Tengah malam, saat hari hampir berakhir, Lily tahu kalau saat itulah semuanya berakhir. Setelah berpisah dan berpamitan dengan Theo dan Jessica, usai perayaan kecil karena dimulainya kerjasama perusahaan dua negara yang diwakilkan oleh Theo dan Ajie, ia langsung masuk ke dalam mobil. Tatapannya hanya bertemu satu kali dengan Ajie. Setelah itu, sepanjang jalan ia memilih memandang keluar jendela mobil.
Ia memilih diam. Ajie juga sibuk membaca sesuatu dari IPad-nya. Hanya suara supir yang sesekali mendesah. Mungkin ia memancing agar dua penumpangnya mau bersuara. Tapi percuma. Hanya deru mobil yang terdengar.
Danu sudah lebih dulu pamit. Begitu dokumen selesai ditandatangani, ia langsung pamit dengan alasan mempersiapkan segala sesuatu di Jakarta.
"Saya duluan ya, Li. Kamu pulangnya besok sama Ajie," kata Danu sambil memasukkan semua dokumen ke dalam tas hitam yang ia bawa.
Mata Lily mulai meredup. Hampir menangis.
"Mas... kenapa pulang sekarang? Lily takut sama Pak Ajie," bisiknya sembari melirik Ajie yang sedang mengobrol dengan Theo.
Danu tertawa kecil. "Loh tadi itu apa? Kamu berani gitu megang-megang Ajie kok. Kenapa harus takut?"
"Iiih justru itu Mas. Lily takut entar Pak Ajie balesnya di hotel. Kan kalo ada Mas, Lily masih ada harapan diselamatkan."
Tawa Danu makin lebar. "Lagian kamu ini bandel banget sih. Udah tau tuh orang kurang sajen mulu, malah digodain."
Lily menghentakkan kakinya dengan bibir cemberut. "Maaas... "
Tangan Danu terangkat, menyentuh hidung Lily sambil tersenyum. "Lily yang manis, tenang aja! Kalo bos kamu yang pemarah itu aja bersedia dipegang-pegang gak senonoh sama kamu kayak tadi, itu pasti karena dia suka kali."
"Gak mungkin ih! Entar kalo pacarnya tahu, terus Pak Ajie marahnya ke Lily, terus Lily dikurung di hotel, terus Lily gak boleh pulang, terus nanti siapa yang tanggung jawab ke orangtua Lily?"
"Ya Ajie-lah, masa saya sih, Li? Hahaha!" Tawa Danu meledak seketika. Membuat semua orang menoleh pada mereka berdua. Mulut Lily makin maju. Kesal. Apalagi saat orang yang mereka bicarakan mulai mendekat. Dari wajahnya jelas sangat tidak bersahabat.
"Belum pergi juga?" tanya Ajie dingin.
Danu tertawa dan hanya mengangguk-angguk. Satu tepukan kecil di bahu Lily, sudah memupuskan semua harapan mendapatkan bantuan dari pria itu.
Sekarang mereka berdua dalam kesunyian yang sangat menyakitkan. Lily terlahir dari keluarga bawel yang sangat suka bercanda. Tak ada satupun keluarganya yang punya kebiasaan menahan diri tak bicara selama bermenit-menit seperti Ajie. Ngambek dalam kebiasaan keluarga mereka adalah melemparkan candaan bernada menyindir dan cenderung nyinyir. Jadi berdiam diri seperti ini sama saja seperti hukuman untuk Lily.
Ponsel! Ya itu jawaban dari kesunyian ini. Satu-satunya pelarian agar Lily tak merasa hidup seperti di neraka.
Lily merogoh tas tangannya dan mengambil ponsel. Kali ini Lily justru semakin menyesal.
Tak ada satupun notifikasi yang bisa ia periksa. Tidak juga dari grup WhatsApp, tidak ada dari media sosial yang biasanya rutin ia pasangi status. Tiga hari penuh bersama Ajie, membuatnya tak sempat berbagi apapun. Boro-boro ada notifikasi, sekedar like atas postingannya beberapa hari sebelumnya saat memberitahu soal kebahagiaannya mendapat pekerjaan baru juga hanya segelintir. Hanya Tiar, Bang Jay, dan Emak. Selebihnya tidak ada.
Sekarang Lily menyesal. Kenapa juga ia keluar dari grup keluarga Ayah dan keluarga Emak? Kenapa juga ia memilih mengganti nomor ponsel setelah lulus kuliah? Dan kembali menggantinya saat berhenti bekerja?
KAMU SEDANG MEMBACA
Boss Galak & Sekretaris Badung [TAMAT]
General FictionRank 1 - 04/03/2019 #Komedi #Sekretaris #KisahCinta #Badung #Chicklit #Romcom #Boss #Kantoran - 16/03/2019 #Gadis #Officelove "Sepertinya saya sudah kenal Anda sebelumnya," kata pria itu perlahan. Lily sibuk mengingat-ingat. Masak sih? Kok bisa-bi...