19 : : SELFISH

568 57 16
                                    

Jika melepaskan ego dapat membuatmu menjadi lebih baik, kenapa kamu tidak melakukannya sedari tadi?

-After Rain :10 Years Later

...

Adakalanya menjadi egois dapat menyelamatkan diri, seperti kita lebih menjadi tahu apa potensi diri, selalu konsisten dengan apa yang ingin diraih dan tentunya saja tidak terombang-ambing dibawa oleh hitam putihnya hidup ini.

Akan tetapi jika rasa egois itu sudah menyakiti diri dan orang lain mungkin adakalanya kita harus berpikir kembali, mengurangi rasa ego itu sedikit demi sedikit agar dapat menjalani kehidupan yang jauh lebih baik lagi.

Suara gumaman terdengar begitu kuat. Dari dalam ruangan bernuansa putih sana tampak Rein menunduk, sesekali mengusap dagu dengan jari telunjuk, berpikir.

Bukan hanya Rein, mungkin Dimas yang berada di samping gadis itu juga ikut berpikir. Begitu keras.

"Lo berdua ngapain hah?" tanya Dhei sinis, cowok yang selama satu jam tadi menahan rasa penasarannya akhirnya bersuara. Setelah lelah memerhatikan kedua sahabat itu bergumam tak tentu arah.

"Berpikir," jawab Dimas seadanya. Lagi-lagi disetujui oleh Rein, gadis itu mengangguk.

"Ya kali ngeden," gerutu Dhei, tubuh yang tadinya dengan posisi duduk kini mulai ia baringkan, menarik selimut hingga mencapai batas dadanya. "Bodo ah, gue mau tidur lagi."

Dimas mengedarkan pandangan sejenak ke arah jendela. Langit tampak begitu cerah, awan putihnya kini menggumpal seperti serabut kapas tampak begitu indah.

Beruntunglah hari ini dirinya tengah mendapatkan kesempatan libur dan beruntungnya lagi anak dan istrinya itu benar-benar memahami kondisinya sekarang. "Kebo amat lo, heran gue."

"Gue pernah baca, katanya tidur bisa obatin rasa sakit. Sakit apa aja meskipun cuma sebentar," elak Dhei, memejamkan mata sebentar.

"Kalau sakit karena patah hati bisa tidak?" tanya Rein setengah bercanda. Tentu saja disambut dengan anggukkan oleh Dhei, laki-laki itu tampak begitu percaya diri, seolah benar-benar yakin dengan apa yang ia ketahui.

"Bisa, tapi cuma sebentar, entar kalau lo bangun rasa sakitnya muncul lagi."

Sebelah alis Dimas terangkat. "Udah pengalaman lo ya?"

"Pengen tahu aja lo backpack Dora," sembur Dhei.

"Gila, masih dibawa-bawa," gumam Dimas, mengerjap mata setengah tidak percaya. Secepat mungkin ia mendesis begitu memerhatikan pandangan meremehkan dari Dhei. "Diam lo, Ferret."

Mendadak ketiga gelak tawa memenuhi ruangan putih itu.

"Lo berdua mikirin apa? Bagi-bagi ke gue napa? Meskipun kayak gini, instuisi gue masih berjalan dengan baik," ucap Dhei.

Rein menoleh, masih saja berpikir. "Kita lagi mikir gimana caranya supaya Radin ke sini."

"Radin?" Dhei mengernyit, mendadak saja mata yang tampak mengantuk itu kini terlihat cerah. Kembali mencoba duduk. Nihil, laki-laki itu  mengumpat begitu selang infus membeliti tangannya.

"Lo berdua ketemu Radin?"

Rein mengangguk. Dimas menggumam. "Dia bos gue."

"Serius?!" Mata bulat Dhei mengerjap lalu tersenyum cerah. Sungguh, kadang baik Rein maupun Dimas meragukan bahwa Dhei sebenarnya hanyalah anak belasan tahun yang hidup di dalam tubuh orang dewasa. "Gila! Hebat lo berdua bisa ketemu!"

Hebat? Jujur, kadang Dimas tidak pernah mengerti jalan pikiran Dhei. Awalnya ia mengira Dhei akan mengatakan Radin hebat karena laki-laki itu telah menjadi atasannya. Ya... mungkin kata lainnya seperti jauh lebih sukses, dengan waktu yang lumayan cepat tentunya.

AFTER RAIN : 10 YEARS LATER [☑]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang