Serendipity (Part 2)

454 66 7
                                    

Maaf, banyak typo🙏
Happy reading❤
.
.
.
.

Jimin melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Banyak orang berlalu-lalang melewatinya. Beberapa dari mereka ada yang sedih sedih, serius, bahkan bahagia. Inilah yang Jimn benci dari rumah sakit. Melihat orang tersenyum senang, melihat beberapa dari mereka ada yang bahkan mennagis di depan dokter, ada juga beberapa perawat yang serius membawa pasien lain untuk diperiksa. Jimin tidak menyukainya, karena menurutnya ekspresi-ekspresi orang tersebut kelak mungkin akan terjadi padanya. Dimana dia merasa bahagia karena mendengar kabar baik, lalu mendadak serius karena keadaan berubah 180 derajat, dan mungkin di akhir dia akan berakhir menangis.

Jimin terus melangkah tanpa melihat ataupun memedulikan orang-orang di sekitarnya. Dia hanya menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Walau tatapannya kosong, hatinya sekarang sedang gundah. Setelah sekian lama tidak berbicara dengan dongsaeng-nya, Jimin tidak tahu apa yang harus ia lakukan sata bertemu Jungkook nanti.

Jimin tiba di salah satu bangsal, nomer 901. Jimin tersenyum kecil melihatnya. Nomer bangsalnya sama persis dengan tanggal ulang tahun Jungkook. Bulan ke sembilan dan tanggal 1, kebetulan yang menyenangkan.

Jimin membuka kenop pintu itu dengan perlahan, dia masuk ke dalam kamar itu dengan pelan-pelan. Mungkin Jungkook sedang tidur, dia tidak mau membangunkan adiknya. Jimin kembali menutup pintu kamar itu dengan hati-hati. 

Benar saja, Jungkook sekarang tengah tertidur pulas. Jimin mendekati kasur sang adik, dia menatap prihatin dengan keadaan Jungkook sekarang. Wajahnya pucat pasi, berbagai alat yang Jimin tidak ketahui menempel pada tubuh adiknya. Dia hanyalah bocah 8 tahun yang tidak tahu apa-apa. Tapi sudah mengalami pengalaman pahit seperti ini.

"Ada apa sebenarnya denganmu, Kook? Kenapa kau tidak menceritakannya pada hyung? Apa selama ini kau menderita seperti ini, hm?" 

Jimin mengusap surai hitam pekat milik Jungkook. Anak 8 tahun itu terlihat benar-benar pucat. Tubuhnya yang kurus juga kecil serta ditempeli berbagai alat medis benar-benar dapat membuat siapapun turut prihatin dengan keadaannya.

Jimin duduk di kursi sebelah kasur Jungkook. Dia meletakkan box merah yang ia bawa di atas nakas di sebelah kasur Jungkook. "Ini hari ulang tahunmu, kau tidak mau merayakannya? Hari sudah mau berakhir, Kookie. Kenapa kau tak kunjung bangun?" 

Jimin menghela nafasnya panjang. Berbagai macam penyesalan datang kepada dirinya. Seharusnya dia mendengarkan dulu penjelasan eommanya, seharusnya dia tidak usah semarah itu, seharusnya Jimin dari dulu seharusnya terus berada di samping adiknya. Kenapa dia sebenci itu? Mengapa dia tidak bisa melihat kalau keluarga kecilnya ikut menderita karenanya?

Jimin tidak bisa membendung air matanya. Butiran-butiran bening itu perlahan jatuh melewati pipinya. Dia hanyalah anak 10 tahun yang seharusnya sedang mengalami masa-masa paling menyenangkan dihidupnya. Tapi apalah daya? Takdir berkata lain. Semua jalan takdir ini begitu rumit. Semuanya bagaikan benang kusut yang sangat susah untuk diluruskan. Jimin tidak tahu, mengapa takdir sama sekali tidak berpihak kepada dirinya ataupun keluarganya.

Semakin hari, benang takdir itu semakin kusut dan semakin susah untuk diselesaikan. Jimin sekarang seorang diri, hanya dia yang bisa kembali menghidupkan keluarganya kembali.

"Hyung minta maaf, Kook. Hyung janji, saat kau bangun, hyung akan selalu ada di sampingmu," tutur Jimi tulus.

Braakk

Jimin dapat mendengar pintu kamar adiknya dibuka secara keras oleh beberapa orang perawat. Mereka terlihat gelisah.

"Semuanya segera pindahkan pasien ke ruang operasi. Kita tidak punya banyak waktu!" teriak salah seorang dokter membero komando.

Good bye, Hyung [Jikook]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang