14. Perdebatan III

684 16 0
                                    

Malam itu, adalah malam terakhir kepergian sebagian teman-teman ke India, untuk misi kebudayaan. Kak Dafa, dia salah satu yang ikut ke sana. Malam itu, Kak Dafa mengajak anak-anak untuk pergi nongkrong, sebelum kepergiannya.

"Rakaaa, ikut gak?" tanyaku pada Raka.

"Ke mana?"

"Nyurabi."

"Enggak."

"Kenapa?" ikut ih!" ajakku.

"Aku banyak tugas, mau ngerjain tugas."

Raka memang sudah kukatakan, dia telah berubah. Setiap kali aku mengajak dia pergi, dia selalu menolakku, dengan berbagai alasan. Beberapa kali, aku pernah bertanya kepadanya, kenapa dia berubah. Karena, selama ini aku merasakan perubahannya. Tapi, dia menjawab bahwa dia tidak berubah. Dengan sikapnya yang selalu dingin, aku selalu berusaha agar di antara kita tidak ada jarak. Karena nyatanya, memang benar, semua orang melihatku dan Raka berjauhan. Aku tidak tahu, apa sebab dia berubah dan menjadi dingin kepadaku. Akhirnya, aku menyuruh temanku yang lainnya, untuk mengajaknya, agar dia ikut.

Aku dan yang lainnya telah sampai di Waroeng Surabi Setibudi, dan ternyata Raka ikut. Setelah berbicara mengenai berbagai hal, kita memutuskan untuk bermain permainan truth or dare. Sampailah giliran kepada Raka, dia memilih truth.

"Siapa, siapa nih yang mau nanya?" tanya Rudi.

"Ica, Icaaa... Kamu aja!" sergap yang lainnya.

Aku seperti bersiap-siap untuk menanyakan hal yang selama ini, ingin aku pertanyakan.

"Pas kamu pulang pagi-pagi, yang aku nanya nginep di mana. Kamu nginep di mana pas itu?" tanyaku.

Aku merasa, dia telah berbohong. Makanya, sampai saat ini masih penasaran.

"Di kostan Si Dina," jawabnya.

Semua orang kaget mendengarnya, kecuali aku, karena sudah lama menduganya.

"Tidur di sana?" tanyaku.

"Iya."

"Gimana tidurnya?"

"Ya tidur kan, merem. Gimana aja tidur biasa."

Semua orang tertawa mendengar pertanyaan yang tidak terduga dariku.

"Iya, gimana?" tanyaku penasaran.

"Masa harus aku jelasin?"

"Iya," ujarku.

Aku memang terlihat seperti cemburu kepadanya. Memang, dia adalah sahabat terdekatku selama ini. Tapi jujur, itu bukan cemburu, aku merasa sayang sebagai sahabatnya. Dan saat itu, dia memang dekat dengan Dina, tapi aku tidak mendukungnya, bukan karena aku cemburu, sungguh! Tapi, karena aku merasa Dina bukan yang terbaik buat Raka.

"Iya, gitu tidur. Kan, ada dua kasur, dia di kasur atas, aku di bawah."

Semua orang tertawa, kecuali aku.

"Lagian juga, gak ngapa-ngapain. Cuma tidur doang. Kan, aku capek, terus males pulang lagi. Jadi aja tidur di sana. Aku juga langsung pulang, kan?" tanya dia.

"Iya, pagi-pagi," jawabku.

Semua orang hanya melihat aku dan Raka yang seperti berdebat.

"Udah, udah ah!" lerai Gita. "Lanjut, satu lagi aja pertanyaan. Siapa?"

"Aku!" jawab Rey. "Ka, kamu kalo disuruh milih Alisha atau milih Dina, kamu milih siapa?"

Semua orang heboh dan berisik dengan pertanyaan yang Rey lontarkan.

"Alisha lah!" jawabnya singkat.

Namun semua orang tak bisa menahan senyum mereka. Permainan berlanjut, dan sampailah giliranku.

"Si Raka, Si Raka udah siap," sahut seseorang di sana, entah siapa.

"Kamu jujur, sekarang lagi deket sama siapa?" tanya Raka.

Aku benar-benar bingung harus menjawab apa, karena di sana juga ada Kak Oka. Aku dikatakan dekat, ya, dekat biasa dengan Kak Oka. Aku sebut itu dekat biasa, tapi gak biasa, aku sebut dekat lebih, tapi takut aku salah paham, karena kita gak ada status, dan Kak Oka juga punya pacar.

"Deket?" tanyaku. "Ini deket sama Kak Oka, Kak Adel, kamu."

Aku menjawab nama-nama itu, karena duduk berdekatan denganku.

"Bukan deket gitu maksudnya. Deket kayak hubungan gitu," tambah Raka.

"Kenapa Si Oka senyum-senyum?" tanya Kak Vivi.

Aku berpikir sejanak, lalu memberanikan diri mengatakannya.

"Sama Kak Oka," dengan nada percaya diri, agar Raka puas mendengar jawabanku.

"Sakit, itu pasti sakit, haha ..." sergap Kak Oka, seperti menyindir dan merasa puas.

Semua orang tercengang, dan wajah mereka seperti tidak menyangka.

"Deket sejauh mana? Deket mau pacaran gitu? Atau deket gimana?" tanya Raka, seperti menyerangku.

"Iya, deket aja."

"Iya, deket apa? Deket pacaran?" tanya Raka mendesak.

"Iya, deket aja," paksaku. "Kenapa, kamu nanyanya banyak, terus maksa-maksa?" aku mulai naik darah.

"Emang kamu tadi gak gitu ke aku?" tanya Raka.

"Udah, udah ah!" kata Rudi. "Lanjut, satu orang lagi, siapa?"

"Aku!" kata Raka lagi. "Siapa yang selama ini, udah buat kamu kagum di sini?" (Maksudnya, di organisasi yang kita tempatin)

Aku berpikir agak lama, sambil melihat ke arah Kak Oka, yang berada di sebelahku, aku ragu menjawabnya.

"Kak Dafa," jawabku malu.

Aku yakin ada maksud dari kenapa Raka menanyakan hal itu, mungkin agar Kak Oka dapat menjauh dariku, atau maksud lainnya, yang aku tidak tahu apa.

Kak Dafa langsung tersenyum, semua orang di sana tertawa. Aku langsung melihat Kak Oka, dia menepuk-nepuk dadanya, seakan-akan merasa kecewa. Tapi, aku tahu pasti itu candaan.

Tuhan, Aku Sayang! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang