31. Classmates

138K 11.3K 68
                                    

Setelah memarkir mobilnya di depan, Ajie menurunkan beberapa kotak makanan. Lily terkejut ketika melihat isinya. Itu pesanan dari restoran tempat mereka makan sebelumnya.

Ajie membawanya masuk. Langsung ke dapur. Entah apa yang dikatakan Ajie pada Emak, karena ia kemudian keluar bersama Emak yang mengikutinya dari belakang.

Wajah Emak sudah terlihat sumringah, sama seperti saat belum tahu kalau Ajie-lah si boss galak. Dengan ramah, Emak mengantar Ajie ke kamar Jaya, untuk menunaikan sholat Ashar dan Magrib sambil mengobrol. Sementara Emak membantu Lily mandi dan berpakaian.

Usai sholat Magrib. Jaya sudah berganti baju, dan sudah duduk lagi di sofa bersama Lily. Mereka melihat ke arah Ajie yang baru turun didampingi Emak. 

"Kalau tahu ini Ajie kita yang dulu, Jay. Duuuh... Emak pasti ke kantornya," kata Emak sembari menatap sayang ke arah Ajie. "Kamu sih, Mas. Gak pernah ke sini lagi sejak selesai kuliah," lanjutnya, mengusap-usap lengan Ajie.

Ajie tersenyum tipis. "Maaf Bu, saat itu Ajie benar-benar sangat sibuk. Baru diserahin Papa tanggung jawab ngurusin kantor saat itu."

Emak mengangguk-angguk. "Iya, Mas. Gak papa. Ya udah kalian ngobrol-ngobrol dulu. Emak mau siapin buat makan malam. Sempat kan makan di sini, Jie?"

Ajie hanya menjawab dengan anggukan. Tatapan mata Ajie berpindah ke arah Lily. Lily juga sedang menatapnya. Tanpa ekspresi untuk beberapa detik sebelum akhirnya gadis itu tersenyum. Entah apa yang sedang dipikirkannya setelah tahu kalau ibu dan kakaknya mengenal Ajie dengan baik.

"Hei! Sini Bro! Duduk sini! Masih banyak yang harus lo ceritain ke gue," kata Jaya sambil menepuk-nepuk sofa.

Anehnya, Lily tak berkata sepatah katapun. Gadis itu malah berdiri. "Bang! Pak! Lily bantuin Emak ya."

Gadis itu tak menunggu jawaban Jaya ataupun Ajie, ia langsung ngeluyur dengan kaki terpincang-pincang menuju dapur. Tak peduli dengan tatapan bingung Jaya yang mengira adiknya akan ikut bergabung membicarakan kenangan masa lalu itu. 

Ajie duduk.

"Dia benar-benar gak pernah inget lagi soal kejadian itu, Jay?" selidik Ajie.

Jaya mengangguk-angguk. "Enggak juga sih. Gue belum tinggal di sini waktu itu. Dari Emak, Lily sempat nanya-nanya soal elu gitu. Tapi entah kenapa, lama-lama ya berhenti juga. Setelah itu dia lupa sama sekali. Itu aja yang gue tahu. Mungkin karena dia kan emang masih kecil banget."

"Gue tahu dari Tiar, Lily emang gak inget. Tapi dia takut gelap, takut tempat sempit dan takut air. "

Jaya mengangkat bahu. "Dia sempat ngalamin kejadian lain. Dikerjai teman-temannya saat masih SD.  Jalan-jalan ke Ragunan, dan ditinggal oleh rombongan. Sampai malam, adik gue terkurung di toilet. Jadi dia trauma. Makanya gue tinggal bareng Emak dan Ayah, bukan paman-paman gue yang lain. Sekalian jagain dan nemenin Lily."

Ajie menegakkan punggungnya yang tadi bersandar di sofa. "Dia gak teriak? Nangis atau memberitahu orang?"

Jaya tersenyum getir. "Lo lupa kejadian saat penculikan itu? Entah itu di bawah alam sadarnya atau gimana, tiap dalam keadaan takut, dia malah diam dan duduk di pojokan. Menangis pun tidak."

Membayangkan seorang anak yang ketakutan tapi tak menangis membuat dada Ajie terasa sesak. Geram hati Ajie pada anak-anak yang melakukan itu pada Lily kecil.

"Setelah itu?" tanya Ajie ingin tahu.

"Setelah itu, adik gue harus terapi dan konsultasi cukup lama untuk mengurangi efek traumanya." Jaya memandang jauh. "Itu tahun-tahun paling melelahkan kami sekeluarga."

Boss Galak  & Sekretaris Badung [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang