4.2 : : Radin Anggana

740 75 16
                                    

Akupun melangkah maju, padahal nyatanya aku hanya melarikan diri. Dari hal-hal yang menyebalkan dan terus hidup dalam kekelaman. (Mr.Children - Himawari)

After Rain : 10 Years Later

...

Radin memejamkan mata sejenak, mengembus napas panjang alu menelan ludah, seolah seperti menelan seluruh masalahnya bulat-bulat.

Mama. Perempuan paruh baya itu menelponnya, jujur saja entah mulai sejak kapan dirinya enggan memulai pembicaraan terlebih dahulu. Entah dengan sekeliling terlebih lagi dengan perempuan paruh baya itu.

"Radin, udah lama kamu enggak nelpon Mama. Jadi Mama yang telpon kamu," ucap perempuan paruh baya dari seberang. Suara halus nan lembut itu benar-benar milik Mama kini terdengar oleh Radin sekarang. Begitu asing? Ya sangat, dan jujur saja suara itu berhasil membuat dadanya sesak, seolah lupa bagaimana cara bernapas yang sesungguhnya.

"Mau sampai kapan kamu mau kayak anak kecil gini Radin? Ini Mama kamu, bukan orang asing. Sering-sering kamu hubungi Mama. Umur Mama makin tua, Mama enggak mau kamu menyesal selama-selamanya."

Mata Radin membulat, tanpa mengerjap, cowok itu terus memandangi pemandangan kota dari jendela kamar. Untuk kesekian kalinya ia menelan ludah, membasahi tenggorokkannya yang tercekat, berusaha mungkin ia ingin membuka suara namun nihil tetap saja tidak bisa.

"Sekarang kamu masih enggak mau bicara juga sama Mama juga?"

Sebelah sudut bibir Radin terangkat samar, menahan napas. Ya, bahkan untuk mengangkat bibir saja rasanya begitu berat. "Aku masih sibuk Ma, banyak kerjaan."

Ingin rasanya Radin menghilang sekarang. Sudah cukup gila dirinya menerima panggilan dari Dimas yang tiba-tiba dan sekarang? Mama? Perempuan itu menelpon hanya untuk menghakimi dirinya sekarang, perempuan itu seolah-olah mengatakan dirinyalah yang bersalah karena tidak pernah meluangkan waktu untuk keluarga. Selalu sibuk, tidak punya waktu, dan banyak pekerjaan. Bukankah Mama sendiri yang mengajarnya seperti itu terlebih dahulu?

Memprioritaskan pekerjaan dibandingkan keluarga bukan? Tak ada namanya keluarga, kasih sayang, perlindungan dan cinta. Sungguh sama sekali tidak ada, hal-hal seperti itu seolah hanya ada di imajinasi anak-anak semata.

"Kamu sibuk terus, lain kali buat alasan yang lebih kreatif biar Mama enggak bosan dengarinnya," gerutu perempuan itu.

Radin tersenyum samar, mengangguk. Meskipun ia tahu, tidak ada lagi alasan bodoh selain kata sibuk. Dirinya yang dulu benci mendengar kalimat itu pada akhirnya malah menggunakannya memggunakan kata itu. Yah... meskipun Radin akui dirinya masih memegang sebuah prinsip.

Tak ada orang yang benar-benar sibuk di dunia ini, jika saja mereka pandai mengatur waktu mungkin tak ada seseorang yang merasa tersisihkan, seakan terasa dibuang kehadirannya, dan bodohnya kata itu dapat menurun seperti sebuah silsilah keluarga. Terkadang Radin mengutuki, seandainya saja dirinya dapat lebih bijak dalam menghadapi diri, mungkin rasanya pasti tidak akan sesulit ini.

"Kapan kamu kunjungi Mama?"

"Nanti Ma, kalau ada waktu Radin kabarin," jawab Radin pelan, menyamarkan suaranya yang masih tercekat.

"Papa kamu juga nelpon Mama, tanya kabar kamu."

Papa. Perlahan Radin tersenyum samar, sekali lagi mengangguk. "Iya, nanti kapan-kapan Radin telpon Papa, ke rumah Papa juga."

Suara hembusan napas panjang terdengar dari seberang. Seperti mencoba melupakan percakapan sebelumnya. "Oh ya, kamu jangan lupa makan dengan benar, jaga kesehatan kamu, Mama enggak mau kamu..."

Jadi orang yang menyusahkan. Seakan-akan batin Radin berbicara, melengkapi kalimat itu dan untuk sekian kali menoreh luka di masa lalu. Dimana ia berusaha melupakan namun tetap saja teringat. Seakan-akan dirinya ingin lari begitu kuat, namun luka dengan sigap menangkapnya, memeluk tubuhnya begitu erat.

"Sakit," ucap perempuan itu lembut. Radin menggertak gigi geram, memandang arah luar dengan tatapan menerawang, sungguh Mama sepertinya benar-benar terlambat. Dirinya sudah cukup kebal dengan namanya tanpa perhatian dan kalimat perhatian sudah pasti tidak berefek lagi pada tubuhnya. Kalimat perhatian hanya seperti angin belaka di telinga Radin sekarang.

Belum lagi kalimat negatif dari orang tersayangnya itu berhasil membuatnya kebal, kalimat positif, negatif, tergantung bagaimana suana hatinya terlebih dahulu. Jika dirinya cukup berbaik hati mungkin kalimat itu akan ia cerna baik-baik, akan dirinya terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tapi jika tidak? Ya, seperti ini. Seperti hidup tapi mati. Dirinya hanya menampung setiap ucapan lalu mencoba mengingat ataupun membaca kembali meskipun pada akhirnya tiada efek yang ia rasakan pada tubuhnya.

Untuk hal-hal tertentu hati pria itu benar-benar tertutup rapat, dibangun dengan benteng yang cukup kuat hingga tak ada seorangpun yang dapat mengahncurkannya.

Dari seberang Mama tertawa pelan. "Jangan lupa cari jodoh."

"Jodoh untukku apa untuk Mama?" tanya Radin datar.

Hening sejenak, tak ada jaswaban dari seberang. Sebelah tangan Radin tergepal lalu memukul pelipisnya dengan kuat begitu menyadari kalimat yang terlontar dari mulutnya. "Ya untuk kamu. Mama kan masih sama keluarga yang terakhir kamu lihat. Kita semua aman, malah adik tiri kamu sebentar lagi mau masuk bangku SMA."

Radin tertawa datar, tanpa suara. "Nanti kucari," jawab Radin singkat, menutup jendela lalu tirainya sejenak, seraya melepaskan ikatan dasi yang membelit di lehernya. "Ma, aku mau mandi dulu. Aku baru pulang, baru selesai pertemuan bisnis. Aku tutup dulu teleponnya."

Telpon ditutup sepihak. Perlahan kedua alis tebal Radin terangkat, memiringkan tubuh, memerhatikan pamtulan tunuh dari kaca lemari di sampingnya. Tampak tubuh tegap itu terpantul di sana, terlihat begitu lelah. Mungkin sebagian kecil berasal dari fisik, tapi sisanya? Ya, sisanya dari segi batin. Batin yang sangat sulit dan masih saja terikat dengan masa lalu.

Radin yang begitu semangat, tampak ceria dan seolah bisa menghadapi segalanya tanpa ketakutan? Ya di masa lalu dirinya adalah seorang Radin yang dulu begitu terlindungi, merasakan kehidupan sebagai suatu hal yang positif dan dibandingkan dengan sekarang...

Dengan cepat Radin meraih handuk, setengah membanting pintu kamar mandi, lalu mengangkat kepala, membiarkan setiap bulir air dari shower membasahi wajahnya. Membiarkan butiran air itu jatuh seperti mencoba membersihkan seluruh masalah yang membebankannya sekarang.

Bodoh, bahkan untuk tersenyum saja butuh kekuatan yang cukup besar baginya.

___

Thank's for reading. I hope you enjoy it!

Ramein vote sama komen dong wkwkw.

Next : hari minggu.

AFTER RAIN : 10 YEARS LATER [☑]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang