Malam hari, aku bersantai berbincang-bincang dengan keluarga. Mengobrol ringan, sambil menonton televisi di ruang keluarga. Tiba-tiba ponselku bergetar, berisi sebuah pesan:
"Gimana Ca?" Kak Oka mengirimiku sebuah pesan.
"Eum ... harus dijawab sekarang?" tanyaku.
"Iya," jawabnya. "Kalo udah ada jawabannya."
"Iya, Kak! Aku siap!" kataku.
Dari sinilah, menurutku. Semuanya berawal.
---
Pagi itu, aku sedang bersama dengan teman lamaku di rumah. Menikmati angin dan keramaian orang yang berlalu lalang. Entah mengapa, saat itu aku dapat ngobrol dengan Kak Oka di chat. Mungkin, membahas kegiatan lomba yang akan dilaksanakan, aku tidak tahu, aku lupa.
"Kamu jadi bendahara juga di kepengurusan," kata Kak Oka.
"Boong!" kataku.
"Eh? Gak percaya."
"Enggak."
"Gimana? Gak apa-apa?"
"Ih, kan, aku udah milih bendahara event aja. Kok, jadi dua-duanya sih?" aku keberatan.
"Jadi gini, kamu kan, bilang siap di bendahara event, eh ternyata Si Dafa juga mau kamu di kepengurusan dia, jadi bendahara juga, terus udah bilang ke DK (dewan konsultasi), di acc sama DK."
Entah kabar baik atau kabar buruk yang aku rasakan. Pengumuman kepengurusan telah beredar di grup. Benar, aku di posisikan di bendahara kepengurusan oleh Kak Dafa yang waktu itu menjabat ketua.
---
Waktu memang berjalan begitu cepat. Entah karena sebab apa, aku menjadi terlihat dekat dengan Kak Oka, rekan kerjaku. Semua orang berkata, kalau ada sesuatu di antara aku dengan Kak Oka. Padahal nyatanya, tidak ada sama sekali sesuatu. Mungkin, karena terlihat sering berduaan, akhirnya mereka berkata seperti itu. Tapi, sebenarnya tidak terlalu, karena nyatanya saat berdua pun, kita membahas kegiatan yang akan dilaksanakan terasa sangat berat, makanya kita sering ngobrol. Dan juga, aku sudah tahu, kalau Kak Oka sudah punya pacar di kampung halamannya. Jadi, mana mungkin ada sesuatu di antara kita.
Setelah selesai membereskan sesuatu dengan Kak Oka dan rekan lain. Semua orang hendak pulang, lalu aku pun bergegas membereskan tas.
"Ca, bareng, yuk?" tanya Kak Oka.
"Yuk," jawabku.
Aku sudah tahu lama, kalau kostannya Kak Oka dan aku cukup dekat. Dan beberapa kali, Kak Oka sudah pernah mengantarkanku pulang.
"Yuk," dia meraih tanganku.
Aku benar-benar kaget, saat dia meraih tanganku. Aku tahu itu candaan, sungguh. Tapi anehnya, jantungku berdegup kencang.
"Iiih!" aku melepaskan tangannya.
"Eh! Lupa, maaf ... Maaf. Haha... " dia tertawa.
Aku tahu sangat, itu candaan. Tapi, entahlah! Lalu aku berdiri dan berjalan menuju ke luar.
"Ayo!" dia menyodorkan telapak tangannya, seperti ingin aku meraih tangannya.
"Ih!" kataku.
Aku benar-benar tak bisa mengondisikan wajahku, lalu aku tersenyum, dan sepertinya pipiku merah.
"Yuk," dia meraih tanganku.
"Iih!" kataku, sambil melepaskan genggamannya.
"Eh! Salah, salah! Haha ..." ujarnya. "Aku mau ngambil helm, malah salah. Haha."
Aku hanya diam.
"Awas, ah! Nanti kamu baper aku gituin," katanya.
Baper adalah singkatan dari bawa perasaan.
"Ih, ngapain juga baper sama Kakak," kataku.
"Gimana kalo akunya yang baper?"
"Ih!" kataku.
"Kamu baper gak? Kalo akunya baper?"
"Enggak."
"Ah, masa?"
Aku hanya diam. Lalu dia melihatku, aku juga melihatnya. Kita saling bertatapan beberapa saat.
"Ah!" suaranya memecah keheningan. "Aku bisa-bisa baper ah, sama kamu!"
Dia terus saja menggodaku, aku hanya diam. Lalu di perjalanan, aku benar-benar tiada hentinya terus berpikiran, apa yang telah Kak Oka lakukan. Lamunan itu dikagetkan suara Kak Oka.
"Ca?" dia menyapa.
"Apa?"
"Kalo aku baper gimana?" dia bertanya.
Aku hanya diam, tidak ingin menjawabnya. Karena aku tahu, kalau itu candaan. Maka aku tidak seharusnya meladeni dia, dan berpikiran sesuatu hal lain, kecuali itu adalah candaan.
"Ca, ih!"
"Apa?"
"Gimana kalo aku baper?"
Aku hanya diam.
"Ca?"
"Apa ih?" nadaku mulai naik.
"Kalo aku baper sama kamu gimana?"
Aku diam, tidak ingin meladeni candaannya.
"Jawab ih!" katanya.
"Apa sih?"
Aku benar-benar risi dengan Kak Oka. Akhirnya aku meladeni pembicaraan yang tidak penting itu.
"Gimana kalo aku baper sama kamu?" tanyanya. "Boleh gak?"
"Enggak," jawabku.
"Enggak apa?"
"Gak boleh."
"Kenapa?"
"Gak mau."
"Itu tuh gak mau asli?"
"Hah?" aku bingung dengan apa yang dikatakannya.
"Kamu gak mau tuh, gak mau asli, atau gak mau karena mau, atau pura-pura gak mau?"
"Gak mau," jawabku.
Akhirnya, sampailah di depan kostanku. Kostanku dengan Kak Oka, cukup dekat. Mungkin, hanya terhalang 3 kostan lain. Lalu aku turun dari motor Kak Oka menuju pagar kostan.
"Ca? Boleh gak aku baper ke kamu?" tanyanya lagi.
"Gak boleh!" jawabku, sambil menoleh ke arahnya.
"Kenapa?"
"Kan, Kakak punya pacar," jawabku, sambil pergi meninggalkan Kak Oka.
Aku menjawab seperti itu dengan niatan bercanda, untuk meladeni candaannya.
"Eh? Kalo aku gak punya pacar, boleh gitu? Boleh baper ke kamu?" tanyanya, sambil agak berteriak agar suaranya sampai ke telingaku, yang pergi meninggalkannya untuk masuk ke kostan.
Aku memasuki kamar, lalu merebahkan diri di kasur. Setelah beberapa lama, aku mulai memikirkan apa yang telah Kak Oka lakukan. Aku menepis semua itu, dengan mengatakan kalau itu hanya candaan. Tapi, entahlah! Semua yang Kak Oka lakukan telah membuatku bingung dan terus saja berpikiran hal-hal yang telah dia lakukan dan katakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuhan, Aku Sayang! (TAMAT)
General FictionUntuk cinta, kita tidak bisa memilih untuk siapa atau kepada siapa kita mencintai. Itulah yang terjadi, saat aku mencintainya. Aku tidak memilihnya untuk menjadi seseorang yang akan aku cintai, tapi rasa itu tiba-tiba saja perlahan menggunung, dan a...