Raka sudah menjadi sahabatku sudah sejak lama, aku dan Raka memang telah sangat dekat. Namun entah mengapa, aku merasa hubungan kami tidak sedekat dulu.
"Ka, aku punya salah sama kamu?" tanyaku.
"Enggak," jawab Raka.
"Terus kamu kenapa?"
"Emang aku kenapa?"
"Ya, aku ngerasanya kamu berubah."
"Emang aku berubah gimana?"
"Ya, berubah. Aku ngerasain kok," jawabku. "Kamu berubah, kamu beda!"
"Kamu aja yang baper, orang aku gak berubah."
"Aku yang ngerasain Ka."
"Orang tuh, gak bakal terus aja kayak gitu, Ca. Aku harus kayak dulu gitu? Gak berubah-berubah? Dunia tuh berputar, gak bakal terus diem aja!" nadanya agak naik.
"Kalo berubahnya ka arah positif, itu baru bagus Ka."
"Kalo gitu, kamu bilang sekarang! Aku berubahnya gimana?" nadanya benar-benar naik.
Raka berbicara panjang lebar dengan suara naik, aku hanya diam. Lalu air mataku menetes, mendengar semua yang Raka katakan. Aku benar-benar merasa sudah sangat jauh dengan Raka. Aku yang dulu benar-benar merasakan, bagaimana Raka begitu peduli, semua yang aku lakukan, selalu ada Raka di sampingku. Dan sekarang, Raka benar-benar sudah sangat jauh.
Aku menangis, lalu pergi meninggalkan tempat itu. Terdengar suara Raka memanggilku dari jauh.
"Ca! Ca! Icaaaaa!!!"
Aku berjalan menuju keluar. Di sana, terdapat Kak Oka, yang terlihat sedang berteleponan, mungkin dengan pacarnya. Ah, benar-benar malam yang sangat kacau! Aku memberanikan diri menembus malam, meskipun penuh dengan ketakutan, tak biasa berjalan sendirian. Dengan penuh harap, Raka datang meraih tanganku, lalu meminta maaf atas apa yang telah dia lakukan.
Namun sesampainya di kostan, Raka benar-benar tak datang. Aku merebahkan diri di kostan, lalu menangis dengan sangat pilu. Lalu beberapa saat, ponselku berbunyi, itu sebuah pesan, lalu aku membacanya:
"Kamu kemana ih? Aku panggil-panggil gak dijawab, tadi aku lagi teleponan sama mama aku," itu Kak Oka.
"Pulang," jawabku.
"Kamu kenapa?"
"Sakit."
"Kamu sakit? Sakit apa?" tanya Kak Oka khawatir.
"Sakit hati."
"Sakit hati? Sama siapa? Sama aku?"
"Bukan! Sama Raka."
"Emang kenapa? Raka kenapa?"
"Raka jahat."
"Raka jahat apa?"
"Pengen nangis!"
"Jangan nangis ih!" jawabnya. "Kamu di mana sekarang?"
"Aku di kostan."
"Jangan nangis ih! Aku ke sana sekarang. Tungguin!"
Tak lama kemudian, Kak Oka datang ke kostan.
"Kamu kenapa?" tanyanya khawatir.
"Gak kenapa-napa," jawabku.
"Kenapa ih? Raka jahat apa sama kamu?"
Aku bercerita tentang kejadian itu. Aku menangis tersedu-sedu, aku bercerita tentang bagaimana perubahan Raka padaku selama ini. Kak Oka mendengarkan ceritaku dengan cermat, lalu Kak Oka berusaha membuatku merasa tenang.
"Udah nangisnya?" tanyanya.
Aku hanya diam, lalu dia menatapku.
"Dia berubah, pasti ada alasannya," ujarnya.
"Terus apa alasannya?"
"Dia mungkin belum mau bilang alasannya sekarang."
"Terus kapan?"
"Ya, aku gak tau. Itu terserah dia. Ca, kamu gak bisa terus kayak gini. Kamu juga harus menerima perubahan dia," katanya.
"Masalahnya, aku udah percaya banget sama Raka. Raka tuh, sosok yang aku butuhkan, saat aku jauh dengan orang tua aku Kak, makanya aku kayak gini. Setelah dia berubah, aku benar-benar ngerasa takut."
"Kamu gak bisa terus aja bergantung sama Raka, kamu juga harus bisa melepas Raka. Kamu harus bisa hidup mandiri, tanpa bergantung sama Raka. Kalo kamu terus aja bergantung sama Raka, kamu gak akan belajar hidup. Terus, kalo Raka gak ada, gimana?"
Aku hanya diam.
"Kayaknya, dia gak suka kalo kamu deket sama aku," ujarnya.
"Kenapa?" tanyaku.
"Gak tau," jawabnya. "Mungkin, karena aku nakal. Jadi dia gak mau kalo kamu deket sama aku, mungkin."
"Terus kenapa gak bilang aja ke aku?"
"Ya, mungkin dia belum mau bilang."
"Terus kenapa kalo gak mau bilang, kenapa harus berubah?"
"Mungkin, ya, cara dia menunjukkannya, dengan perubahan yang dia lakukan."
Aku hanya diam.
"Dia gak mau ngomong ke kamu, tapi dia melakukannya dengan cara berubah, itu biar kamu merasakan perubahan yang dia lakukan," katanya.
"Terus aku harus gimana?"
"Kalo kata aku, ya, gak harus gimana-gimana."
"Kok gitu?"
"Logikanya, dia kan, berubah biar kamu ngerasain perubahan dia gimana, dia juga berharap kamu sadar dengan perubahan yang telah dia lakukan selama ini. Nah, setelah kamu sadar, kamu akan nanya ke dia, kenapa dia berubah. Terus pada akhirnya, dia akan ngomong ke kamu kenapa. Nah, kalo misalkan kamu ngebiarin dia, dia juga nanti bakal capek sendiri, karena dia berharap kamu merasakan perubahannya, tapi ternyata kamu terlihat baik-baik saja, dan tidak melakukan apa-apa, udah itu, dia nanti juga bakal ngerasa sia-sia udah berubah, tapi kamunya gak nanggepin dia. Pada akhirnya juga, dia akan ngomong, kenapa dia berubah. Sama aja, kan? Kalo kata aku, ya, mending biarin aja."
Aku hanya diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuhan, Aku Sayang! (TAMAT)
General FictionUntuk cinta, kita tidak bisa memilih untuk siapa atau kepada siapa kita mencintai. Itulah yang terjadi, saat aku mencintainya. Aku tidak memilihnya untuk menjadi seseorang yang akan aku cintai, tapi rasa itu tiba-tiba saja perlahan menggunung, dan a...