Japan, Kyoto
Memang ada sedikit kisah nyata yang disajikan dalam sebuah novel. Namun percayalah, tidak semua kisah novel berakhir indah seperti di kisah nyata. Jika di sebuah novel memiliki kisah nyata yang indah seperti sebuah pernikahan. Maka, akhir kisah nyata dari realita yang sesungguhnya adalah dimana seseorang beristirahat dan menuju ke alam yang berbeda.
"Rein..."
Dhei, laki-laki yang tengah mengeringkan rambut dengan handuk di tangan itu menuju ruang makan. Diperhatikannya koper dan beberapa barang di sana lalu duduk di hadapan Rein. Memerhatikan gadis itu.
Ya, setelah menetap begitu lama di Indonesia, entah kenapa seminggu kemarin gadis ini seolah-olah meminta untuk ke luar negeri sejenak. Mencari suasana baru mungkin?
Ya, Dhei mengiyakan, begitu mengingat Rein yang beberapa bulan belakangan ini tampak tidak semangat. Setelah kepergian Radin, setelah sahabat terbaiknya itu mendonorkan hati untuknya entah kenapa Rein seolah tidak terlihat bersemangat, gadis itu seperti kehilangan seseorang yang begitu berharga meskipun tak dapat Dhei pungkiri dirinya sudah menuju ke jejang pernikahan bersama gadis ini.
Radin yang baik, hebat, tenang, dan kuat dalam caranya sendiri.
Baik dirinya, Rein, Dimas, maupun orang-orang terdekat pasti akan mengatakan empat ciri khas yang berada di dalam diri Radin.
Dhei mencondongkan tubuh, ruangan terlihat remang, hanya mengandalkan cahaya malam yang masuk melalui jendela ruang makan, diusapnya pipi gadis itu sejenak begitu memerhatikan Rein yang kembali larut dalam lamunannya.
"Rein..." panggil Dhei lagi, kini berhasil membuat gadis itu menoleh. "Kenapa?"
Rein menggeleng, tersenyum samar.
Dhei mengembus napas panjang, memerhatikan Rein dengan lembut. "Enggak apa kalau lo masih ingat sama Radin, lo enggak harus lupa Rein. Lo enggak perlu merasa bersalah dengan gue, sungguh, gue enggak apa."
"Maaf..." gumam Rein, menunduk. "Tapi, aku udah berbulan-bulan merepotkan kamu. Kamu harus hadapin sikap kekanak-kanakan aku."
Dhei tertawa pelan, mendaratkan telapak tangannya ke puncak kepala Rein lalu mengcak rambut gadis itu dengan gemas. "Enggak apa. Gue juga pernah kekanak-kanakan kok. Gue juga pernah merepotkan. Jadi..."
Kedua alis Dhei terangkat begitu juga dengan bahuya yanng terangkat. "Ya, bukan masalah. Sekarang, Rein cerita ke Dhei, Rein sedih kenapa? Kenapa Rein ingat Radin?"
Rein mengeluarkan handphone-nya sejenak, mencolokkan headset disana lalu membagi sebelah headset itu ke telinga Dhei. "Kamu tahu adik tiri Radin?"
Dhei mengangguk ragu. "Gue pernah lihat dua kali mungkin."
"Dia kirim sesuatu untukku. Dulu aku pernah suruh Radin nyanyi lagu waktu kamu, Dimas, sama dia band dulu. Ku pikir dia lupa janji itu sampai sekarang tapi ternyata enggak," ucap Rein, mengutak atik barang eletronik itu sejenak, memutar lagu di sana, suara gitar akustik terdengar nyaring, menenangkan setenang si pelantun suara di sana.
Terima kasih telah mencintaiku, bagaimanapun juga hal itu tak akan terkatakan
Karena aku bahagia saat berada di sampingmu...
Terima kasih telah mencintaiku, mulai sekarang tertawalah dengan baik
Sedikit pun aku tidak pernah melupakannya...
Dhei terdiam, mendengar suara bass yang mengalun di telingnya. Perlahan mata itu terangkat memerhatikan Rein di hadapannya. Gadis itu lagi-lagi menerawang, membiarkan cairan bening perlahan jatuh membasahi di setiap pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER RAIN : 10 YEARS LATER [☑]
General Fiction[SEQUEL BOY UNDER THE RAIN] "Love you no matter what." Rein, gadis penulis novel yang masih saja menaruh hatinya kepada Radin mungkin percaya pada kalimat itu. Masih ada cinta dan ketulusan di dunia ini. Hanya saja begitu berbeda dengan Radin, seaka...