17. Konflik Batin

644 19 0
                                    

Hari-hariku setelah penghakiman kejam itu, benar-benar penuh dengan kebingungan, aku tak tahu harus melakukan apa. Jika kuakhiri saja rasa ini untuk Kak Oka, aku tahu ini sangat berat, dan aku rasa aku tidak akan sanggup untuk sekarang. Tapi, jika kuteruskan rasa ini, bagaimana anggapan sahabat-sahabatku nanti?

Akhirnya, setelah beberapa hari aku tidak melihat Kak Oka, hari itu aku melihatnya. Malam itu, dia melihatku di pintu ruang komputer.

"Ca, makan, yuk?" tanyanya.

"Enggak, ah. Aku udah kenyang," jawabku.

Aku benar-benar berat menjawabnya.

"Anterin aku ke atas, yuk, beli makan!"

"Enggak, ah. Aku males ke atas," jawabku.

Dia meninggalkanku dengan wajahnya yang seperti kesal, aku berusaha untuk sebisa mungkin menjauhi Kak Oka. Terlebih, di ruangan itu ada Linda, aku harus bisa.

Beberapa jam kemudian, Kak Oka muncul lagi di pintu ruang komputer.

"Ca, jajan, yuk?" ajaknya.

"Enggak, ah. Aku kenyang!" jawabku.

"Anterin aku jajan aja, yuk?"

"Enggak, ah. Males," jawabku.

Setelah beberapa lama kemudian, Linda pulang, dan di sana memang tidak ada sama sekali teman angkatanku, mereka semua pulang, lalu aku keluar dari ruang komputer.

"Ca, kamu kenapa sih?" Kak Oka bertanya.

"Emang aku kenapa?"

"Kamu dari kemarin gitu terus, di-chat juga gitu, pas ketemu juga gitu," jawabnya. "Kamu kenapa sih?"

"Enggak. Udah beli makan?" tanyaku.

Tuhan, aku benar-benar tak bisa membiarkan dia, aku belum bisa!

"Kamu mau makan?" dia bertanya.

"Enggak," jawabku.

"Yuk, anterin aku beli makan!"

"Yuk."

"Kamu kalo gak mau bilang aja, jangan dipaksain!" katanya.

"Mau."

"Kenapa mukanya kayak gitu?"

"Emang gimana?"

"Kayak yang gak mau."

"Kan, aku udah bilang mau."

Aku berjalan keluar, dan dia mengikutiku.

"Ca, aku pusing," katanya.

Dia memang suka melontarkan sebuah kalimat, yang aku tahu dia ingin aku perhatikan, aku sudah tahu itu, dia pasti sedang ada masalah.

"Aku juga pusing," kataku.

Dengan wajah datar aku menjawabnya, dengan penuh kebingungan dan keraguan, apa aku benar melakukan hal ini? Apa aku telah jahat telah mengacuhkan kata-kata sahabatku untuk menjauhi Kak Oka?

"Ca, aku sakit perut," katanya.

"Aku juga sakit," jawabku datar.

"Ca, aku bingung ih!" katanya.

"Aku juga bingung," jawabku.

"Ca, kamu kenapa, ih?" tanyanya.

Dia sepertinya merasakan ada sesuatu yang salah padaku. Biasanya, jika dia mengatakan salah satu dari kalimat itu, responsku langsung bertanya balik dia kenapa, dia ada masalah apa, dan lainnya. Tapi, kini aku menjawabnya dengan datar.

Tuhan, Aku Sayang! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang