Dalam sebuah bilik dengan permadani megah bergelar dan lampu-lampu jambrut yang menggantung, terbaring lemah seorang khilafah yang wajahnya sudah menua dan terlihat keriput. Selimut yang terbuat dari bulu domba menutupi sebagian tubuhnya yang ringkih lagi lemah itu.Disampingnya seorang putri yang mengenakan khimar hitam menunduk dalam, menggenggam tangan sang ayah yang hangat.
“Ayah, aku mohon bangunlah! Aku butuh ayah untuk menjadi wali nikahku nanti, aku mohon,” lirihnya ditengah isakannya.
“Putri Fatonah, Pangeran Kahfa telah tiba.” Tanpa menghiraukan ucapan para penjaganya, sang putri segera keluar dari kamar megah tersebut menuju altar kastil Rabbani.
Mata sang putri berbinar setelah melihat setangkai mawar biru telah berada pada genggaman Pangeran Kahfa, namun perlahan mata itu kembali sembab oleh air mata ketika Pangeran Kahfi merampas mawar biru tersebut.
“Kahfi, kembalikan! Jangan gila tahta, sungguh aku rela menyerahkan tahtaku padamu jikalau engkau ingin memberikan penawar itu padaku,” gertak Pangeran Kahfa pada saudara tuanya yang bernama Kahfi.
“Tidak usah munafik!” jawab pangeran Kahfi.
“Hentikan! Bukan saatnya kalian berdebat sedangkan ayah tengah sekarat, aku mohon kali ini saja dengarkan ocehan adikmu yang tak pernah kau anggap ini.” Pinta putri Fatonah dengan nada sendu yang mencekat hebat pernafasannya.
“Berhentilah bersikap kekanakan,Pangeran Kahfi! Raja Sulaiman sudah sekarat, tidak seharusnya kalian bersikap seperti ini,” ucap Rendra, salah satu orang kepercayaan Raja Sulaiman.
Tanpa berkata satu katapun, Putri Fatonah merampas mawar biru dari tangan Kahfi kemudian berjalan ke arah kamar megah ayahnya.
Di dalam sana, dua orang tabib tengah memeriksa keadaan sang Raja. Putri Fatonah segera memberikan mawar biru tersebut pada salah satu tabib.
“Sembuhkan ayahku!” pintanya pilu sambil mengusap bekas air matanya.
“Semua atas izin Allah,Tuan Putri. Sesungguhnya jika kamu di hadang oleh ratusan tentara yang ingin mencelakakan mu sedang kamu hanya sendirian, jika Allah menolongmu maka ratusan bala tentara itu tak ada apa-apanya di banding kekuasaan Allah. Semoga sakitnya Raja merupakan penggugur atas dosa-dosanya. Kita hanya bisa berikhtiar sedang Allah yang bertindak. Dan Allah juga akan membalasnya sesuai dengan ikhtiar kita.” Putri Fatonah menghela nafas palan sambil berusaha menguatkan perasaan hatinya.
Pangeran Kahfa memegang pundak sang putri seraya menyalurkan energi positif.
Tabib membuka pelan mulut Raja Sulaiman sambil membiarkan cawan yang berisi air kelopak bunga mawar biru itu mengalir ke kerongkongan sang Raja. Fatonah mendesah pelan saat tak dilihatnya reaksi dari air rendaman kelopak mawar biru.
“Ayah!” teriaknya sambil tubuhnya melosot ke tehel yang indah.
“Bangun,Putri. Tidak boleh kamu berprasangka buruk dengan menangisi hal seperti ini. Kamu hanya perlu berdo’a untuk kesembuhannya. Sesungguhnya Allah sesuai dengan prasangka hambanya,” ucap Kahfa lembut sambil mengusap pelan ubun-ubun adiknya.
***
Shafaq Atifa mengikat kuda coklatnya pada batang pohon pinus di belakang kebun bunga milik kedua orangtuanya. Langkahnya menciptakan bunyi berirama dan tatapan matanya yang lurus menciptakan hawa dingin ketika ia melewati beberapa pekerja di kebun bunga. Hanya tersenyum tipis pada beberapa orang, itu yang selalu Shafaq lakukan tanpa menambah kesan ramah sedikitpun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerajaan Rabbani
Spiritual"Aku bukan pangeran Rabbani, bahkan ayahku adalah penghianat kerajaan. Ibuku ibu suri yang kejam. Aku berada dalam hidup yang penuh kekacauan. Jadi, terimakasih telah memilihku, Shafaq."