Maaf, bukannya tidak mendukungmu. Aku hanya ingin mengatakan, tolong rasakan semua hal yang terjadi di setiap harimu, nikmati rasa sakit itu, nikmati rasa senang itu.
Karena nanti, suatu saat nanti, kamu pasti akan mengingat dan merindukan perjuangan-perjuangan itu kembali.
-After Rain : 10 Years Later
...
Jika seseorang disuruh memilih untuk menikmati rasa senang atau rasa sakit, maka semua orang pasti akan memilih rasa senang. Ya, sudah sifat alami manusia memilih untuk mencari rasa aman dan nyaman.
Namun hanya saja, ada beberapa orang memilih mencoba untuk menikmati rasa sakit sejenak demi mendapatkan pelajaran dan menuju kebahagiaan dengan waktu yang cukup lama.
Asalkan cukup tau saja, pintar-pintar untuk mengatur waktu dan diri. Dimana kapan harus bahagia dan tidak fokus pada rasa sakitnya saja.
"Akhirnya sampai ya Din?"
Radin tersenyum tipis, mengangguk, membenarkam sandangan tasnya. Wajah bundar yang tampak setengah menahan lelah itu kini mendongak memerhatikan sekeliling halaman rumah.
Pintu depan berwarna cokelat kini berhasil dibuka, tampak begitu sepi, tanpa ada penghuni kecuali Radin. Ya, meskipun untuk saat ini Bibi yang memegang kunci rumahnya begitu mengingat ada banyak kebutuhan yang tersimpan di rumah ini sementara harus di bawa ke rumah sakit.
"Masuk Den," Radin menurut. Belum sempat laki-laki itu menuju ruang belakang, buru-buru Bibi menahan. "Den Radin mau kemana?"
Kedua alis tebal Radin terangkat, memasang wajah polos. "Mau nyuci baju kotorku dulu, sekalian mau bersih-bersih sama beli makanan. Bibi sama Rein dua hari ini mau nginapkan?"
Rein tersenyum lembut. Belum sempat gadis itu berbicara, Bibi terlebih dahulu menghampiri Radin lalu menepuk bahu anak laki-laki itu dengan kuat.
Radin meringis, mengusap bahu.
"Ya ampun Den, bisa puyeng Bibi dibuat Den Radin kayak gini," gerutu perempuan paruh baya itu, seraya menurunkan sandangan tas dari lengan Radin dengan paksa. "Bibi sama Rein itu kesini memang mau temani Den Radin, tapi bukan berarti Den Radin harus repot-repot."
Radin mengernyit, memerhatikan Bibi dan Rein satu persatu. "Tapi Bibi sama Rein kan..."
"Den haduh," Bibi berdecak, menggaruk belakang kepala yang tidak gatal. "Den Radin itu masih harus istirahat. Pokoknya, Den Radin tiduran aja. Istirahat Den."
"Aku enggak-"
Secepat mungkin Rein menggeleng, menghentikan ucapan Radin. "Maaf Din, tapi aku dukung Bibi. Kamu sudah keluar dari rumah sakit bukan berarti kamu benar-benar sehat, kamu juga harus istirahat di rumah, pulihkan lagi kondisi tubuh kamu. Lagipula, selasa nanti, kamu ada janji pemeriksaan kesehatan lagi kan?"
"Ya," gumam Radin pelan setengah pasrah. Dilepasnya jaket yang menyelimuti tubuhnya, lalu menghempaskan diri ke sofa. Perlu diakui, dirinya juga merasa sedikit pusing dan lemas di waktu yang bersamaan "Mungkin aku memang harus istirahat."
Bibi tersenyum puas, begitu juga Rein. "Nah gitu Den nurut sesekali, Bibi masukin bajunya dulu ke mesin cuci Den."
Radin mengangguk pelan. "Makasih Bi."
Rein tersenyum lembut tampak pandangan teduh itu mengarah kepada Radin. "Aku mau masak dulu buat makan siang nanti, kamu enggak boleh telat makan, enggak boleh yang goreng, pedas, asam, terlalu manis juga enggak boleh."
Radin mengembus napas jengah. Mengangkat sebelah alis, sinis. "Makan batu boleh?"
Rein tertawa pelan. "Aku buatin sup, mau?"
Radin memandang, ragu. "Bisa dimakan tidak?"
Rein menjulurkan lidah, setengah mengejek Radin di hadapannya. "Lihat aja nanti."
"Hm?" Radin mengangkat sebelah alis, tersenyum meremehkan seraya bangkit dari sofa, mengikuti langkah gadis itu ke dapur. Tampak Rein sedang sibuk mengeluarkan sayuran dari kantong belanjaan milik Bibi.
Suara pamcuran keran dari westafel terdengar begitu mengisi air di dalam wadah. Gadis itu menoleh ke samping sejenak begitu mendengar suara dentingan dari rak cangkir dan gelas milik Radin.
"Sudah kubilang kamu harus istirahat," suruh Rein.
"Ya ya," jawab Radin meletakkan empat sendok gula ke dalam cangkir. "Gue mau buat cappuchino sebentar."
Sontak kedua mata Rein menyipit tajam, dengan tangkas pemilik jari lentik itu menyita toples kopi begitu juga cangkir yang berada di hadapan Radin. "Kamu mau mati?"
"Ganas," gumam Radin.
Rein cemberut, menghentakkan kedua barang itu ke atas meja, memerhatikan Radin dengan sungguh-sunguh. "Nanti aku buatin jus. Pokoknya kamu harus jaga kesehatan kamu."
"Kenapa?" tanya Radin.
"Karena tanpa kamu sadari ada banyak orang yang membutuhkan kamu, ada orang di hadapan kamu yang mau hidup bersama kamu," ucap Rein menekankan lalu membalikkan badan, mencuci sayuran tersebut dengan gerakan sedikit kasar.
"Makanya kamu harus belajar sayangi diri sendiri. Kamu terlalu berharga buat disia-siakan," ucap Rein.
Radin menggeser kursi makan, duduk di sana, membenamkan setengah wajah dilipatan tangan, tersenyum samar. "Hm," jawab Radin.
"Sayangi diri kamu Radin," tekan Rein untuk kesekian kali.
"Sulit Rein," gumam Radin.
"Ya, memang sulit," Rein menghadap belakang, memerhatikan Radin. Gadis itu kini menggeser kursi makan, duduk di seberang Radin seraya memotong beberapa jenis sayur hijau yang baru saja dibersihkan.
"Tapi dengan kamu belajar membuka hati kamu, semuanya akan terasa berbeda, kamu akan merasa hidup dan karena perasaan itu kamu akan belajar untuk mencintai diri kamu."
Radin tersenyum simpul, mengangguk.
----
Thank's for reading. I hope you enjoy it!^^
ari ini visualnya radin ultah wkwkwk. Coba tebak berapa tahun??
Update : 03. 11.19
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER RAIN : 10 YEARS LATER [☑]
قصص عامة[SEQUEL BOY UNDER THE RAIN] "Love you no matter what." Rein, gadis penulis novel yang masih saja menaruh hatinya kepada Radin mungkin percaya pada kalimat itu. Masih ada cinta dan ketulusan di dunia ini. Hanya saja begitu berbeda dengan Radin, seaka...