3. Gak Percaya

1.3K 24 0
                                    

Aku berangkat menuju sekretariat untuk beberapa urusan. Memang, jika dikatakan aku sangat sering ke sekretariat, sangat memang. Karena, selain banyak hal yang harus di urus, sekre memiliki magnet yang kuat untukku, yang kalau aku tidak ke sana, aku merasa ada sesuatu yang kosong. Setibanya di sana, aku menemukan Kak Oka yang sedang membereskan seperangkat angklung.

"Eh, ada Kak Oka," sapaku.

Yang lainnya acuh dengan kegiatannya masing-masing. Aku bersikap seperti ingin membantu Kak Oka, yang sedang membereskan angklung dengan Beni, teman angkatanku, hanya berdua.

"Lagi beres-beres, Kak?" tanyaku.

"Iya, beresin angklung," jawabnya.

Aku hanya melihatnya, menunggunya untuk mengatakan meminta bantuan. Tapi setelah lama, dia memang tidak mengatakan hal itu.

"Bantuin, ah," kataku.

"Boleh," katanya.

"Gimana?" tanyaku lagi.

"Tempel sticker ini di bagian bawah angklung, gini nih!" dia menunjukkan caranya.

Aku mengikutinya, dan berhasil! Karena memang sangat mudah. Mungkin, itulah alasan mengapa dia tidak meminta bantuan orang-orang di sana, karena memang di rasa hal itu mudah dan bisa dilakukan sendiri olehnya.

"Ini angklung HTP," katanya.

Angklung HTP adalah angklung yang digunakan untuk How To Play bermain angklung. Biasanya angklung-angklung ini digunakan untuk orang-orang yang ingin mengenal dan belajar angklung secara dasar. Contohnya, turis asing yang ingin belajar angklung. Maka, angklung inilah yang digunakan oleh mereka.

"Oh," kataku. "Susah gak?" tanyaku.

"Enggak," katanya. "Gampang kok! Mau belajar?"

"Mau!" jawabku.

"Angklung ini kan, do re mi fa sol la si do. Nah, untuk memudahkan para pemain angklungnya, maka digunakanlah lambang biar mudah. Kalo do gini nih, re gini, mi gini ..." Kak Oka menjelaskan dengan memberitahuku lambang-lambangnya dengan menggunakan tangan, atau biasa disebut hand signs.

"Udah hafal belum? Coba sekarang cek!" tantangnya.

Lalu aku bersama satu temanku mengambil beberapa angklung. Kak Oka mengecek dengan menunjukkan tangannya, lalu aku membunyikan angklungnya, dengan tujuan agar aku menghafal lambang yang dia tunjukkan. Kak Oka, aku, dan temanku tertawa, karena beberapa kali salah membunyikan angklung. Ternyata Kak Oka sangat menyenangkan!

Setelah selesai menempelkan sticker, kita membereskan angklungnya.

"Ca kamu orang mana?" tanya Kak Oka.

"Orang Bandung," kataku. "Kakak orang mana?" tanyaku.

"Orang mana coba?" dia malah balik bertanya.

"Orang mana emang?"

"Tebak!"

"Eummm ... Orang mana, yah?"

"Mana coba?"

"Bandung?" sahutku.

"Bukan."

"Sumedang?"

"Bukan."

"Oh, Subang?"

"Bukan, haha..." dia tertawa.

"Gak tau, ah," aku menyerah.

"Sumatra."

"Hah? Sumatra?" tanyaku terjekut.

"Iya."

"Ah, boong!" sanggahku.

"Ih, gak percaya."

"Asli?"tanyaku tak percaya.

"Asli. Tanya aja anak-anak. Haha."

Aku menanyakan hal itu, dan ternyata memang benar. Aku sungguh tak percaya. Mengapa? Karena sama sekali tak terpikirkan kalau Kak Oka berasal dari Sumatra. Kenapa begitu? Karena dia memiliki logat sunda yang sama percis dengan orang sunda asli. Itulah, mengapa aku sedari tadi menjajah kota-kota yang berada di daerah jawa barat, itu karena logat sundanya.

"Emang aku berwajah orang sunda?" tanyanya.

"Iya tau," kataku. "Logatnya kayak orang sunda asli."

"Wah? Hahaha ..." dia tertawa.

"Kakak tinggal di Bandung udah lama?" tanyaku.

"Baru juga mau dua tahun, hahaha ..."

"Kok, bisa logatnya percis orang sunda asli sih?" tanyaku, benar-benar heran.

"Gak tau, hahaha ..." dia tertawa lagi.

"Kak, aku kok, baru liat Kakak sekarang-sekarang, yah?" aku penasaran.

"Aku kan, baru pulang dari Thailand," jawabnya.

"Hah? Thailand? Boong!" tanyaku tak percaya.

"Iya, dari Thailand. Eh? Gak percaya lagi?"

"Enggak."

"Aku satu semester gak di sini. Satu bulan di Malaysia, satu bulan di Singapura, terus empat bulan di Thailand. Aku di utus jurusan dengan beberapa teman, untuk mewakili universitas."

"Gak percaya!" kataku.

"Eh? Gak percaya? Nih, kalo kamu gak percaya."

Dia memperlihatkan media sosialnya kepadaku, lalu menunjukkan foto-foto saat dia di sana. Aku memang terkejut, karena hampir tidak percaya. Mengapa? Karena sikapnya yang slengean, seperti sedang bercanda.

"Ngapain aja di sana?" tanyaku.

"Main, hahaha ..."

"Ih, gak belajar?"

"Enggak, hahaha ... "

Tuhan, Aku Sayang! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang