Hilang

7.5K 1.2K 111
                                    

NB. Mohon maaf komentar di bagian sebelumnya tidak sempat di balas -_- ..

Selamat Membaca

Alyaaa

----

HILANG

"Mei, kunci motor kok nggak ada, ya?"

Bila berhenti dari kegiatannya memotong sayuran. Dia menatap suaminya yang sekarang sudah berganti dari celana kolor menjadi celana panjang. Lalu, tatapannya beralih pada tempat menaruh kunci-kunci yang ada. Benar saja, tidak ada kunci dengan gantungan apel di sana.

"Lha, tadi pagi kan Ayah pakai buat antar Masha? Aku aja sampai sekarang nggak boleh naik motor masa na__."

"Ah, ada di kantong ternyata," potong Daffa cepat sambil menunjukkan kunci dengan tangan kanannya.

Momen yang sangat tepat untuk menghentikan aksi protesnya. Huh, sejak beberapa waktu lalu dia minta ijin untuk bisa kembali membawa motor, tetapi tidak diberikan. Padahal sudah beberapa bulan berlalu sejak insiden dia menabrak beberapa bunga pucuk merah di halaman. Saat itu dia sedang terburu-buru karena takut Naufal terbangun dari tidurnya.

"Kamu baru bisa naik motor sebulan nabraknya sudah tiga kali."

Ah iya, sebelum pucuk merah, dia sempat terjatuh karena lupa menurunkan standar motor. Lalu, sebelumnya lagi karena rem mendadak demi menghindari ayam. Semua terjadi di halaman rumah dan disaksikan oleh suami serta putra dan putrinya. Naufal langsung menangis keras melihatnya, Masha heboh mengambil alat P3K, sementara suaminya langsung ceramah panjang ketika menjelang tidur.

"Kalau kerja mana siap?"

"Artinya kamu harus nunggu sampai pulang kerja. Kalau urgent banget bisa naik ojek online. Aku jemput Kakak sekarang, ya."

Bila menghela napas, "Masih lima belas menit lagi, belum jam. Sengaja banget ngehindar tiap bahas motor."

"Mau ke toko buah dulu sebentar, tadi Kakak minta dibeliin mangga. Jadi, nanti sampai sekolah Kakak pas jam pulang."

**

Berulang kali Daffa melihat jam di tangan. Lima menit lagi Masha sudah pulang sekolah, tetapi prediksinya meleset. Sudah lebih dari enam menit dia berada di toko buah. Pembeli di depannya lama sekali bertransaksi, ketika sudah ditotal oleh penjual dan tinggal membayar, dia kembali menambah buah lagi karena uangnya masih ada sisa. Begitu terus sampai Daffa harus ekstra bersabar. Dia ingin sekali menyela karena sudah selesai memilih mangga, tetapi sungkan.

Alhamdulillah....

Tepat jam sepuluh pagi akhirnya tiba gilirannya di layani. Begitu selesai, Daffa langsung memacu motornya sedikit lebih cepat. Sayangnya terlambat, sekolah sudah tampak sepi.

"Mei, Kakak sudah pulang belum?" tanya Daffa begitu tiba di rumah.

"Lho, Ayah bukannya jemput dia? Kirain tadi mampir jajan di Mbak Ning makanya lama. Terus sekarang Kakak di mana? Sudah tanya gurunya belum? Tadi Daun sudah dijemput dan nggak bareng kakak lho."

Daffa menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dan berpikir positif. Mungkin saja Masha mampir ke rumah Dela karena tadi gurunya berkata mereka jalan kaki bersama. Fuh, sayangnya dia tidak berpikir demikian tadi, dipikirnya Masha akan langsung pulang. Namun, sepanjang jalan dia tidak menemukan sosok putrinya.

Mungkin dia sangat terlambat menjemput, jadi Masha sudah sampai rumah, begitu perkiraanya sebelum bertanya pada Bila.

"Aku cek ke rumah Dela dulu, tadi kata gurunya bareng dia."

Tanpa menunggu jawaban dari istrinya, Daffa langsung memutar kembali kemudi motornya. Saat itulah dilihatnya sosok Masha muncul dari jalan utama.

"Assalaamu'alaikum. Ayah, Mei, lihat kakak dapat mangga dua!" teriak Masha dengan jalan santai. Dua tangannya masing-masing menggengam satu manga.

"Alhamdulillah...," lirihnya lega.

"Ya Allah, Kak...."

"Kok salamnya Kakak ndak dijawab toh? Katanya kalau salam itu harus dijawab?" protes Masha begitu sampai di halaman rumahnya.

"Wa'alaikumussalam."

Daffa langsung turun dari motor dan memeluk putrinya. Perasaan khawatir itu masih tersisa di dada.

"Ayah apaan, sih? Kakak mau naruh manga dulu, ini tangannya mau salim tapi kotor."

Ya Allah, Kak. Kamu nggak tahu kan gimana perasaan Ayah dan Memei barusan? Begitulah kamu, seringkali tidak memikirkan bagaimana perasaan kami dan bersikap semaunya.

Daffa mengurai pelukannya. Dikecupnya kening Masha dengan lembut kemudian.

"Kakak tadi mampir ke rumah Budhe Tati buat ambil manga jatuh lagi?" tanyanya.

Masha mengangguk. Budhe Tatik adalah pemilik rumah kedua di samping kiri rumah mereka. Pantas saja tadi dia tidak melewati Masha, karena putrinya masuk ke pekarangan rumah tetangga. Masha yang memungut manga kalah tinggi dengan pohon pucuk merah yang menjadi pagar rumah.

"Kemarin kan Ayah bilang jangan ambilin lagi, Kak. Walaupun udah jatuh, itu masih belum boleh diambil kalau nggak ijin. Siapa tahu Budhe Tati mau makan buahnya."

Masha menggeleng cepat. "Kemarin abis Ayah bilang begitu, Kakak ke rumah Budhe Tati ngomong kalau udah ambil mangganya yang jatuh. Terus Budhe bilang, besok-besok kalau Kakak lihat manga jatuh boleh ambil, ndak usah ijin lagi ndak papa. Begitu, Yah. Terus tadi pas lewat Kakak lihat mangga, jadi ambil dulu."

"Lewat doang apa sengaja nyari, Kak?" tanya Bila menimpali cerita panjang Masha.

"Kakak ndak nyari kok Mei, cuma lihat aja. Lihatnya dari deket, di bawah pohon biar kelihatan."

Senyum geli terukir di bibir Daffa. Masha dengan segala kemauannya. Putrinya itu sejak musim mangga selalu memintanya untuk menanam juga. Dia bahkan merengek untuk memindahkan pohon mangga dari rumah kakung ke rumahnya. Pohon yang tingginya sama dengan rumah bagaimana cara memindahkannya? Hanya imajinasi Masha yang bisa.

Baiklah, besok kita beli bibit pohon mangga ya, Kak. Biar kamu nggak perlu cek kebun tetangga.

Terkadang hal yang kita lakukan tanpa pikir panjang, ternyata membuat orang lain menanggung risikonya.

Catatan Harian MashaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang