9.2 : : MEET HIM

569 60 1
                                    

Jujur, jika ditanya seperti apa perasaannya sekarang, maka Rein akan menjawab tidak tahu.

Ya, seperti bercampur aduk, di sisi lain dirinya senang, senang dapat bertemu Dhei kembali, setelah sekian lama menghilang tanpa kabar, dan pergi tiba-tiba. Namun di sisi lain, seperti kebalikannya, melihat keadaan Dhei seperti ini maka mau tidak mau ia harus menyembunyikan rasa cemas dan sedihnya itu dalam waktu yang bersamaan. 

Rein yang duduk di kursi plastik itu, meraih satu paket komik lalu menyodorkannya ke arah Dhei. Ya, cowok itu sudah bersikap normal, atau mungkin berusaha menghilangkan rasa negatif di tubuhnya? Entahlah, namun yang pasti tidak seperti tadi, terasa lemah, dan seolah kehilangan segalanya. Selama mengenal Dhei, baru kali inilah Rein melihat anak laki-laki itu seperti tadi. 

Rein menggumam berusaha mencari topik pembicaraan. "Sakit Dhei?"

Pertanyaan bodoh, hanya itu yang terlintas di pikiran Dhei sekarang, namun entah kenapa ia ingin menjawabnya juga. 

"Apa sih yang enggak sakit? Selama lo hidup pasti terasa sakit. Meskipun lo dalam keadaan sehat pasti lo juga merasakan sakit," ucap Dhei berbaring, menumpu kepala dengan dua tumpukan bantal, setengah memerhatikan langit-langit kamar dengan pandangan menerawang. Perlahan sebelah susut bibir itu terangkat, memandang selang infus yang sudah terhubung dengan punggung tangannya. "Sorry, pas lo datang, gue jadi suram kayak gini."

Rein mengangguk maklum, memerhatikan pemilik rambut hitam itu. Dulu dirinya sering memainkan ujung rambut Dhei, bahkan dulu saat seusai band, dirinya begitu sering mengacak rambut laki-laki itu dengan gemas lalu diakhiri dengan sebuah jambakan yang terasa kuat.

Sebelah alis Dhei terangkat, tersenyum jail. "Gitu amat ngelihatinnya, kayak enggak pernah lihat orang ganteng aja." 

Sontak Rein menyipitkan mata, tersadar dari lamunannya. Mendadak gelak tawa memenuhi ruangan seketika. Ya, meskipun hanya berdua entahlah suasana seakan mendadak ramai seketika. Freysha keluar sejenak, sedangkan kedua orangtua Dhei? Paling-paling kedua orang itu pulang sejenak untuk mengambil barang yang dibutuhkan. 

"Rein," panggil Dhei. Berhasil membuat alis gadis itu terangkat. Satu pertanyaan yang tidak pernah ingin Rein dengar, satu pertanyaan yang membuat egonya begitu tinggi untuk menjawab iya, apalagi memberikan kepada cowok ini jawaban yang sejujur-jujurnya hanyalah...

"Radin sama Dimas, kemana?"

Rein gelagapan, mata bulatnya bergerak tak tentu arah. Tak ada jawaban dari Rein, Dhei mengembus napas panjang, kembali mengedarkan pandangan ke langit-langit ruangan. Menyesali perbuatan bodoh yang dapat mengecewakan ketiga sahabatnya. "Kita semua udah bubar ya?" tanya Dhei. 

Rein menggeleng. "Engg..."

"Enggak usah  bohong Rein," potong Dhei secepatnya. Diam-diam cowok itu menelan ludah seraya mengepalkan tangan dengan erat. Inilah yang ia benci dari kelulusan sekolah, inilah yang ia benci ketika berumur 20 tahunan. 

Ketika dewasa seseorang diajarkan untuk mengejar serta melepaskan apa yang disukai, entah itu orang yang penting dalam hidup, menyemangati hidup kita, hingga kita mendedikasikan orang itu sebagai tujuan hidup. Tak peduli, orang itu akan pergi meninggalkan. Bisa secara mendadak atau mungkin secara perlahan, yang pasti akan menimbulkan luka yang begitu dalam. 

Bisa keluarga, ataupun sahabat yang awalnya selalu kita bangga-banggakan dengan menyebutnya sebagai sahabat sejati. 

"Gue udah cukup bisa nerima kenyataan," gumam Dhei, tersenyum samar. "Realistis." 

 "Dhei..." panggil Rein lagi, suara itu terdengar lembut namun menekankan, memberi suatu kesungguhan yang tidak terbantahkan. "Aku yakin kita semua bisa sahabatan kayak dulu, kita bisa kumpul kayak dulu lagi, ya?"

AFTER RAIN : 10 YEARS LATER [☑]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang