26 : : AFTER RAIN, I THINK YOU'LL CHANGE. BUT, IT'S DIFFICULT

655 52 24
                                    

Bodohnya aku lupa, kupikir setelah hujan reda, langit akan berubah cerah  namun nyatanya tidak. Harus bertahap, dari hujan begitu lebat, lalu rintikan mulai hilang. Setelah itu...

Barulah langit terlihat cerah.

-After Rain : 10 Years Later

...

Berat, pusing, lemas, dan mual.

Sungguh, dalam seumur hidupnya, Radin tak ingin merasakan hal yang kedua kalinya seperti ini. Sungguh menyebalkan, dimana dirinya seperti tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa meminta tolong orang dengan perasaan yang tidak enak.

Miris memang, entah kenapa, seseorang baru mengetahui arti nikmatnya kesehatan setelah dihadapkan dengan rasa sakit yang amat sangat. Begitu juga dengan seseorang baru menyadari betapa berharganya arti kehadiran seseorang setelah kita kehilangannya.

Kedua mata bundar Radin terbuka perlahan, suara ringisan mendadak lolos dari mulutnya seraya mencengkram perut bagian kiri dengan kuat. Tak cukup dengan rasa perih, untuk menarik napas saja rasanya berat sekali.

"Hmmh..."

Radin mengedarkan pandangan memerhatikan langit-langit ruangan, nuansa putih, dan bau obat-obatan ini sungguh ingin  membuatnya lari.

Kriettt...

Pintu ruangan terbuka, mata yang tampak sayu itu memerhatikan si pembuka pintu, masih setengah sadar, dan lemas tentunya.

Rein. Radin mengerjap pelan, masih terasa mengantuk. Kini tampak gadis itu masuk ke ruangan seraya membawa sebungkus obat-obatan, dengan senyumnya yang cerah.

"Hai!" sapa Rein, meletakkan bungkus obat itu sejenak, berdiri di samping meja kecil.

Radin mengerling, memerhatikan gadis itu tanpa mengerjap lalu menggumam untuk membalas jawaban. "Hmm."

"Kamu udah lama bangun atau baru? Pas kamu bangun, udah ada dokter yang masuk belum? Kalau belum ada biar aku panggilkan."

"Maaf merepotkan," gumam Radin.

Rein menoleh, tersenyum tulus lalu menggeleng. "Makasih Radin, bukan maaf. Kenapa harus kata maaf kalau kata terimakasih masih bisa membuat orang bahagia?"

"Hmm..." jawab Radin datar lalu mengalihkan pandangan. "Makasih."

"Nah," Rein tersenyum puas. Menyipitkan mata dengan senang. "Kalau gitukan enak dengarnya, sama-sama Radin."

"Hmm..." jawab Radin lagi.

Jari telunjuk Rein terjulur, mendorong lengan Radin dengan pelan. "Oh ya, jawab pertanyaan aku tadi."

"Udah," jawab Radin, mata bundar itu melirik Rein, setengah malas. "Minum obat, makan, istirahat."

"Terus terus?" Rein menopang kepala dengan kedua tangan, tampak penasaran, merebahkan tubuh di kursi plastik, samping tempat tidur. "Pasti dokter panjang deh ceritanya."

"Bukan urusan kamu," jawab Radin datar, memejamkan mata menutup kedua mata itu dengan lengan.

Rein cemberut. "Bukan urusan aku gimana, ya pasti urusan aku. Tadi setelah karyawan lainnya bawa kamu kesini, aku disuruh temanin kamu, Bibi juga suruh gitu. Katanya karena aku lebih dekat sama kamu, kamu itu sa..."

Radin berdecak, menoleh dengan kesal. "Bisa diam tidak? Saya mau istirahat."

"Tiba gini aja kamu baru ingat istirahat. Apa kamu harus sakit dulu baru kamu mau istirahat? Kamu bikin panik tahu Radin. Kerja setiap hari, kamu pikir kanu itu robot? Kamu juga kurang istirahat makanya kamu jadi gampang stress, pikiran kamu jadi sulit dikendalikan dan akhirnya malah jadi seperti ini."

"Diam," suruh Radin lagi. Menelan ludah, memejamkan mata, begitu ada rasa mual yang mendadak saja ada yang meminta ingin dikeluarkan. Gadis ini tidak tahu apapun tentang dirinya dan dapat diartikan bahwa gadis ini tidak perlu mencampuri urusan pribadinya.  "Kalau kamu tidak keberatan, kamu boleh kembali bekerja atau pulang."

Entah Radin yang salah lihat atau bukan, gadis itu menyipitkan mata dengan tajam. "Kalau aku pulang, yang jaga kamu siapa?"

Radin tersenyum sinis. Siapa yang akan menjaganya? Selama ini dirinya bisa melakukannya sendiri, dan tentu saja hal ini pasti mudah untuknya. "Saya bukan anak-anak, saya bisa melakukannya sendiri."

"Sendiri lagi, sendiri lagi!" desis Rein tak tahan. Membulatkan mata, setengah memukul tempat tidur Radin. "Kamu juga tadi hampir pingsan gara-gara kamu bilang bisa melakukannya sendiri, ini sendiri, semua sendiri. Kamu itu kenapa hah?"

Radin mengembus napas panjang, pandangan yang tadinya tampak tidak peduli dan tegas kepada gadis di hadapannya kini miulai melembut, oh atau mungkin pasrah? "Saya tidak ingin merepotkan orang lain. Bagaimana juga saya ini menyusahkan kalau lagi..."

"Gimana bisa kamu berpikiran negatif dalam keadaan seperti ini? Kamu mau nyakitin diri kamu lagi?" tanya Rein tanpa henti, seperti setengah kesal, berbicara dengan penekanan. "Minta tolong sama orang lain, aku enggak keberatan diminta tolong sama kamu."

Radin menggeleng. "Saya tidak biasa," Tak lama suara bass itu tertawa datar, memiringkan badan, memunggungi gadis yang tengah duduk itu. "Silahkan pulang, nanti kamu kecapekan. Saya tidak mau menyiksa karyawan saya."

"Enggak," jawab Rein.

Sungguh gadis ini benar-benar keras kepala.

Malas berdebat lagi, Radin mengalihkan pandangan, siam-diam memejamkan mata dengan erat. Sesekali digigitnya bibir bawah, berusaha mungkin menahan suara ringisan agar tidak lolos dari mulutnya. 

Tak tahan lagi, berusaha mungkin Radin memiringkan tubuh ke arah berlawanan. Meraih obat dan sebotol air mineral di atas meja kecil sana.

Radin berdecak, setengah kesal dirinya bersusah payah menjulurkan sebelah tangan. Nihil, obat-obatan itu tidak bisa ia raih. Bagaimana bisa, selain jarak yang cukup jauh, dirinya seperti tidak bisa menegakkan tubuh. Rasa sakit itu bukan hanya terasa pada perut bagian kiri namun rasa itu menjalar hingga ke punggung belakang dan percayalah bahkan hal yang paling menyebalkan adalah di saat dirinya begitu terasa kesulitan unruk bernapas.

Rein melirik Radin, tanpa bicara, gadis itu seolah bersikap tidak peduli. Biarkan saja, bukankah Radin bisa melakukan segala hal sendirian? Tanpa bantuan dari orang lain bukan?

Radin menelan ludah, pemilik wajah pucat itu memejamkan mata sejenak,  tampak begitu pasrah. "Rein..."

Sebelah alis Rein terangkat, polos.

Dengan napas yang mulai yang terasa sesak, Radin menelan ludah, memerhatikan gadis itu setengah memelas. "Maaf, kalau tidak keberatan, boleh ambilkan obat saya? Saya butuh."

Rein tersenyum puas, mengangguk semangat.

🌂🌂🌂

Coba itung berapa kali Radin ngucap 'hmm' disini 😂😂.

AFTER RAIN : 10 YEARS LATER [☑]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang