yang siap melindunginya dari berbagai hal buruk, dan Naray sangat merindukan sosok itu. Sosok yang tiga tahun silam sudah berubah menjadi orang asing untuk Naray. Sosok yang kini tidak pernah memeluk Naray ketika Naray lelah. Sosok yang tidak pernah lagi menyemangatinya.
Naray bangkit ketika makanannya sudah tandas tak tersisa, dia mencoba biasa saja, walau sebenarnya hatinya sudah tidak karuan.
"Pah, Mah, Clau, Ai ke atas dulu ya. Selamat malam." Ucap Naray dengan kepala menunduk, Naray tidak sanggup melihat mereka, melihat keharmonisan yang mereka ciptakan.
Setelah itu, langkahnya mulai berjalan, menapaki satu persatu anak tangga, memasuki kamar, menutup pintu, dan menguncinya.
Naray merebahkan diri di kasurnya, satu tetes cairan bening meluncur di pipi kanannya, tapi gadis itu segera mengusap air matanya dengan kasar.
Itulah yang kerap kali terjadi ketika makan malam usai. Sepertinya hari ke hari lukanya bertambah, bertambah banyak, lebar, dan tak kunjung kering serta tertutup.
Naray lalu bangkit, mengambil jaket kuning kesayangannya, menguncir rambut asal, menyambar ponsel dan dompetnya di atas nakas. Melirik jam dinding di sisi kamar, pukul 07.30, masih sore.
Lalu Naray keluar lewat pintu menuju balkon, menuruni tangga sisi balkon. Memang di sisi balkon terdapat tangga yang langsung turun ke bawah. Memudahkan maling masuk memang ke kamar itu, tapi Naray tidak pernah berpikiran kesana. Malah tangga balkonnya sangat bermanfaat untuk kabur seperti ini.
Naray berjalan sambil tangannnya dimasukan ke dalam saku jaket, untuk sekedar menghilangkan udara dingin malam hari yang menusuk kulit. Naray berniat membeli eskrim dan mampir ke taman hanya untuk sekedar menghilangkan penat.
Beberapa menit, Naray sudah menikmati eskrim Cornetto Oreo dan sedang mencari bangku kosong di taman dekat kompleknya itu.
Keadaan taman biasa saja, tidak ramai dan tidak sepi. Serta didominasi oleh pasangan muda-mudi yang membuat Naray mendengus sebal. Bukannya menghilangkan penat, tapi malah tambah penat.
"Ck, nasib-nasib. Naray yang LDR sama Baekhyun bisa apa coba? pacar gue sibuk konser." Ucap Naray sambil berjalan menuju bangku kosong di tengah taman. Dan tolong tonjok Naray supaya sadar pada kenyataan bahwa 'Baekhyun tahu Naray hidup aja enggak'.
Naray duduk, memejamkan mata, mencoba menikmati angin malam yang sejuk menerpa wajahnya, anak rambutnya menari seirama dengan angin berhembus, dirasa cukup tenang, Naray membuka mata, kembali menikmati eskrim nya yang hanya tinggal setengah.
Kepalanya lalu menengadah ke atas, dilihatnya ribuan bintang berkelap-kelip di sana. Bibirnya mencoba supaya bisa tertarik ke atas.
"Mama pasti yang paling terang itu, bintang kejora, atau mama pengen jadi bintang sirius? yang terangnya ngalahin kejora? Ai lagi liatin Mama, Mama bisa liat Ai kan?" Kata Naray sesekali menyesap eskrimnya.
"Mau mama bintang kejora atau sirius, Mama tetap yang paling terang buat Ai, mama selalu terang di sini, di hati Ai." Ada kaca-kaca yang membias membentuk selaput bening di matanya.
"Ai pengen di sana sama Mama, nemenin Mama jadi bintang, supaya Ai bisa jadi bintang kedua yang paling terang setelah Mama. Ma, Ai rindu." Naray berkedip sekali, membuat buliran kristal bening itu jatuh. Eskrim di genggamannya sudah mencair mengotori sebagian tangannya.
"Ai?" Suara berat seseorang membuat darah Naray berdesir.
"Papa?" Naray mendongak dan langsung menatap pada sumber suara. Naray mematung melihat siapa yang datang, tiba-tiba udara seakan pergi begitu saja, menyisakan hawa panas dan canggung di antara mereka. Serta perasaan kecewa juga senang datang secara bersamaan.
📖📖📖
Hayoloh sape yg dateng?
Tunggu di next part.
Vomment untuk part ini ya😘
KAMU SEDANG MEMBACA
NOVEL (Completed)
Fiksi Remaja'Yang terlihat kuat, meski memendam pahitnya kehidupan dan rapuh dalam segala hal. Dan yang menabur cinta, serta meleburkan luka yang menganga.' ▪️▪️▪️▪️ Pertemuan keduanya bisa dikatakan sangat buruk. Hanya sebuah satu cup eskrim begitu menimbulkan...