Worried

24 3 0
                                    

"Hari baru, semangat baru!" Ujar Johnson sambil tersenyum.
"Cap...tain?"
"Hero? Kenapa loe kayak terkejut gitu pas lihat gue disini?"
"Loe bukannya masih cuti? Masih ada dua minggu lagi 'kan?"
"Ya, nggak apa-apa. Gue udah baikan kok. Gue udah siap ngelakuin misi hari ini."
"Ta..ta..pi 'kan, luka loe belum sepenuhnya kering. Tar kalau ketusuk lagi ribet urusannya."

***

"Semoga Johnson suka sama menu hari ini."

Tok...tok...tok

Jenzie mengetuk pintu rumah Johnson berkali-kali. Namun, tak ada jawaban yang ia dapatkan.

"Johnson kemana sih? Masih sakit juga. Jangan-jangan, dia berangkat kerja lagi. Emang yah, itu anak mau banget gue bejek-bejek. Awas, kalau sampe ketemu gue hajar loe!"

***

"Bos, Johnson masih hidup!"
"Ya, terus kenapa?" Ujarnya yang sibuk dengan gadgetnya.
"Bos, Johnson harusnya mati. Ingat, dia yang sudah membuat loe kayak gini! Dia itu target kita! Dia itu..."
"Belum waktunya dia mati! Gue nggak akan biarin dia mati semudah itu. Gue akan membuat dia menderita, sampai-sampai dia memohon untuk hidup sama gue!" Ujarnya sambil tersenyum sinis.

***

"Nggak. Nggak. Gue nggak boleh nething. Stay positive."

Jenzie mengeluarkan ponsel dari kantong celananya. Ia mencari contact dan mengkliknya.

Satu kali...

Dua kali...

Tiga kali...

Namun, tak ada jawaban sama sekali. Kesabarannya mulai habis.

"Tuh 'kan, bener. Nggak dijawab-jawab. Awas aja kamu!"

***

"Tapi 'kan, bos..."
"Loe itu nggak perlu khawatir. Gue masih punya banyak rencana untuk menghancurkan Johnson. Gue masih jngin menyiksanya. Gue nggak mau lihat dia mati. Dengan mudah!"

***

"Santai aja kali. Gue udah biasa kayak gini."
"Santai. Iya, santai. Terus aja gitu!" Cerocosnya.

Johnson pun menengok kebelakang dan ia dapati tatapan tajam dari Jenzie.

"Jenzie?"

Jenzie langsung mempercepat langkahnya dan meraih telinga Johnson lalu memelintirnya.

"Arghh. Sakit. Lepasin!"
"Biarin aja. Ikut aku sekarang!"

Jenzie pun berjalan sambil memegang telinga Johnson. Johnson tak bisa melawan. Bagaikan seorang anak yang dijewer oleh ibunya karena kenakalannya.

Hero pun terkikik. Johnson yang melihat Hero menertawakannya langsung menatapnya dengan tatapan tajam. Hero langsung menghentikan tawanya.

"Zie, lepasin. Sakit."

Jenzie tak perduli. Ia semakin mengencangkan jewerannya. Johnson semakin mengaduh kesakitan.

"Arghh..., Zie..."

Jenzie pun melepaskan jewerannya.

"Daritadi kek. Sakit tahu."
"Sakit? Iya? Kenapa sih, kamu itu selalu buat semua orang khawatir? Luka kamu itu belum sembuh. Kalau kamu kenapa-napa gimana? Kamu itu..."
"Kamu khawatir sama aku?"
"Ya, gimana aku nggak khawatir? Kamu itu belum sembuh benar. Kalau kamu sampai kenapa-napa gimana? Aku nggak mau kalau kamu sampai kenapa-napa."

Johnson tersenyum.

"Itu yang buat aku semakin mencintaimu, Jenzie."

"Johnson! Orang ngomong bukannya di dengerin. Malah senyum."
"Iya-iya. Aku minta maaf. Aku janji, aku nggak akan kerja sebelum aku sembuh."
"Gitu, dong."
"Ya sudah, kita pulang."
"Ayo."

Johnson menggenggam tangan Jenzie. Awalnya Jenzie terkejut. Namun, secara perlahan Jenzie membalas genggaman tangan Johnson dan mengeratkannya.

***

Bersambung

More Important Than Anything  ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang