Kita tidak akan pernah tahu bagaimana takdir akan mempertemukan dan memisahkan kita.
-After Rain : 10 Years Later-
...
Dalam seumur hidupnya, ada satu hal yang tidak pernah Radin mengerti.
Kenapa orang begitu senang ketika bertambah umur. Setahunya dengan bertambah umur, seseorang akan menjadi dewasa, semakin banyak beban yang dipikul, dan satu hal yang membuat Radin benci lagi adalah ketika ada banyak hal yang harus dilepaskan, suatu kenangan yang dicintai, tawa dan candaan yang pernah diukir, dan pertemuan dengan orang yang kita kasihi seakan lenyap begitu saja, entah bisa secara tiba-tiba, tanpa kabar, dan bisa pula secara perlahan-lahan namun meninggalkan luka yang cukup dalam.
Kata sibuk seolah semakin terasa dan seolah menjadi alasan yang tidak dapat terbantahkan.
Radin menghela napas panjang, pria dengan kemeja biru dan celana hitamnya itu membenarkan letak headset di telinga sejenak. Dilangkahkan kakinya dengan pelan begitu menyusuri setiap rak buku, sebelah tangannya ia masukkan ke saku celana memerhatikan setiap deretan buku tanpa mengerjap.
Lupakan, dirinya memang menyukai setiap bacaan sedari dulu. Dan setelah dewasa pula baginya bisa ke toko buku seperti anugerah tersendiri, apalagi mengingat jadwal pertemuan, rapat, dan segala macam yang menyita waktunya sungguh membuatnya lelah.
Contohnya saja, sebentar lagi dirijya akan pergi lagi. Ya, sebenarnya bukan tanpa alasan Radin pergi ke tempat ini, dirinya hanya mencoba memberi beberapa kado untuk anak dari pemilik perusahaan sebelah. Tapi demi kesenangannya sejenak berusaha mungkin ia menikmati tumpukan buku di sini, selain bisa menenangkan pikiran, disini juga tidak ada orang-orang yang memerhatikannya dengan heran, semua sibuk dengan dunia dan kebutuhannya.
Merasa tidak puas dengan lantunan lagu di headset-nya, setengah hati Radin meraih hp, memperbesar volumenya sejenak. Lagu DISH// - Thank's for loving me, mengalun dengan tenang di telinganya, cukup berhasil membuatnya rileks sekarang.
Pemilik sepatu hitam itu terhenti seketika. Radin mengerjapkan mata, memerhatikan setiap jajaran rak novel bestseller di hadapannya. Heran, dirinya juga tidak mengerti kenapa bisa menyusuri rak buku bagian sini, seharusnya ia membeli seperti buku motivasi, tentang hidup atau apapun yang lebih realistis, namun entah kenapa langkahnya seolah-olah menariknya ke tempat ini.
Novel? Ayolah, yang benar saja?
Sebelah alis Radin terangkat, bibir itu mengulum, berhasil memperlihatkan setitik tanda lahir yang berada di dagunya. Boy Under the Rain. Dahi Radin mengernyit, dengan cover buku yang terasa begitu melankolis dan sendu. Tidak tahan dengan rasa penasarannya, secepat mungkin Radin meraih buku itu, membolak balik memerhatikan setiap sisinya.
Rain a Rein.
Mulut yang sedari tadi bergerak seolah bernyanyi kecil kini membungkam seketika. Kepalanya ia tolehkan memerhatikan dinding kaca yang terhubung langsung ke arah luar. Langit tampak gelap, awan yang tadinya putih kini tampak kelabu, buliran air hujan yang tadinya seolah beberapa titik saja kini semakin deras.
Rain a Rein. Tubuh Radin mendingin seketika, tanpa sadar laki-laki itu mencengkram buku di tangannya dengan erat. Radin benar-benar ingat siapa pemilik nama ini. Bahkan penulis ini bukanlah orang asing yang pernah hadir di dalam hidupnya, wajahnya, senyumnya, serta tawa gadis itu seolah-olah tidak pernah membuatnya merasa kesepian.
Ya, Rain a Rein, sebulir hujan sekaligus payung peneduh yang selalu dapat menghangatkannya.
___
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER RAIN : 10 YEARS LATER [☑]
Fiction générale[SEQUEL BOY UNDER THE RAIN] "Love you no matter what." Rein, gadis penulis novel yang masih saja menaruh hatinya kepada Radin mungkin percaya pada kalimat itu. Masih ada cinta dan ketulusan di dunia ini. Hanya saja begitu berbeda dengan Radin, seaka...