Setelah aku mengangkat wajahku
Aku menemukan sesuatu yang bersinar
Sesuatu bersinar di tempat tinggi itu
Sebuah rusa legenda seperti meraih udara ini adalah ceritaku. (EXO - The Stars)
-After Rain : 10 Years Later
...
Hal yang paling menyebalkan ketika hidup di masa muda adalah kekhawatiran akan masa depan? Takut ditinggal oleh orang yang dikasihi? dan takut menjadi sendiri dan sepi? Percayalah! Tiga hal itu tidak berlaku bagi seorang Freysha Pradipta sekarang!
Anak berumur belasan tahun dengan seragam putih birunya itu tersenyum, disandarkannya punggung ke sandaran kursi sejenak seraya memandangi langit biru lalu melirik kendaraan yang berlalu lalang seperti ingin berbalapan dengan bus ditumpanginya dengan jenuh.
Bosan dengan kegiatannya, anak perempuan itu meronggoh handphone di saku tasnya seraya merekam pemandangan sekeliling melalui hp di tangannya. Mulai dari pemandangan luar bus hingga ke dalam bus.
Tampak sesak dan dipenuhi dengan para penumpang? Tidak juga, bus kota sudah diatur kapasitas penumpangnya sehingga tidak ada desak-desakan dan mencium beragam bau keringat para penumpang yang baru saja usai beraktivitas.
Sontak gerakan tangannya terhenti seketika, gadis itu memiringkan kepala dengan heran lalu tersenyum memerhatikan dua anak perempuan yang tengah berbincang sesekali tertawa.
Mendadak saja, untuk kesekian kali rasa senang meluap memenuhi rongga dadanya. Resmi sudah hari ini dirinya lulus dari Sekolah Menengah Pertama, seragam putih biru dengan kenangan membosankan dan menyebalkan itu kini sudah usai dilaluinya, dan kabar bagusnya lagi adalah setelah ini dirinya akan seperti dua gadis itu. Ya, mengenakan seragam putih abu-abu.
Freysha tersenyum puas, merekam suasana bus kembali. Orang-orang dewasa selalu mengatakan masa putih abu-abu adalah masa yang paling tidak terlupakan, masa yang akan terus terkenang, dan seandainya diberi masa untuk mengulang maka dapat dipastikan banyak orang yang ingin mengulangnya.
Mungkin di antara seluruh jumlah populasi manusia di bumi ini, maka yang tidak ingin menulangnya hanyalah seperempat penduduk saja.
Ya, setidaknya itu jawaban yang ia dapatkan dari abangnya, untuk yang kesekian kalinya.
Bus melaju semakin kencang. Sontak Freysha membulatkan mata, memasukkan hp ke dalam saku hpnya dengan cepat. "Om! Stop om!"
Bus perlahan berhenti berhasil membuat pintu otomatis terbuka. Freysha berdecak, secepat mungkin turun dari kendaraan besar beroda empat tersebut. Benar-benar menyebalkan, lagi-lagi dirinya harus berjalan kaki untuk sampai ke tempat tujuannya.
🌂🌂🌂
Dan sampai!
Freysha tersenyum puas, dengan sedikit berteriak anak perempuan itu mengepalkan tangan lalu mendorong pintu kaca dengan semangat. Bukan rumah apalagi sekolah, ini adalah sebuah kafe dengan aroma kopi di dalamnya. Suasana bangunan berwarna cokelat itu kini tampak begitu ramai, mulai dari anak sekolah seperti dirinya hingga orang-orang dewasa yang tidak dapat ia perkirakan umurnya.
Bercengkrama, ada yang menyesap secangkir kopi seraya menghadap laptop di depannya, dan ada pula yang tampak berisik ketika berkumpul dan tertawa bersama keluarga besarnya.
Perlahan sebelah sudut bibir Freysha terangkat samar, namun dengan cepat pula ia mengangkat kepala lalu menuju meja pesan dan kasir yang berada di dalam satu wilayah.
Bibir bawah Freysha terangkat, kedua mata bulatnya mengerjap memerhatikan tulisan menu yang cukup besar bergantung di dinding kasir. "Cappuchino tiga, kentang goreng dua, sama nasi plus capcay empat," pesan Ferysha seraya siap-siap mengeluarkan uang puluh ribuan di dompetnya.
Jangan berpikiran yang aneh-aneh terhadap dirinya, hidup dalam hedonisme? lalu menerapkan gaya konsumerisme? Salah, sepenuhnya salah dan ditepis oleh Freysha, sungguh dirinya bukan orang yang mempunyai gaya hidup seperti itu.
Dan ayolah! Dirinya juga cukup sadar diri untuk tidak meminta uang saku yang banyak kepada orangtuanya, lagipula makanan dan minuman ini bukan hanya untuk dirinya sendiri.
Mana mungkin seorang gadis SMP seperti dirinya ini bisa menghabiskan makanan sebanyak itu sendiri. Bisa-bisa yang ada malah terbuang dan mubazir uang.
Seperti dugaan Freysha, petugas kasir itu memerhatikan dengan heran. Begitu juga dengan si pelayan yang membantu membungkuskan makanan itu tercengang, menatap dengan sorot mata setengah tidak percaya.
Total pesanan disebutkan, Freysha menyodorkan uang, bukan melepaskan genggamannya dari lembaran kertas itu melainkan malah semakin menggenggamnya erat. Kedua matanya yang tampak membulat itu kini semakin membulat, buku-buku jari lentik itu terasa dingin seketika, mulutnya berusaha untuk bersuara namun nihil yang ada malah sebaliknya.
"Kenapa?" tanya pelayan itu dengan heran.
Perlahan jari telunjuk Freysha terangkat, tampak bergetar menunjuk ke dalam ruangan kecil, suatu ruangan di dalam balik meja kasir. Dapur?
Ya! Freysha benar-benar yakin ruangan itu merupakan dapur di kafe ini, dengan keramik putih di setiap dindingnya, belum lagi bunyi gesekan antara sendok besi dan kuali yang tak asing di telinganya.
Dari kaca sebagai batas ruangan antara dapur dan meja kasir itu kini ia melihat salah satu koki menyemprotkan sedikit air melaui botol plastik ke dalam masakannya.
Nihil, tubuh Freysa semakin bergetar, secepat mungkin gadis itu membungkam mulutnya seketika. Api yang ia lihat di kompor sudah membesar kini semakin membesar, berwarna merah, dan dirinya berani bertaruh pasti sebentar lagi api itu akan mencapai langit-langit dapur.
"Kebakaran! Kebakaran!"
Refleks, Freysha berteriak. Mendengar teriakan dari meja kasir, kontan berhasil membuat seluruh pelanggan menoleh, orang-orang itu mengernyit. Freysha mengangguk yakin sambil menunjuk arah dapur, api semakin meninggi sampai-sampai koki yang sedang memasak itu kini mundur beberapa langkah, terkejut.
Suasana kafe riuh seketika, beberapa teriakan dari para wanita dan remaja begitu kuat. Bukan hanya pelanggan, tapi begitu juga dengan para pekerja.
Bunyi geseran meja dan kursi terdengar begitu jelas, bahkan dari dapur sana Freysha dapat mendengar bunyi beberapa barang pecah dan kini di tambah dengan alarm kebakaran yang begitu nyaring.
Orang-orang telah keluar dari kafe, sementara Freysha? Ya, gadis itu masih berada di dalam ruangan, kedua matanya menyipit tajam diikuti pula dengan ujung alis tebalnya yang tampak menurun. Secepat mungkin gadis itu meronggoh saku rok, mengambil hp-nya.
Ini saat-saat yang tepat baginya, saat terjadi bencana, kecelakaan, dan fenomena alam, dirinya selalu siap sedia untuk turun ke lapangan, menyalurkan kemampuannya.
Ya, gadis berumur belasan tahun itu kini mengangkat sebelah tangan seraya mengarahkan lensa kamera ke wajahnya.
"Telah terjadi kebakran di jal..."
🌂🌂🌂
Lanjut? Part 1.2?
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER RAIN : 10 YEARS LATER [☑]
Ficção Geral[SEQUEL BOY UNDER THE RAIN] "Love you no matter what." Rein, gadis penulis novel yang masih saja menaruh hatinya kepada Radin mungkin percaya pada kalimat itu. Masih ada cinta dan ketulusan di dunia ini. Hanya saja begitu berbeda dengan Radin, seaka...