5 : : LIFE AND DIE

791 70 11
                                    

Ketika ku hampa biasanya ku pergi tuk memandangi langit  (dish// - thank's for loving me)

After Rain : 10 Years Later 

...

Adakalanya kita harus beristirahat sejenak, melihat, dan menikmati apa yang ada. Adakalanya kita harus membiarkan Tuhan mengambil kendali hidup kita sejenak sedangkan kita hanya menerimanya. Sebab jika dipaksakan, mungkin akan menyakiti seluruhnya, mulai dari lingkungan, keluarga maupun diri sendiri.

Begitu juga Dhei. 

Cowok bermata bulat itu menerawang, memerhatikan langit malam melalui jendela kaca di ruang istirahatnya. Ditahannya napas sejenak seraya mencengkram pegangan kursi rodanya dengan erat.

Sunyi. Sungguh, ruangan bernuansa putih ini sekarang benar-benar sepi. Tidak ada Freysha, begitu juga Papa ataupun Mama. 

Dan jujur saja, ini benar-benar terasa  menakutkan. 

Kematian. Dhei sudah tahu setiap orang pasti akan mengalami hal itu. Setiap manusia pasti akan mengalaminya tanpa terkecuali. Tapi... 

Dhei berdecak, diusapnya kedua mata dengan lengannya sejenak, berhasil membuat selang infus yang menusuk di punggung tangan itu bergoyang. Bodoh, kenapa dirinya masih ketakutan? Kenapa dirinya masih belum siap? dan seperti ada rasa menyerah, ada rasa ingin membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Ya... meskipun disisi lain masih ada hal yang ingin ia raih, sedikit saja.

Dhei mengigit bibir bawah, mengepal kedua tangan dengan erat seraya mengerjapkan mata, menghalangi cairan bening yang menghalangi pandangannya. Inilah yang ia benci ketika usai menjalani pemeriksaan kesehatan, tak ada hal baik yang pernah ia dapatkan mulai dari awal hingga sekarang. 

Dirinya hanya bisa mengecewakan, seberusaha apapun dirinya untuk kuat, bertahan, namun tetap saja penyakit itu tak pernah berbaik hati kepadanya, terus menyebar, dan semakin brutal menyerang salah satu organ tubuhnya. 

Setidaknya itu yang bisa ia simpulkan ketika tidak sengaja ingin keluar dari ruangan. Entah untuk berapa kalinya, dokter serta kedua orangtuanya itu tengah berbicara serius di depan kamar. Dan jangan lupa pula dengan hasil tes yang selalu berada digenggaman Papa maupun Mama, pandangan kedua orangtuanya itu seakan meminta penjelasan lebih dalam dan nyaris tidak percaya.

Meskipun dalam seumur hidupnya Dhei tak pernah melihat hasil tes itu secara langsung, namun setidaknya ia masih bisa merasakan, dirinya masih bisa mendengar pembicaraan itu diam-diam, dan melihat ekspresi kedua orang tua itu dari kaca kecil pintu. 

Wajah sedih Papa bahkan Mama yang tiba-tiba saja menangis di samping Papa sungguh membuat dirinya semakin benci dengan tubuh ini. 

Ketika lahir dirinya sudah cukup merepotkan kedua orang itu, bahkan mau pergi pun kenapa dirinya juga...

Suara deritan pintu berbunyi pelan, dari belakang Dhei tampak cewek belasan tahun itu masuk ke dalam ruangan. Freysha. Ya, tanpa melihatnya sebenarnya Dhei sudah tahu siapa sosok itu.

Menyebalkan. Dhei menunduk, memejamkan mata seraya memijit batang hidung dengan sebelah tangannya. Kehadiran Freysha untuk saat ini benar-benar tidak tepat, dirinya sedang tidak bisa tertawa maupun bercanda dengan gadis itu. Dirinya hanya ingin diam dan larut dalam pikirannya. 

"Frey."

Freysha yang tadinya berjalan mengendap, mencoba untuk mengejutkan abangnya itu kini mengembus napas kecewa, aksi gila malamnya ini sudah jelas gagal tanpa perkiraan. "Keluar dulu gih, gue lagi enggak minat main. Bantu tenangin Papa Mama, gue lagi enggak bisa."

AFTER RAIN : 10 YEARS LATER [☑]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang