25. Guilty

147K 12.4K 151
                                    

Saat keluar dari toilet, Ajie masih bisa melihat Lily bergerak meninggalkan meja mereka. Ia mulai menjauh mendekati arah tangga menurun dekat pintu keluar. Mungkin gadis itu hanya ingin keluar sebentar. Saat itulah, seorang pelayan mendekatinya.

"Pak, Mbak yang tadi makan sama Bapak harus pergi duluan. Ada ... " beritahu pemuda pelayan itu dengan ramah.

"Aaww! Aduh!" Terdengar suara jeritan memecah di antara suara deburan ombak tepi pantai dan keramaian restoran, memotong percakapan itu.

Pelayan itu berhenti bicara. Sesaat Ajie dan pemuda itu saling memandang. Sama-sama melemparkan tatapan penuh tanda tanya. Lalu seperti di aba-aba, mereka berdua sama-sama menoleh ke arah asal suara itu. Jantung Ajie berdebar kencang, ketika menyadari suara itu berasal dari tempat Lily tadi terakhir terlihat. Tanpa peduli apapun lagi, Ajie berlari ke arah suara itu. Ingin memastikan itu bukan Lily. Pemuda pelayan itu, juga beberapa pelayan lain ikut menyusulnya dari belakang.

Kerumunan orang-orang membuat Ajie tak bisa melihat dan buru-buru ia menyibaknya. Satu persatu orang-orang itu minggir hingga Ajie bisa melihat siapa yang sedang jadi pusat perhatian kerumunan itu.

Gadis badung itu ada di sana. Terduduk dengan mata merah dan bibir bergetar menahan tangis, menatapnya memelas. Di sekelilingnya, orang-orang masih berdiri memandanginya. Ada yang menatap iba, ada yang merasa itu lucu dan senyum-senyum, bahkan ada beberapa yang merekam kejadian itu dengan ponsel sambil menutup mulutnya. Hanya dua pelayan perempuan dan satu tamu yang ikut bersimpuh di dekat Lily menanyakan keadaannya.

Ajie membalas tatapan Lily, "Bangun! Berdirilah!" perintah Ajie tenang dan dingin. Sebenarnya, Ajie kuatir, sangat kuatir. Tapi ia tak tahu harus bersikap bagaimana di tengah orang banyak begini. Ia tak terbiasa menghadapi situasi ini. Gadis ini juga manjanya luar biasa. Kalau ia memeluk dan memperlihatkan kekuatirannya, Lily pasti menangis meraung tanpa peduli kehadiran siapapun, seperti anak kecil. Akan lebih sulit menanganinya jika ia seperti itu.

Mendengar kata-katanya yang dingin, Lily ingin sekali berteriak pada Ajie. Meski Lily tahu, ini memang salahnya, tak seharusnya Ajie bersikap sedingin itu. Apa Lily begitu memalukan untuk sekedar dibantu untuk berdiri?

Maka Lily pun menunduk, bersiap untuk berdiri. Pelayan wanita di sebelahnya membantu. Tapi ketika ia mencoba menggerakkan mata kakinya, tubuhnya bergetar seperti tersetrum listrik dan ia menjerit. Sesuatu yang menyakitkan menyambar kakinya.

Ajie tak bisa menahan diri lagi. Peduli amat!

Ia berjongkok di sisi Lily. Menyelipkan tangan kanannya di belakang kedua kaki Lily, lalu tangan kirinya memeluk punggung gadis itu. Ia membopongnya, meski ia bisa merasakan tubuh Lily menegang saat ia mengangkatnya. Secara otomatis, tangan Lily bergerak melingkari leher Ajie agar keseimbangan mereka terjaga. Seorang pelayan wanita membantu membawakan tas Lily, mengikuti langkah Ajie.

Jantung Ajie seperti habis berlari maraton. Berdetak cepat sekali hingga terasa sedikit nyeri. Bukan nyeri biasa, tapi entah mengapa ini jauh lebih tidak enak. Kakinya berusaha berjalan secepat yang ia bisa. Ia tak mau Lily mendengar suara jantungnya yang sedang tak bisa dikendalikan.

Kepala Lily bersandar di dada Ajie, aroma shampoo samar tercium hidung Ajie. Wangi yang membuat Ajie mempererat cengkeramannya di punggung Lily. Tubuhnya begitu mungil hingga Ajie merasa seperti sedang menggendong anak kecil, bukan gadis dewasa. Disadari atau tidak oleh gadis itu, tangan Lily malah menempel di dada Ajie. Telapak tangan yang hangat semakin mempercepat detak jantung Ajie makin tak karuan.

Bisa-bisa aku terkena serangan jantung bersama gadis ini!

Ajie langsung membawa Lily ke mobilnya. Selesai mendudukkan Lily di kursi penumpang dan meletakkan tas milik Lily di pangkuan gadis itu, Ajie kembali masuk ke restoran. Tak lama, karena setelah itu ia keluar lagi, bersama seorang pelayan yang mengikutinya dari belakang. Entah apa yang mereka masukkan dalam bagasi mobil. Lily tak sempat memperhatikan. Ia terlalu sibuk mengendalikan rasa takutnya. Setelah selesai, Ajie masuk ke mobil.

Rupanya, handphone Lily tadi ikut terjatuh dan benda itu sekarang ada di tangan Ajie. Tepat saat Ajie masuk ke dalam mobil, handphone Lily berbunyi.

Lily ingin menjawabnya, tapi Ajie sudah menekan tombol 'terima' dan ia meletakkannya di telinganya sendiri.

Seseorang berbicara dari ujung telepon. Suara laki-laki. Sesaat hati Ajie memanas. Namun, setelah laki-laki itu selesai bicara, ia pun paham.

"Tidak perlu, Pak! Istri saya sudah saya jemput," jawab Ajie dengan nada tegas usai laki-laki itu bertanya. Matanya sempat melirik Lily. Sorot matanya seperti sedang melemparkan pisau terbang. "Baik! Saya cancel."

Selesai bicara, ia membuka aplikasi taksi online itu, menekan cancel pada pesanan Lily.

Kepala Ajie masih terasa panas hingga ke ubun-ubun, ia nyaris meledak. Dengan susah payah ia menekannya demi Lily. Tapi saat melihat gadis itu, kemarahannya makin menjadi-jadi.

Ia tidak marah pada Lily. Ia marah pada dirinya sendiri.

Ini semua kesalahannya. Semua karena keisengannya. Bagaimana bisa ia berpikir untuk mengerjai gadis badung tapi bodoh ini? Itu sebabnya gadis itu lari. Itu sebabnya ia jatuh. Mengingat ide gilanya itu, tanpa sadar Ajie memukul gagang kemudi keras-keras.

Lily terkejut. Bibirnya bergetar makin kuat. "Ma... maafin Lily, Pak!" desah Lily ketakutan.

Ajie menoleh, dan melihat wajah Lily yang ketakutan, ia tahu gadis itu pasti mengira ia marah padanya. Ajie menghela nafas panjang, berusaha melunturkan emosinya. Tanpa berkata apa-apa, Ajie menyalakan mesin mobil. Ia tak tahu harus bagaimana mengurangi emosinya ini. Ia harus mencari cara melepaskannya.

Tangannya pun memutar kemudi kuat-kuat, hingga suara mobil berdecit terdengar ketika meluncur keluar dari parkiran. Satpam yang sedang berdiri tak jauh, juga terlihat kaget.

Lily semakin mengkeret. Ajie jelas masih marah. Ia bahkan sengaja membelokkan mobil dengan mendadak seperti itu. Lily benar-benar ketakutan. Ia takut mobil ini mungkin menabrak orang tak bersalah.

"Pak, jangan marah lagi ya!" bisik Lily. Kali ini tangan gadis itu menekan tangan kiri Ajie, lembut. Ajie bisa merasakan kehangatan telapak tangan Lily menempel pada kulit lengannya, mengaliri kehangatan hingga ke hati Ajie.

Emosi Ajie seketika menurun. Hatinya melunak. Ia menoleh sekilas, dan wajah Lily tampak tenang. Ia terlihat lebih baik. Senyum tipis tapi takut-takut menghiasi wajah gadis itu.

"Maafin Lily ya, Pak!" bisik gadis itu sekali lagi. Sangat lembut. Ajie hanya diam saja.

Bukan kamu yang salah, Li. Tapi saya. Saya yang sengaja membawamu ke restoran itu. Sengaja membuatmu ketakutan harus membayar semua makanan itu. Sengaja ingin membuatmu memohon pada saya untuk menjadi dewa penolongmu untuk membayar tagihannya. Saya yang bodoh, mengira bisa membodohimu. Saya yang salah.

Tapi gengsi Ajie terlalu tinggi untuk bisa mengatakan sejujurnya. Ia tak bisa melakukannya saat ini. Tidak saat ini.

Tanpa sengaja, Ajie melirik tangan Lily yang masih menempel di tangannya. Ia terkesima saat Lily menarik tangannya lagi. Ada bercak darah tertinggal di situ. Tangan Lily juga terluka rupanya.

"Sh**! Kita ke rumah sakit sekarang!" makinya tanpa sadar.

Kaki Ajie menekan pedal gas dalam-dalam. Tak sadar ia merutuk, menyumpah dalam hati. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi.

Gadisnya terluka. Dan itu karena dirinya!

Di sebelahnya, Lily memegang safety belt kuat-kuat sambil berdoa. 

Ya Allah! Tolong terbangkan saja mobil ini! Biar langsung sampe, biar Lily gak takut begini... Kasihani Lily, ya Allah... Lily masih perawaaaan!

***

Boss Galak  & Sekretaris Badung [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang