2. Interview Bukan Interview

311K 21.1K 1.6K
                                    


"Dan sejak kapan kamu menikah? Kok saya gak ngerasa diundang?"

Otak Lily mendadak buntu. Orang ini siapa sih sebenarnya? Memangnya kalau Lily benar menikah, harus ngundang dia gitu? Yang ada berantakan semua kali.

Tapi bukan itu yang jadi masalah.

Waktu itu Lily masih semester 5 di Akademi Bahasa Asing, ia senang banget diterima bekerja oleh seorang ekspatriate warga negara Australia. Siapa yang tak girang bisa langsung mempraktekkan ilmu bahasanya yang sudah dilatih bertahun-tahun sejak SD? Apalagi ia diterima dengan mudah, bahkan sebelum menerima lembar ijazah yang masih dua tahun lagi. Cukup menggunakan transkrip nilai serta surat keterangan, dan test speaking langsung, ia dinyatakan diterima kerja.

Harusnya Lily mendengarkan Ayah saat itu.

"Kamu? Diterima? Begitu aja?" tanya Ayah heran, saat Lily memberitahunya.

"Iya, Yah! Hebat kan anakmu yang cantik jelita dan pinter ini!" kata Lily menyombong.

"Terus kamu kerjanya apa di situ?" tanya Ayah lagi, masih kelihatan tak percaya.

Lily tersenyum lebar, "Jadi sekretaris! Sekretaris boss bule!"

Ayah langsung melipat korannya. "Loh, kata Makmu kamu ngelamar jadi humas. Kok malah jadi sekretaris?"

"Tuh kan ketahuan! Ayah udah tahu kan kalo anakmu yang cantik jelita dan pinter ini lagi ngelamar kerja."

Ayah menghela napas. Ya iyalah dia peduli. Anak perempuannya kan hanya satu.

"Anak Ayah memang cantik jelita. Justru itu yang Papa kuatirkan. Kamu itu cantik tapi paling gampang dikadalin."

Bibir Lily mendadak maju tiga senti. Manyun. "Ih, Ayah, jahat banget sih sama anak sendiri! Lily itu kan udah lulus. Udah gede. Masak masih dibilang gitu? Memangnya Lily gak bisa bedain apa orang jahat sama orang baik?"

"Emang bener, kan? Coba kamu inget-inget, dulu di TK siapa yang hampir diculik? Trus waktu kamu sendirian nungguin di Ragunan sampe malam, gara-gara temenmu bohongin guru dan kamu... Terus waktu... "

Wajah Lily memucat, "Ayah!" pekiknya kesal.

Emak yang mendengar suara Lily, tergopoh-gopoh mendatangi mereka berdua. "Ada apa sih? Sampe jejeritan gitu, Li." Ia memandang suami dan putrinya bergantian.

"Ayah tuh, Mak!" adu Lily sambil beranjak masuk ke kamarnya. Ngambek.

Dengan kesal, Emak melemparkan tatapan tajam pada Ayah.

Harusnya Lily mendengarkan Ayah, karena firasat Ayah benar-benar terjadi.

Lily tak tahu kalau sejak awal ia memang sudah diincar oleh atasannya. Pria setengah baya yang sudah beristri dan punya tiga anak di Sydney itu memilihnya bukan karena kemampuannya, tapi karena tertarik pada kecantikan Lily.

Awalnya, ia hanya melemparkan lelucon-lelucon bernada vulgar pada Lily. Lama kelamaan, Lily mulai risih mendengarnya. Iya sih dalam bahasa asing yang tidak semua dimengerti oleh rekan-rekan kerja di kantor. Tapi kan Lily mengerti banget.

Lily berusaha bertahan, dan untungnya setiap beberapa minggu sekali pria itu harus kembali ke negaranya. Selama bekerja, ia belajar menjawab dan membalas semua lelucon atau pertanyaan bernada vulgar, juga kata-kata yang kadang melecehkannya itu dengan bahasa sesantun mungkin. Harapan Lily, si boss berperut buncit dengan bulu dan rambut di sekujur tubuhnya kecuali bagian kepala itu lama-lama mengerti.

Apalagi ia harus bertahan setidaknya satu atau dua tahun jika ingin menorehkan rekomendasi pekerja yang setia dalam curriculum vitae-nya, ditambah saat itu ia juga belum diwisuda. Banyak perusahaan tak mau menerima karyawan yang doyan berganti-ganti perusahaan dan tak punya kepastian dalam bentuk ijazah. Karena itu ia harus mengedepankan kesetiaan. Kesetiaan selalu nomor satu dibandingkan kemampuan kerja.

Boss Galak  & Sekretaris Badung [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang