Terkadang kamu harus menghadapi rasa takutmu. Bukan karena aku tidak mengerti kondisi dirimu yang sekarang, justru karena aku mengerti, aku ingin kamu menghadapinya. Aku ingin menjadi kamu kembali seperti semula, seseorang ceria, ramah, seperti yang aku kenal.
Berhenti menutup diri, berhenti membentengi dirimu begitu kuat, terbukalah sebentar saja. Meskipun terasa sulit tapi aku ada di sini, merangkulmu, tersenyum padamu. Jika memang masih sulit untukmu percaya, mungkin hanya ada satu yang ingin aku katakan...
Terkadang ketakutan itu hanya berada di imajinasimu, berada di alam bawah sadar yang mengikat tubuhmu. Padahal bisa jadi realitanya tidak seburuk itu.
-After Rain : 10 Years Later
...
Sifat manusia itu sama seperti kanvas. Ya, terlihat putih seolah tidak tersentuh. Namun jika tidak ada yang menyentuh, mungkin hanya akan menjadi sebuah kanvas yang tidak akan pernah dipandang, menjadi sebuah kanvas yang begitu membosankan dan pada akhirnya akan lapuk dan rusak dengan sendirinya.
Untuk membuatnya hidup mungkin kita membutuhkan warna, melukisnya di atas sana, memberinya sebuah jiwa, sebagai bentuk ekspresi entah itu lukisan yang berwarna terang dan terkesan menyenangkan, atau memberi warna gelap yang yang terkesan dengan sebuah kesedihan.
Mungkin dalam menggoreskannya tidak selamanya kita membuatnya dengan warna cerah, mungkin sedikit dengan kegelapan untuk menekankan gradasinya. Begitu juga dengan gambar yang begitu gelap, tidak semuanya harus berwarna hitam bukan? Adakalanya kita harus memberikan sedkikit pencahayaan, agar nuansa sendu itu begitu terasa.
Semuanya harus seimbang, terang dan gelap, kesenangan dan kesedihan. Tidak ada yang boleh mendominasi salah satunya. Jika kita memilih untuk mendominasi salah satunya maka kita akan kehilangan arti hidup yang sesungguhnya.
"Kak Rein hari ini enggak datang ya kak?"
Dhei yang sedari tadi menopangkan kepalanya ke atas kepala Freysha hanya bisa mengangkat kedua bahu. Bola mata cokelat itu tak henti memerhatikan sebuah lukisan yang dibuat adiknya sekarang. Waktu segang, sudah biasa bagi dirinya maupun Freysha meluangkan waktu seperti ini. Menghiburkan diri dengan satu hal yang disebut seni.
Entah mendengarkan lagu, bercerita tentang novel yang baru saja dibaca, dan melukis seperti ini.
Freysha yang duduk di tempat tidur dengan lukisan di tangannya itu menoleh ke arah kanan, memerhatikan Dhei di sampingnya. "Masih lemas kak?"
"Sedikit," gumam Dhei, tersenyum samar, tampak pucat.
"Sebentar ya," Freysha turun dari tempat tidur, diletakkannya lukisan itu dipangkuan Dhei sejenak lalu mengambil air gula yang berada di meja, diletakkannya seperempat ke gelas lalu menyodorkannya ke arah Dhei. "Minum kak."
Dhei mengangguk, meneguknya dengan pelan.
Freysha menggumam sejenak, memerhatikan satu kantong besar yang berisi berbagai macam makanan di dalam sana. Mulai dari buah, sekotak susu, dan berbagai macam makanan ringan. "Kakak mau biskuit?"
"Mau, satu," ucap Dhei, tak lama meraih sepetak biskuit itu dari tangan adiknya. Lalu mengambil segelas air mineral begitu usai mengunyahnya. "Thank's Frey."
Belum sempat Freysha membalas ucapan Dhei. Suara ketukan pintu terdengar. Perawat? Freysha mengernyit begitu juga Dhei, sepertinya bukan. Biasanya jika perawat itu masuk mungkin hanya mengetuk pintu sejenak lalu membukanya tapi ini...
Penasaran, Freysha melangkah, membuka pintu dengan pelan, mendadak saja anak itu mundur selangkah begitu melihat kedatangan seseorang.
Dhei mengernyit. "Siapa Frey?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER RAIN : 10 YEARS LATER [☑]
General Fiction[SEQUEL BOY UNDER THE RAIN] "Love you no matter what." Rein, gadis penulis novel yang masih saja menaruh hatinya kepada Radin mungkin percaya pada kalimat itu. Masih ada cinta dan ketulusan di dunia ini. Hanya saja begitu berbeda dengan Radin, seaka...