Jimin duduk di kursi tunggu dengan perasaan campur aduk. Antara senang, marah, rindu, benci, kesal, semua bercampur menjadi satu. Dia senang karena dia tak bisa membohongi perasaannya bahwa terkadang dia merindukan adiknya, tapi tetap saja rasa benci dan dendam itu selalu dapat menguasainya seperti dulu.
Tanpa pikir panjang, Jimin kembali berdiri lalu pergi begitu saja meninggalkan Taehyung dan Jin yang masih merasakan kesedihan. Taehyung menghentikan Jimin.
"Setidaknya biarkan dia mendengar suaramu Jimin. Dia sangat merindukanmu! Setiap kali kami bertemu, hal pertama yang dia bicarakan adalah kamu Park Jimin! Dia membutuhkanmu!" Mata Taehyung sudah mulai mengeluarkan butir-butir bening. Jimin menundukan kepalanya, tersenyum kecut.
"Untuk apa aku mengkhawatirkan seorang pembunuh?" Jimin melepaskan genggaman tangan Taenyung yang mencekram lengan bajunya. Dia pergi begitu saja. "Oh ya satu hal lagi. Jangan pernah ajak aku kemari, apalagi bertemu dengannya. Jika kau melakukannya sekali lagi Kim Taehyung, aku akan membunuhmu," ucap Jimin pergi meninggalkan ruangan UGD.
Taehyung mengacak-acak rambutnya frustasi. Dia tak habis pikir akan kelakuan sahabatnya itu. Jimin adalah anak yang baik hati, dia memiliki senyuman seperti malaikat. Tapi begitu dia marah, seorang Jimin yang berhati malaikat berubah menjadi Jimin yang egois dan berhati dingin.
Jin masih bingung dengan keadaan sekarang. Jujur, dia terlihat bodoh. Hanya dia yang tak tahu masalah dari adik kakak ini. Jin menghampiri Taehyung yang masih terus berusaha menahan tangisnya.
"Taehyung-ah, apa yang sebenarnya terjadi?"
Taehyung menatap Jin, lalu mengubah posisi duduknya menjadi lebih nyaman.
"Akan kuceritakan kisah mereka berdua, asalkan Hyung janji satu hal. Bantu aku menghilangkan rasa benci Jimin. Nae?"
Jin mengangguk mantap, tak sabar mendengar kisah Taehyung.
Taehyung menarik nafasnya panjang-panjang. Cerita ini dimulai saat Jimin berumur 10 tahun dan Jungkook 8 tahun.
***
Salju saat itu berguguran. Halaman rumah keluarga Park dipenuhi gundukan salju. Semua jalan berubah menjadi putih, udara dingin merambat ke dalam tubuh. Jimin dan Jungkook masih sibuk di kamarnya masing-masing, mengerjakan PR liburan musim dingin mereka. Jungkook menutup bukunya, lalu pergi ke kamar kakaknya.
Jimin masih berkutat dengan rumus matematika yang sama sekali dia tak mengerti.
"Hyung! Liat dong, kookie aja udah selesai. Masa hyung kalah sama kookie?"
Jimin menengok ke belakang, lalu berdiri mengejar Jungkook yang sudah lari terlebih dahulu.
"Awas kau kalau kutangkap! Akan kuhabisi kau!"
Mereka berlari mengelilingi rumah. Jungkook tertawa sangat keras saat melihat ekspresi wajah Jimin yang sedang marah. Mukanya berubah merah seperti buah tomat.
"Ya! Kalian berdua berhenti berlari! Jangan sampai natal kali ini hancur karena kebodohan kalian melukai diri kalian sendiri." Hyu Jin, ibu mereka memperingatkan mereka.
Mereka tak peduli dengan ucapan ibunya yang masih berteriak menyuruh mereka berhenti. Seperti meramalkan hal yang akan terjadi, benar saja Jungkook tersandung mainannya dan jatuh tersungkur ke lantai.
Hyu Jin kaget lalu berlari kecil ke lantai 2. Jimin membantu Jungkook berdiri, Jungkook seketika jatuh ke pangkuan Jimin, meringis kesakitan.
"Baru eomma bilang, jangan berlari-larian! Lihat akibatnya sekarang. Jungkook gwenchana?"
Jungkook mengangguk pelan. "Tapi eomma, dadaku terasa sakit sekali. Padahal tadi yang kena hanya kepalaku saja. Sakit sekali eomma..."
"Kau istirahat saja dulu Jungkook. Nanti malam kita akan pergi ke rumah nenek, dan jangan minta aneh-aneh ke nenek. Awas kau Jimin jika kau minta ayam nenek lagi."
Jimin hanya nyengir, mengingat kembali kelakuan konyolnya dulu. Saat itu nenek mereka memang memelihara ayam, dan Jimin dengan polosnya berkata ke neneknya, "Halmeoni, boleh tidak Jimin minta ayamnya? Kan halmeoni punya banyak."
Jimin tertawa mengingat kejadian itu. Konyolnya lagi, beberapa hari setelahnya neneknya datang dengan membawa 1 ekor ayam untuk Jimin. Kali ini, jimin bahkan sampai tersungkur ke lantai sambil memegangi perutnya.
"Jimin, kau antar adikmu ke kamarnya. Biarkan dia istirahat." Jimin menghapus air matanya yang mengalir, lalu mengangguk.
Jimin merangkul bahu Jungkook, senyumnya masih merekah di wajahnya. Jungkook juga ikut tersenyum melihatnya, tapi sesaat kemudian raut mukanya berubah sedih. Jimin heran, dia memberhentikan langkahnya lalu berjongkok.
"Wae? Kau sedih? Atau masih sakit?" Tanya Jimin sedikit khawatir. Jungkook segera menggeleng cepat. "Gak kok, jungkook kan kuat! Pokoknya jungkook kalau udah gede mau kayak appa, ada kotak di perutnya." Jungkook menunjukan gigi kelincinya. Jimin mencubit gemas pipi jungkook.
"Aku ke kamar dulu, kasihan pacarku kutinggal."
"Siapa?"
"Namanya matematika!"
Jungkook tertawa, lalu masuk ke dalam kamarnya. Dia berbaring di ranjang empuknya sambil melihat langit-langit kamarnya yang dihiasi oleh gambar peta-peta dunia. Dia tersenyum senang melihat itu. Mengingat kembali apa yang dulu ia dan kakaknya lakukan. Tapi sedetik kemudian, perasaannya berubah sedih.
"Hyung, doakan semoga kookie kuat ya. Kookie juga mau terus main sama hyung. Semoga benar kata eomma, kalau kookie masih bisa bertahan." Penglihatan jungkook buyar, matanya sudaj dipenuhi genangan-genangan air. Tidak lama butir-butir bening keluar dari matanya, ia menangis.
Tok tok
Jungkook menghapus air matanya, berusaha tersenyum. Dia takut Jimin lah yang mengetuk kamarnya. Tapi dugaannya salah.
"Eomma..."
"Jungkook-ah, gwenchana?"
Jungkook menggeleng pelan.
"Haah...baiklah, eomma dan appa akan pergi sebentar. Kau tak apa kan eomma tinggal?"
Jungkook menggeleng cepat. Ia tak mau ditinggalkan. Bagaimana jika jungkook tiba-tiba kejang-kejang? Dan akhirnya semua kebohongannya selama ini terbongkar. Apa yang harus dia lakukan?
"Tak apa kookie. Eomma dan appa hanya sebentar. Percaya." Hyu Jin tersenyum tulus kepada Jungkook, akhirnya Jungkook mengangguk. Hyu Jin tersenyum puas.
"Baiklah, eomma dan appa pergi dulu. Kau jangan nakal ya?" Hyu Jin mengacak-acak rambut Jungkook. Dia pergi meninggalkan Jungkook. Jungkook melirik ke arah jam, pukul 2 siang. Dia memutuskan mengistirahatkan badannya. Dia pergi ke kasur dan menarik selimut tebalnya. Jungkook menghidupkan penghangat ruangan. Hanya dalam hitungan menit Jungkook sudah tertidur pulas.
Tanpa Jungkook sadari, Jimin menguping percakapannya dengan Hyu Jin. Jimin mengkerutkan dahinya. "Apa yang eomma maksud jangan khawatir?"
Jimin membuka pintu kamar Jungkook perlahan, tak mau membangunkan sang adik. Dengan langkah perlahan, Jimin mulai menggeledah kamar Jungkook.
Jimin membuka pintu lemari Jungkook, dia melihat ada kotak coklat tua berukuran kecil. Dia mengambil kotak itu. Cukup sulit untuk membukanya, tapi akhirnya Jimin berhasil. Jimin kembali mengkerutkan dahinya, isinya hanya kertas-kertas. Dia membaca satu persatu kertaa tersebut. Tak ada satupun dari isi kertas itu yang ia pahami. Jimin tak menyerah, dia tetap mencari sekeliling kamar Jungkook.
Dia hanya khawatir adik satu-satunya ini ada apa-apa. Jimin membuka laci kecil yang ada di sebelah kotak coklat tadi. Jimin mengambil isinya, kumpulan tabung kecil yang berisikan pil-pil. Banyak sekali obat dalam laci itu. Jimin bingung, sangat bingung. Apa yang Jungkook lakukan dengan semua obat ini? Dia tahu Jungkook tak pernah sekalipun tertarik dalam hal kedokteran, bahkan dia membencinya. Lalu apa gunanya Jungkook menyimpan begitu banyak obat? Jimin meletakkan kembali tabung kecil itu, membereskan kembali kekacauan yang ia perbuat dan keluar dari kamar Jungkook tanpa meninggalkan jejak.
Jimin masuk ke kamarnya dengan muka bingung.
"Apa yang kau sembunyikan, Kookie?"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
SEKIAN DAN TERIMA KASIHBACA TERUS GOOD BYE,HYUNG YA!!!
btw part 4 bakal panjang ya. PANJANG! Mungkin 2k kata lebih. Jadi stay tuned aja!!!!!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Good bye, Hyung [Jikook]
FanfictionAwalnya keluarga Park bahagia, mereka adalah keluarga kecil yang bahagia. Sampai akhirnya hari itu datang, ketika ayah dan ibu mereka meninggal, Jimin mulai membenci Jungkook. Apa yang terjadi antara mereka? . . . "Hyung, bisakah kau berhenti benci...