4 : : Radin Anggana

746 75 8
                                    

Akupun melangkah maju, padahal nyatanya aku hanya melarikan diri. Dari hal-hal yang menyebalkan dan terus hidup dalam kekelaman. (Mr.Children - Himawari)

After Rain : 10 Years Later

...

Terkadang manusia hanya bisa melihat tanpa bisa merasakan perjuangannya. Terkadang manusia hanya bisa berbicara yang tidak-tidak tanpa melihat fakta sedalam-dalamnya. Seperti ingin mengenal namun terlalu segan untuk mendekat. Dan anehnya, dengan cara itu manusia seolah-olah merasa terlalu dekat, merasa paling hebat sehingga bebas mengecap seseorang seperti apa yang ada di pikirannya.

Radin cowok dengan kemeja cokelat melekat di badan itu turun dari mobil. Dilonggarkan dasi cokelat pekat yang menggantung di kerah bajunya seraya memandang rumah bertingkat dua sebagai tempat tinggalnya.

Belum sempat dirinya membuka pintu rumah, nada dering hp tak henti berbunyi dari saku celana. Terus berdering tanpa ampun dan seolah tanpa memberinya waktu untuk beristirahat dari segala jenis pikiran dan suasana hatinya.

Radin berdecak, meronggoh hp, seraya membuka pintu rumah dengan lebar. Tanpa basa-basi lagi ia hanya menghidup lampu halaman rumah, lalu beranjak naik menuju tingkat 2, ruang kamar. Perlahan kedua alis tebal itu nyaris menyatu begitu memerhatikan nama seseorang di layar hp-nya.

DImas Rayana. Tubuh Radin seakan kaku seketika, ditahannya napas sebelum menjawab panggilan dari seberang, agar terdengar seperti biasa.

"Selamat malam."

Tak ada jawaban dari seberang, dapat Radin dengar suara tegukkan ludah begitu jelas. Radin berani bertaruh, mungkin orang di seberang sana sama sepertinya, tengah berusaha menghilangkan rasa dingin dan canggung. Jika orang di seberang sana berusaha menghilangkan rasa canggung itu dengan membuka obrolan maka Radin sebaliknya.

Dirinya malah ingin menutup pembicaraan ingin dengan cepat, membersihkan tubuh dari keringat ini sejenak lalu tidur menuju alam mimpi. Meskipun Radin tidak sepenuhnya yakin ia dapat tidur dengan nyenyak malam ini.

"Din, lo lagi sibuk?" tanya Dimas.

Radin menghidupkan lampu seraya menyibakkan tirai kamar, berusaha melihat pemandangan kota yang telah diselimuti langit malam. Tampak begitu indah dan sunyi, namun entah kenapa terasa begitu menyakitkan disaat semuanya terasa sepi. Radin tersenyum sinis. "Seperti biasa."

"Din, gini, lo tahukan gue enggak bisa basa basi?"

Dimas tidak bisa basa basi, tentu saja Radin mengetahuinya, bahkan ia masih ingat apa saja kebiasaan sahabat-sahabatnya. Kelebihan, kelemahan orang itu begitu jelas terekam di ingatan Radin hingga sekarang. Bodohnya, dulu ketika ia menginginkan kehadiran orang-orang itu, semua seakan meninggalkannya, meminta untuk dilupakan. Dan sekarang?

Ketika ia hampir bisa melupakan, kenapa orang-orang ini datang kembali? Semuanya seakan meminta diingatkan dan tidak ingin dilupakan. Bodoh sekali.

Radin menggertak geram, memasukkan sebelah tangan ke dalam saku celana seraya menikmati hembusan angin malam yang berhembus kencang memasuki jendela kamar. "Enggak," jawab Radin akhirnya.

"Gue boleh pinjam uang sama lo? Nanti gue kembalikan, gue butuh buat cadangan, buat daftar sekolah anak."

Radin terdiam seketika. Entah kenapa seakan ada yang menghantam bagian punggungnya, terasa begitu berat hingga rasanya ia ingin berteriak, melepaskan semua pikiran gila yang berkumpul di dalam kepalanya.

Dimas bukan lagi sahabat baginya. Ketika seseorang sudah beranjak dewasa, maka lebih baik abaikan saja kata sahabat, ketika masih berharap pada satu kata itu mungkin yang di dapatkan hanyalah kesakitan. Karena pada dasarnya, ketika dewasa seseorang dipenuhi banyak kegiatan, tak ada waktu bersenang-senang.

Jangankan untuk berkumpul bersama sahabat, berkumpul dengan keluarga saja rasanya mustahil.

Entah ini yang dinamakan anugerah atau sebaliknya. Radin tidak pernah tahu. Karena yang ia tahu hanyalah...

Disaat semua orang sibuk, berkata tidak punya banyak waktu, maka dirinya hanyalah orang yang berpuura-pura sibuk. Dan kata sibuk yang ia keluarkan dari mulutnya mungkin hanyalah sebuah lontaran untuk menenangkan bahwa dirinya tidak pernah lagi merasakan kesepian.

"Hari senin ketemu di ruangan saya," jawab Radin formal, secepat mungkin memutuskan percakapan. Seperti biasa, pikirannya yang sesungguhnya sudah cukup kacau kini semakin kacau. Bukan kacau karena urusan bisnis. Percayalah dirinya seolah menjadi sebaliknya jika berada di dalam dunia bisnis, dirinya akan mengabaikan pikiran negatif sementara waktu, terlihat begitu optimis dan begitu maju.

Tapi jika masalah seperti ini? Apabila berbicara tentang urusan diri?

Perlahan Radin membalikkan tubuh, menyeret kursi santainya sejenak lalu menghempaskan tubuh, memerhatikan pemandangan luar serta berusaha menghilangkan hal yang berkecamuk di dalam otaknya.

Sejenak ia menelan ludah, memejamkan mata, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya berusaha menghilangkan suara napas terengahnya.

Sungguh dirinya benar-benar jauh dari kata optimis.

Apalagi di nuansa malam dan setiap sudut rumah yang semakin terasa sepi. Sungguh seperti hidup dalam kesendirian. Hidup seperti dijauhi orang-orang meskipun pada nyatanya Radin cukup sadar, dirinyalah yang menjauh dari orang-orang itu. Tak ada kata orang terdekat dalam hidupnya, sahabat, keluarga, benar-benar ia lenyapkan kata-kata itu dari otaknya.

JIka ada teman pun paling hanya sekedar urusan pekerjaan. Dan apabila di hadapkan dengan sebuah permasalahan berusaha mungkin dirinya seorang Radin Anggana menyelesaikan masalah itu sendirian. Marah, bingung, lelah? Sudah biasa dan saking biasanya dapat ia hadapi dengan wajah tenang tanpa beban.

Drrtt.... drrtt...

Lagi-lagi hp bergetar dengan wajah malas Radin meraihnya, sontak saja matanya membulat memerhatikan nama di layar sana.

Mama. Perempuan itu menelpon. Sungguh, sebuah panggilan yang benar-benar tidak pernah Radin harapkan hingga sekarang.

___

Bagian 4.2 aku update nanti malam ya...

Vote vote wkwkw. Thank's for reading i hope you enjoy it.

AFTER RAIN : 10 YEARS LATER [☑]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang